Onderafdeeling Pasir adalah sebuah wilayah administrasi zaman Pemerintah Hindia Belanda yang berada di Pantai Timur Kalimantan, dalam konteks zaman sekarang berada di wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang berpusat di wilayah Kabupaten Paser. Pada masa dahulu dikenal sebagai salah satu negeri maritim di Pulau Borneo dengan lalu lintas pelayaran yang cukup besar.[1] Banyak ragam penyebutan wilayah Paser di masa lalu, Paser sering disebut dengan Passir, Passier, Passer atau Pasir (dalam artikel ini nama Pasir yang akan digunakan). Penamaan Pasir diambil dari nama sebuah nama sungai yaitu sungai Pasir, yaitu sebuah sungai yang merupakan pertemuan antara sungai Seratei dan sungai Kendilo (Kandilo) yang keduanya berhulu di Gunung Lumut (Loemoet) di daerah Swan Slutung dan bermuara di Selat Makassar.
Wilayah Administratif
Perubahan Wilayah Administratif
Tahun 1844, 25 Oktober - Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Pasir. [2] Dalam situs website resmi ANRI terdapat catatan arsip terkait perjanjian ini dan juga kontrak tanggal 5 Januari 1845.[1]
Tahun 1849 - Kesultanan Pasir (Passir) termasuk dalam Afdeeling Zuid-en Ooster Afdeeling van Borneo.[3]
Tahun 1877 - Kesultanan Pasir menjadi bagian dari Afdeeling Koetei en de Oostkust van Borneo.[4]
Tahun 1884 - Afdeeling Koetei en de Oostkust van Borneo dipecah menjadi dua (2) afdeeling, yaitu afdeeling Koetei en de Noordoostkust van Borneo dan Afdeeling Pasir en de Tanah-Boemboelanden.[5]
Tahun 1898 - Afdeeling Pasir en Tanah Boemboe terdiri dari Pasir, Pegatan, dan Koesan serta Tanah Boemboe.[6]
Tahun 1905 - Wilayah Pasir yang semula merupakan bagian dari Afdeeling Pasir en Tanah Boemboe menjadi afdeeling tersendiri bernama Afdeeling Pasir.[7]
Tahun 1908 - Afdeeling Pasir akan dibawah pemerintahan langsung (rechtstreeksch bestuur) Pemerintah Hindia Belanda (terhitung mulai tanggal 1 Mei 1908) dan dibagi menjadi 3 (tiga) distrik, yaitu: Beneden-Pasir, Boven-Pasir, & Adang dan Telakei.[8]
Tahun 1912 - Afdeeling Pasir dan Afdeeling Tanah Boemboe digabung menjadi Afdeeling Zuid-Oostkust van Borneo dan dibagi menjadi tiga (3) onderafdeeling yaitu Onderafdeeling Poeloe Laoet, Onderafdeeling Tanah Boemboe, dan Onderafdeeling Pasir.[9]
Tahun 1913 - Onderafdeeling Pasir terdiri dari Distrik Noord-Pasir dan Distrik Zuid-Pasir.[10]
Tahun 1921 - Onderafdeeling Pasir terdiri dari District Pasir berkedudukan di Tanah Grogot.[11]
Tahun 1928 - Bekas wilayah Tanah-Boemboe: Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal dipisahkan dari Onderafdeeling Tanah-Boemboe dan digabungkan dengan Onderafdeeling Pasir, Afdeeling Zuid-Oostkust van Borneo.[12]
Tahun 1932 - Onderafdeeling Pasir yang terdiri dari distrik Pasir dibagi lagi menjadi empat onderdistricten (sub-distrik) yaitu: Zuid Pasir berpusat di Tanah Grogot, Noord Pasir berkedudukan di Long Ikis, Boven Pasir berkedudukan di Batoe Sopang, Sampanahan berkedudukan di Goenoeng Batoe Besar.[13]
Batas Wilayah
Batas wilayah Pasir pada tahun 1936 mempunyai batas-batas sebagai berikut[14]:
Perbatasan di sebelah Utara.
