Halaman ini berisi artikel tentang operasi yang dilakukan oleh Alfa 29. Untuk operasi utama yang sebelumnya bernama Operasi Tinombala, lihat
Operasi Madago Raya.
Operasi Alfa 29 (bahasa Inggris: Operation Alpha 29) adalah operasi yang dilancarkan oleh unit Tim Alfa 29 yang berasal dari Batalyon Infanteri 515 Kostrad TNI Angkatan Darat pada tanggal 18 Juli 2016 di Tambarana, Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Operasi ini digelar untuk menangkap, melumpuhkan, ataupun membunuh pemimpin Mujahidin Indonesia Timur, Santoso.
Latar belakang
Persiapan
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengungkapkan, prajurit dari Batalyon Raider 515 Kostrad berangkat sejak 13 hari sebelumnya untuk memburu kelompok Santoso. Mereka membutuhkan waktu tiga hari untuk menempuh jarak sekitar 11 kilometer ke tempat persembunyian Santoso, sementara untuk sampai ke titik penyergapan membutuhkan waktu selama delapan hari.[2]
Tim Alfa 29 merupakan tim penutup yang ditempatkan di sepanjang jalur-jalur yang diduga akan jadi tempat pelarian anggota kelompok Santoso dari kejaran Satgas Tinombala. Tim ini mem-backup tim sebelumnya dan fokus bertugas memburu Santoso di tiga wilayah.[3]
Dua tim yang sebelumnya melakukan operasi perburuan memaksa Santoso dan kelompoknya terpencar dan terus berupaya untuk mencari tempat baru yang lebih aman. Saat berupaya mencari tempat aman dari kejaran aparat, Santoso dan kelompoknya akhirnya terdeteksi tim penutup atau Alfa 29.[3]
Penyerbuan
Pada 18 Juli 2016, Saat melaksanakan patroli di pegunungan Desa Tambarana, mereka menemukan sebuah gubuk dan melihat beberapa orang tidak dikenal sedang mengambil sayur dan ubi untuk menutup jejak. Penyerbuan terhadap kelompok Santoso dilakukan sekitar pukul 16.00 WITA oleh anggota satgas bersandi Alfa-29 yang terdiri atas sembilan orang prajurit Yonif Raider 515/Kostrad.[2]
Mereka juga menemukan jejak di sungai dan terlihat tiga orang di sebelah sungai namun langsung menghilang. Tim satgas ini kemudian berupaya mendekati orang-orang tak dikenal itu dengan senyap. Setelah berada dalam jarak sekitar 30 meter, mereka kemudian terlibat kontak senjata sekitar 30 menit. Kontak tembak terjadi di pegunungan sekitar Desa Tambarana, Poso Pesisir Utara, sekitar pukul 17.00 WITA.[4]
Kematian Santoso
Setelah dilakukan penyisiran seusai baku tembak, ditemukan dua jenazah dan sepucuk senjata api laras panjang. Sedangkan tiga orang lainnya berhasil kabur.[1]
Basri yang awalnya diperkirakan tewas (belakangan ternyata Mukhtar), berhasil kabur. Kepala Satuan Tugas Operasi Tinombala Kombes (Pol.) Leo Bona Lubis mengungkapkan, kepastian Santoso tewas diperoleh dari hasil identifikasi fisik luar dan dari keterangan saksi-saksi.[4]
"Saya selaku kepala operasi menyatakan bahwa hasil kontak tembak, salah satu (korban tewas) adalah DPO yang selama ini dicari, yaitu gembong teroris Santoso dan Mukhtar yang masuk dalam daftar pencarian orang."
Kombes (Pol.) Leo Bona Lubis, Wakapolda Sulawesi Tengah[4]
Dua jenazah, yakni Santoso dan Mukhtar, kemudian dievakuasi pada Selasa pagi ke Polsek Tambarana, Poso Pesisir Utara. Hanya beberapa menit di Polsek Tambarana, jenazah kedua buronan dalam kasus terorisme itu diterbangkan dengan sebuah helikopter menuju Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie Palu.[1] Atas kesuksesan operasi itu, seluruh aparat yang terlibat dalam Satgas Tinombala akan mendapat kenaikan pangkat luar biasa.[2]
Alfa 29
Tim Alfa 29 terdiri dari sembilan prajurit dari Batalyon Infanteri 515 Kostrad. Batalyon ini berada di bawah komando Brigif 9/Daraka Yudha, Divisi Infanteri 2/Kostrad. Sebelumnya, batalyon ini merupakan satuan organik Kodam VIII/Brawijaya dengan nama Batalyon Infanteri 515/Ugra Tapa Yudha, namun pada akhirnya statusnya diubah menjadi satuan Kostrad.
Gelar prajurit Raider Batalion 515 diperoleh setelah para prajurit berhasil menyelesaikan latihan Raider di Pantai Tamban, Malang, selama 3 bulan, pada Agustus 2015. Mereka ditempa latihan untuk perang modern, anti-gerilya, dan perang berlarut. Prajurit Raider mampu beroperasi pada berbagai situasi dan memiliki kemampuan tempur tiga kali lipat batalyon infanteri biasa.[3]
Reaksi
Pengamat terorisme dari The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, menyampaikan lima analisis. Pertama, eksistensi perlawanan kelompok teroris itu akan menurun drastis karena Santoso adalah simbol sekaligus simpul perlawanan di belantara hutan Poso selama ini. Kedua, di Indonesia ada tiga tempat seksi untuk gerilya yaitu Sulawesi, Aceh dan Papua. Ketika sosok Santoso tidak ada lagi maka perlawanan teroris di Sulawesi akan memudar, dan peluang terciptanya kedamaian di Poso pun terbuka. Ketiga, tidak ada lagi 'Santoso-Santoso' baru yang muncul karena pilihan pribadi dengan latar belakang dendam atau kreasi dari kelompok tertentu karena visi politiknya ke depan. Keempat, Operasi Tinombala harus segera dihentikan karena target utamanya di Poso telah didapatkan. Terakhir, meninggalnya Santoso menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia agar menggunakan pendekatan disengagement of violence atau menjauhkan seseorang dari aksi-aksi kekerasan dan meninggalkan metode enforcement atau penindakan.[5]
Referensi