Wilayah di sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kutai (Koetei). Batas ini dijelaskan dalam perjanjian tanggal 23 Maret 1904 antara otoritas otonom (zelfbestuur) kesultanan Pasir & Kesultanan Kutai, memanjang dari Tanjung Sepunang (Tunan) menuju muara sungai Toejoe dan sepanjang tepi kiri sungai Telakei ke Gunung Ketam. Namun, batas utara diubah pada tahun 1913, dan sejak saat itu, semua daerah aliran sungai sebelah kiri sungai Telakei (wilayah Telakei) termasuk dalam wilayah Pasir melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 21 Januari 1914 No. 16, mulai berlaku sejak 1 Januari 1914.
Perbatasan di sebelah Timur.
Batas di sebelah timur adalah Selat Makassar.
Perbatasan di sebelah Selatan.
Batas di sebelah selatan adalah wilayah Tjengal (Cengal), yaitu sungai Senipah Kecil dan pembatas air antara sungai Tjengal dengan sungai Djangeroe, Segendang, Kerang, dan sungai Samu. Dengan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1928, onderdistrict Sampanahan yang semula termasuk dalam Onderafdeling Tanah Boemboe, digabungkan ke dalam wilayah Onderafdeeling Pasir.
Perbatasan di sebelah Barat
Batas di sebelah barat berupa pembatas air yaitu antara sungai-sungai yang bermuara di Selat Makassar dan sungai-sungai yang bermuara di sungai Barito (Laut Jawa).
Garis pantai bagian timur menunjukkan tiga (3) cekungan besar dan menjorok ke daratan, di bagian utara Teluk Adang, di tengah Teluk Apar, dan di selatan Teluk Pamukan. Tempat pendaratan kapal yang cocok di pantai adalah Api-Api dan Pasir Mayang. Baik dalam musim barat maupun timur, laut dapat sangat ganas. Waktu terbaik untuk melakukan perjalanan laut di sepanjang pantai adalah bulan April hingga Juni dan Oktober hingga Januari. Waktu yang paling tidak menguntungkan adalah bulan Juli, Agustus, September.
Sungai-Sungai
Sungai yang paling penting adalah Sungai Pasir atau Sungai Kendilo, yang mengalir melintasi wilayah dari barat laut ke tenggara dan menjadi jalur perdagangan dan transportasi yang paling umum digunakan. Selain itu juga terdapat banyak sungai yang menghubungkan tempat-tempat di daerah pedalaman, yaitu Sungai Telakei, Sungai Lombok, Sungai Moeroe, Sungai Pasir (memiliki anak sungai yaitu: Sungai Samoe, Sungai Kasoengai, Sungai Kwaro, Sungai Seratei), Apar Besar dan Apar Kecil, Sungai Kerang, Sungai Segendang, Sungai Djangeroe, Sungai Tjengal, Sungai Manunggul (Menoenggoel), Sungai Sampanahan.
Perbukitan & Pegunungan
Daerah perbukitan di bagian selatan wilayah ini berasal dari periode tersier muda, sedangkan lebih ke utara tanahnya adalah tersier tua. Pegunungan ini sebagian besar terdiri dari batuan vulkanik, cukup berbatu dan cukup berat.
Di sebelah barat wilayah Pasir terdapat sebuah rangkaian bukit yang karena luasnya dan banyaknya puncaknya dikenal dengan nama Gunung Beratus (Beratoes). Puncak tertinggi dari rangkaian ini adalah Gunung Krumei (Kroemei), juga dikenal sebagai Kramu (Kramoe) atau Kram. Gunung Batu Aji (Batoe Adji) juga terkenal karena di sekitarnya terdapat jalan setapak dari Batu Butok (Batoe Botok) ke Muara Uya (Moeara Oeja) di wilayah Amuntai (Amoentai). Anak-anak gunung yang mengarah ke timur dari rangkaian gunung mendekati sungai Pasir; anak-anak gunung ini termasuk Gunung Salau.
Gunung Bawa Buyung (Bawa Boejoeng) dikenal dengan gunung hitam, dan Gunung Salihat. Sebuah anak gunung yang mengarah ke timur juga membentuk batas antara daerah Paser dan Cingal (Tjingal).
Gunung tertinggi di daerah Paser adalah Gunung Melihat/Meliat (1008 meter). Gunung ini, yang hampir berada di tengah-tengah daerah, tidak terhubung dengan rangkaian gunung di Barat, tetapi dipisahkan oleh Sungai Pasir.
Gunung yang lebih rendah adalah Gunung Selapie, yang terletak lebih ke selatan di sebelah kanan Sungai Pasir, dan Gunung Tengkaruran (Tengkaroeran) serta Gunung Sabulan (Saboelan) yang berdiri di seberangnya di sebelah kiri sungai.
Antara sungai Pasir dan Telakei terdapat pegunungan yang tidak tinggi tetapi sulit diakses karena kemiringannya. Puncak selatan dari pegunungan tersebut adalah Gunung Bolang (sekitar 600 meter).
Gunung Belasa yang terletak di dekat pertemuan sungai Telakei dan Lambakkang (Lambakan), adalah salah satu puncak dari pegunungan yang agak rendah dan membentang di kedua sisi sungai Telakei di bagian atasnya. Puncak tertinggi dari pegunungan tersebut adalah Gunung Ketam, yang terletak antara sungai Telakei dan Teluk Balikpapan, gunung ini disebut sebagai Puncak Balik Papan. Selain itu juga terdapat Gunung Jangang (Djangang) yang memiliki ketinggian ±600 M.
Cuaca & Iklim
Iklimnya lembap dan panas. Musim timur atau musim kemarau, berlangsung dari Juni hingga November. Musim barat atau musim penghujan paling parah terjadi pada Januari dan Februari. Selama musim peralihan, suhu terasa sangat panas. Namun, selama musim kemarau, biasanya angin berhembus pada siang hari dan malamnya cukup sejuk.
Selama musim timur, pantai mengalami gelombang laut yang cukup kuat, terutama di sekitar Api-Api, sehingga laut sangat bergelombang di siang hari. Selama musim barat, laut biasanya lebih tenang. Namun, pada bulan Februari dan Maret, angin utara yang kuat dapat berlangsung beberapa hari, menyebabkan gelombang laut yang panjang. Gelombang ini tetap berlangsung di malam hari, sehingga pada bulan-bulan itu, berlayar dengan perahu di sepanjang pantai bukanlah aktivitas yang menyenangkan. Selama musim barat, banyak sungai meluap, menyebabkan banjir di banyak tempat dan membuat jalan-jalan terendam hingga setengah meter.
Keanekaragaman Hayati
Dalam sebuah tulisan tahun 1927 karya S.W. Reeman (Kapitein der Infanterie)[16], mencatat keanekaragaman hayati yang ada di Paser, antara lain:
Penduduk wilayah Paser pada tahun 1904 diperkirakan berjumlah sekitar 17.000 jiwa, terdiri dari Orang Bugis, Orang Pasir, Orang Dayak, Orang Badjo, Orang Bandjar, Orang Eropa, dan Orang Asia Timur Asing.[18]
Komposisi penduduk tahun 1926, Orang Pasir, Orang Dayak, Orang Bugis, Orang Melayu-Bandjar, Orang Badjau, Orang Cina, Orang Arab, Orang Eropa, & Orang Asia Timur, dengan total jumlah penduduk per 1 Januari adalah 21.168 Jiwa.[19]
Komposisi penduduk tahun 1936, terdiri dari Orang Eropa, Orang Cina, Orang Arab, Orang Melayu (Banjar), Orang Bugis, Orang Badjau, Orang Jawa, Orang Pribumi-etnis Dayak (dalam tulisan asli menggunakan term Etnis Dayak, tapi pada jaman sekarang masyarakat lebih sering menyebut mereka sendiri sebagai Etnis Pasir).[17]
Penduduk etnis asli dapat dibedakan berdasarkan kepercayaan yang dianut sebagai berikut: Pasireezen (Dayak yang telah memeluk Islam), Dayak (Heidenen, penganut kepercayaan tradisi), Dayak Kristen (saat itu hanya di onderdistrict Sampanahan, yaitu kampung Mangka (kondisi tahun 1936).
Populasi asli Dayak dapat dibedakan lebih lanjut menjadi: Dayak Bawo (di mana "bawo" adalah bahasa Pasir untuk gunung), Dayak Kasoengei dan Setioe, Dayak Adang, Dayak Laburan, Dayak Tadjoer, Dayak Doesoen (di onderdistrict Sampanahan).
Suku Dayak Asing terdiri dari: Dayak Lawangan, Bantian, dan Tabuyan (berasal dari hulu Sungai Teweh, mereka juga tinggal di daerah aliran Sungai Kendilo (hulu), Dayak Doesoen (berasal dari Balangan-onderdistrict Sampanahan, mereka juga tinggal di hulu Sungai Kerang dan Sungai Samu), Dayak Bukit (berasal dari onderafdeling Tanah Bumbu dan Hulu Balangan).
Etnis Pasir tidak memiliki sistem tulisan sendiri dan tidak memiliki tradisi literatur. Sistem penanggalan yang umum digunakan di wilayah Paser saat itu adalah sistem penanggalan Arab. Namun, etnis Dayak Pasir menggunakan sistem tahun matahari untuk menentukan waktu tanam padi. Ketika rasi bintang tertentu terlihat di langit, mereka menghitung waktu yang tepat untuk memulai penanaman padi di sawah (ladang). Etnis Dayak Pasir memiliki cara untuk membagi waktu dalam sehari dan semalam dengan menggunakan kata-kata atau ungkapan tertentu.
Bahasa
Di wilayah Paser digunakan beberapa bahasa sebagai berikut: Bahasa Melayu, Bahasa Bugis, Bahasa Badjau, Bahasa Pasir, Bahasa Doesoen (wilayah Sampanahan). Bahasa Pasir memiliki beberapa dialek, tetapi perbedaannya tidak begitu besar sehingga semua orang Pasir dapat saling memahami. Sebuah pengecualian di sini adalah suku Dayak (Pasir) Laboeran yang sangat kecil (sekitar 350 jiwa, tahun 1936) yang tinggal di sekitar Laboeran. Ini adalah fenomena yang unik, karena di seluruh wilayah bagian ini, bahasa Pasir digunakan. Bahasa Laboeran juga bukan dialek Pasir, karena berbeda terlalu jauh, sehingga orang Pasir tidak dapat memahami mereka. Namun, Dayak Pasir Laboeran juga berbicara bahasa Pasir. Dialek Pasir dapat ditemui di Boven Pasir dan di daerah Telakei. Suku Dayak asing juga berbicara dalam bahasa mereka sendiri selain bahasa Pasir. Namun, dengan bahasa Melayu, orang dapat berkomunikasi di mana saja.
Kepercayaan & Tradisi
Orang Pasir sangat percaya pada roh dan pertanda, serta upaya untuk meramal masa depan, mengusir bencana, dan memohon perlindungan. Dewa utama adalah Sangiang (yang berkuasa di langit) dan Tondoi (yang berkuasa di dunia bawah tanah). "Balian," atau dukun, memainkan peran penting dalam kehidupan.
Beberapa jenis balian yang dikenal di sini adalah Balian Sederhana, Balian Boentang, Balian Sipoeng, dan Balian Njoeli. Balian sederhana terutama diadakan dalam kasus penyakit, di mana melalui "moeloeng" atau seorang "moeloeng" sebagai perantara, bantuan roh-roh baik dipanggil untuk mengusir roh-roh jahat. Roh-roh jahat ini dianggap sebagai pengganggu manusia dan penyebab penyakit, gagal panen, dll. Balian Boentang diadakan dengan tujuan yang sama, tetapi untuk seluruh wilayah.
Balian Sipoeng diadakan jika penyakit serius berjangkit atau keputusan penting harus diambil. Dalam hal ini, roh-roh dari orang tertentu yang sudah meninggal dipanggil dan diminta bantuan serta nasihatnya (sejenis sesi pemanggilan roh). Balian Njoeli diadakan oleh kelompok yang percaya pada kembalinya tokoh-tokoh legendaris. Tokoh-tokoh ini akan hidup kembali dengan para prajurit mereka dan menghancurkan semua musuh mereka.
Pada suku Lawangan, Bantian, dan Taboejandajak, serta juga pada suku Pasir di Boven Pasir, juga diadakan upacara tahunan untuk menghormati orang yang meninggal dunia. Dalam upacara ini, yang disebut sebagai Balian Mangsar, tulang-tulang orang yang meninggal dalam setahun terakhir dikumpulkan dalam urna. Balian Mangsar kemudian digunakan untuk membimbing jiwa-jiwa orang yang meninggal menuju alam baka (gunung Loemoet). Jika kerbau disembelih, mereka akan digunakan untuk mengantarkan jiwa ke gunung suci. Orang miskin yang keluarganya tidak mampu secara finansial untuk menyembelih kerbau harus menempuh perjalanan panjang ke gunung itu dengan berjalan kaki.
Cerita Banjir Besar
Seperti banyak budaya lain, penduduk Pasir memiliki cerita tentang banjir besar. Di dekat tempat bernama Oedjoeng Polak, terdapat batu besar di Sungai Pasir dengan bentuk yang aneh. Legenda mengatakan bahwa selama banjir besar, penumpang perahu berubah menjadi batu karena ketakutan.
Sistem Peradilan
Sistem peradilan di sini mirip dengan yang ada di banyak kerajaan dan daerah di kepulauan Hindia Belanda yang masih mempertahankan otonomi tradisional. Tidak ada perbedaan antara cara penyelesaian perkara perdata dan pidana. Semua masalah diselesaikan dengan denda atau pembayaran ganti rugi. Setiap tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan terhadap seseorang memiliki karakter hukum privat dan tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap kepentingan umum.
Denda biasanya merupakan kelipatan dari 88; misalnya, f88; 2 X f88, dan seterusnya hingga 8 X f88. Hukuman yang lebih ringan adalah denda sebesar f44, sementara denda yang paling rendah adalah f4. Mereka yang tidak mampu membayar denda yang ditetapkan kepada mereka dapat meminta bantuan kepada seseorang yang terpandang, yang bersedia meminjamkan jumlah tersebut, sehingga mereka menjadi pandeling (terpengaruh budaya Bugis). Jika tidak ada yang mau membantunya, maka yang dihukum akan menjadi pandeling di hadapan Pangeran. Dalam perkara perdata, biaya pengadilan dibayar sebesar 10 persen dari nilai barang atau sengketa tersebut. Biaya-biaya tersebut dibayar oleh pihak yang menang.
Mata Pencaharian
Industri
Pembuatan kain dilakukan secara eksklusif oleh wanita Bugis. Penduduk etnis Pasir pada umumnya terlibat dalam pembuatan gula merah, menempa besi menjadi keris, mandau, ujung tombak, dan barang-barang untuk keperluan rumah tangga (di sebagian besar rumah orang Pasir terdapat sebuah tempat tempaan kecil di dekat rumah), pembuatan anyaman dari bambu atau rotan, dengan menggunakan pewarna kassoemba (merah & biru) dan karamoenting (hitam), produk yang dihasilkan berupa randjong (keranjang makanan & barang), andjat (keranjang pakaian), apai (tikar), kepi (keranjang), seran (penutup kepala), dan lain-lain.Pengrajin emas dan perak juga ada tetapi jumlahnya sedikit. Tukang kayu biasanya adalah orang Bandjar. Orang-orang yang khusus dalam pembuatan kapal tidak ditemukan di sini, Orang-orang Bandjar yang tinggal di sepanjang pantai membuat perahu nelayan mereka untuk penggunaan pribadi.
Pertanian
Hampir seluruh penduduk etnis Pasir di wilayah Pasir bermata pencaharian sebagai petani. Orang-orang Bugis dan pendatang lainnya hanya sebagian. Penanaman padi biasanya di ladang kering, sawah basah dilakukan oleh orang Bugis. Hasil panen, bahkan ketika memuaskan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, sehingga padi harus diimpor dari luar, seperti pada tahun 1903, beras Siam-Thailand & Rangoon-Myanmar (yang sudah digiling) diimpor dari Singapura. Tidak ada beras yang diimpor dari Jawa. Tanaman lain yang ditanam antara lain jagung, kacang tanah, ubi jalar, tebu, pohon buah-buahan, kelapa, pisang, nipah, bambu, & kayu bakar.
Hasil Hutan
Daerah Pasir terkenal dengan kekayaan rotannya. Rotan Pasir jenis Segah (Rotan Taman-Calamus caesius Blume) dikenal di pasar Singapura sebagai rotan terbaik di seluruh Pantai Timur Kalimantan (pengelolaan menjadi hak eksklusif orang Pasir & Dayak). Jenis yang lebih rendah yaitu Soeltoep/Soko/Satop (Rotan Buyung-Calamus optimus Becc.) juga banyak ditemukan, terutama di daerah aliran Sungai Telakei. Selain itu juga terdapat jenis Djoengan (Gelang), Rotan Lilin (Calamus javensis Blume), Rotan Ilatoeng (Kotak), Rotan Sikan (untuk membuat tikar), Semamboe (Rotan Toehoe-Calamus scipionum Loureiro). Di hutan juga ditemukan getah pertja (kulit batang dikumpulkan & diekspor ke Surabaya), karet, lilin serta pohon bakau.
Peternakan
Kerbau diternakkan oleh kepala suku di daerah pegunungan. Kerbau tidak digunakan dalam pengolahan ladang padi, tetapi hanya untuk disembelih pada acara-acara meriah. Sapi kadang-kadang diimpor dari Madura sebagai hewan potong. Kuda tidak ada. Kambing bisa ditemukan dalam jumlah kecil. Unggas hampir seluruhnya terdiri dari ayam, angsa tidak ditemukan di mana-mana. Bebek jarang ditemukan.
Berburu
Banyak orang berburu rusa, bukan untuk kesenangan, tetapi untuk menjual daging segar atau kering dalam bentuk dendeng. Kulit dan tanduknya diekspor ke Singapura dan Makassar. Babi hutan terkadang diadakan berburu untuk melindungi tanaman yang sedang tumbuh di ladang. Pemburu hampir tidak pernah memburu unggas seperti ayam hutan, burung merpati liar, dan sebagainya.
Perikanan
Penangkapan ikan laut dilakukan oleh orang Badjo dan orang Bugis yang terkait dengan mereka melalui perkawinan. Di perairan dalam, mereka menggunakan jaring dan tombak; di perairan dangkal, mereka menggunakan bubu. Mereka menyediakan ikan bagi daerah pedalaman, yang dijual dalam kondisi asin, kering, atau diasap. Penduduk etnis Pasir menangkap ikan di sungai-sungai dengan bubu, jaring, dan pancing. Mereka juga menggunakan toeba untuk memabukkan ikan, lalu menaikkannya dengan tombak. Budidaya ikan di sawah tidak dikenal di sini.
Perdagangan dan Pelayaran
Perdagangan di pelabuhan-pelabuhan didominasi oleh orang Bugis dan beberapa orang Asia Timur asing. Impor sebelumnya hampir secara eksklusif dilakukan dari Singapura dan Sulawesi, tetapi sejak Pasir dimasukkan ke dalam wilayah cukai pemerintah Hindia Belanda, barang-barang dari Surabaya, Banjarmasin, dan Koetei juga diperoleh. Ekspor hampir seluruhnya dilakukan ke Singapura.
Di pedalaman, perdagangan didominasi oleh orang Bugis dan orang Banjar dengan menggunakan perahu kecil. Mereka terutama pergi ke pasar (pakot), yang di beberapa tempat diadakan sekali seminggu dan di tempat lain setiap dua minggu sekali. Pada hari-hari pasar ini, orang Pasir dan suku Dayak juga menawarkan barang dagangan mereka (gula merah, anyaman, buah-buahan, dll.). Hari pasar yang paling ramai diadakan di Pakot Kwaro, Pakot Pait, Pakot Domik, Pakot Lampesoe, Pakot Panaran, Pakot Soemik, Pakot Sambengei, dan Pakot Lolo.
Jenis-jenis perahu yang digunakan adalah sebagai berikut[20]:
Sopet/Sopit (dengan kemampuan berlayar, terutama digunakan untuk transportasi di laut dan di sungai hingga wilayah di mana pasang surut masih terasa).
Penaroeng (dengan kemampuan berlayar, digunakan baik untuk transportasi di laut maupun di sungai besar hingga pedalaman).
Sodor (sebuah batang pohon yang dilubangi tanpa dinding, digunakan untuk keperluan lokal dan pribadi di daerah pegunungan).
Bidoek (sebuah batang pohon yang dilubangi, dengan tambahan papan sebagai dinding, terutama digunakan di daerah pegunungan).
Orang etnis Pasir menghitung menggunakan litjoe, di mana satu litjoe = 5 X tendok sikoe lain kajang [= 5 X jarak antara siku dan tangan terbuka]; tendok sikoe beroekoet = jarak antara siku dan tangan tertutup], djaka: rentang tangan antara ibu jari dan jari tengah; djangkang, rentang tangan antara ibu jari dan jari telunjuk, opang = lebar lima jari yang tertutup.
Untuk satuan volume, digunakan botol persegi, botol anggur standar, botol air minum, cangkir, tutup kelapa, dan tabung kulit pohon (passoe) dengan ukuran yang berbeda. Satuan berat yang digunakan adalah datjing [timbangan], di mana satuan beratnya adalah kati (=1/100 pikol sekitar 62 KG). Sekitar tahun 1825, satuan berat yang digunakan adalah kati dan pecul/picul dan mata uang yang berlaku adalah dollar spanyol.[21]
Pada musim timur atau musim kemarau, terdapat pelayaran yang cukup ramai dengan daratan Sulawesi menggunakan kapal layar tradisional [pelari pedangkang, galekan] yang dimiliki oleh orang Bugis dan Makassar yang tinggal di Sulawesi. Selain itu, setiap hari perahu pengangkut barang (sopit) berlayar melintasi laut dari Tanah Grogot (Pasir) ke kota-kota pesisir di dalam wilayah Pasir seperti Apar, Adang, Telakei, dan sebagainya. Pada tahun 1903, tidak ada penerimaan di Kantor Bea Cukai Telakei karena impor dan ekspor hanya dilakukan dari dan ke Tanah Grogot (Pasir).
Makanan & Minuman
Makanan pokok adalah nasi. Jagung, yang juga umum ditanam, biasanya dipanggang dengan batangnya. Sagu hanya digunakan sebagai camilan dalam bentuk kue. Buah-buahan juga hanya dikonsumsi sebagai camilan. Sebagai pelengkap, digunakan kacang-kacangan, jenis mentimun, pucuk kelapa muda, dan sebagainya. Biasanya mereka dimasak sebagai sayur dalam air. Jarang makanan dibumbui kuat. Garam selalu disajikan bersama dengan makanan, agar orang dapat mengambil sesuai selera. Hidangan daging jarang dimakan, misalnya pada acara perayaan; daging tersebut berasal dari kerbau, kambing, rusa, dan unggas. Daging babi masih dimakan oleh Dajak yang masih memeluk kepercayaan asli. Ikan, baik dimasak, diasap, atau diasinkan, jauh lebih sering dikonsumsi daripada daging. Hidangan utama biasanya dikonsumsi dua kali sehari, yaitu sekitar pukul 11 pagi dan pukul 7 malam. Sebagai minuman, air biasa digunakan; kopi dan teh hampir tidak pernah digunakan. Getah dari pohon aren (tuak) sering diminum; jika difermentasi, memiliki sifat yang sama seperti minuman keras. Minuman dari pabrikan Eropa tidak digunakan. Sebagai stimulan, yang pertama disebut adalah sirih (liwo), yang digunakan seperti di Jawa dengan pinang, gambir, tembakau, dan kapur yang dimurnikan. Merokok tembakau, yang digulung dalam sebatang jerami (dari nipah), juga umum. Tembakau Jawa terutama digunakan, meskipun sedikit tembakau ditanam sendiri. Tembakau Cina dihisap dalam pipa bambu, bahkan oleh wanita.
Pendidikan
Di Tanah Grogot, sejak tahun 1912 sudah ada sekolah rakyat. Pada tahun 1917 dan 1918, sekolah serupa dibuka di Sabakong, Semborong (Batu Sopang), dan Kerang. Sekolah di Sebakong berkembang dengan baik, begitu juga yang di Semborong (Batu Sopang), namun sekolah di Kerang ditutup pada tahun 1926 karena kekurangan murid. Sebaliknya, pada tahun 1927, sekolah-sekolah dibuka di Pasir Majang dan Bioe.
Sekolah di Moeara Kwaro, yang dibuka pada tahun 1919, dipindahkan ke Moeara Koemam pada tahun 1925, dan sejak itu ditutup karena kekurangan murid. Sejak tahun 1919, Damit dan Long Ikis juga memiliki sekolah rakyat mereka. Di Pasir, ada sekolah pribumi kelas dua dengan tiga guru. Jumlah total siswa yang menerima pendidikan pada 1 September 1927 adalah 174.[22]
Pemerintahan & Komposisinya
Administrasi Pemerintahan
Pada tahun 1905-an, hierarki pemerintahan di wilayah Pasir beserta komposisinya diuraikan sebagai berikut:[23][24]
Sultan adalah pemimpin tertinggi di wilayah Pasir. Sultan Ibrahim Chalil Oedin (sultan ke-10) yang menduduki jabatan tersebut, di bawahnya dalam urutan ada sultan moeda atau pewaris takhta yang ditunjuk, pada saat itu adalah Adji Ngessi (Adji Njesei) bergelar Pangeran Kesoema Djaja Ningrat.
Terdapat Dewan Penasihat yang terdiri dari lima orang pembesar wilayah (landsgrooten). Mereka bertugas untuk memberikan nasihat kepada Sultan dalam menyelesaikan berbagai urusan dan juga bertindak sebagai pengadilan tertinggi. Sultan bertindak sebagai ketua Dewan Penasihat. Jika Sultan berhalangan hadir, Sultan Moeda yang akan menggantikannya.
Berikut 5 pembesar wilayah (landsgrooten) di Pasir:
Adji Moeda, putra almarhum Sultan Ibrahim dan Dajang Saoena, dengan nama dan gelar Pangeran Soeria Nata.
Adji Medja alias Daeng Sawidi, putra Andin Kaga dan Adji Mingkoe, dengan nama dan gelar Pangeran Mantri.
Adji Andei, putra almarhum Sultan Abdoel Rachman dan Dajang Oewit, dengan nama dan gelar Pangeran Pandji.
Pangeran Mas, bukan dari keturunan kerajaan, tetapi menikah dengan seorang saudari dari almarhum Sultan Mohamad Ali.
Pangeran Depati, bukan dari keturunan kerajaan, tetapi menikah dengan seorang putri dari almarhum Sultan Mohamad Sepoeh.
Pejabat pelabuhan (sjahbandar) ditempatkan di muara Sungai Pasir, Telakei, dan Adang. Namun, sejak pengenaan hak tol dan pengelolaan pelabuhan diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda, jabatan-jabatan tersebut telah dihapuskan. Pemuka agama di wilayah Pasir dipimpin oleh seorang Imam.
Wilayah Pasir di bagi ke dalam subbagian-subbagian (seperti distrik), dengan masing-masing pemimpin adalah sebagai berikut:
Wilayah aliran sungai dari hilir Sungai Pasir yaitu di hilir Muara Samoe, dipimpin oleh Sultan sendiri berkedudukan di Pasir.
Wilayah aliran Sungai Samoe, dipimpin oleh Andin Roentay berkedudukan di Samoe.
Wilayah aliran hulu Sungai Kendilo dari Muara Samoe sampai ke hulu, dipimpin oleh Pangeran Sjarif Nata, berkedudukan di Salinau/Salinan/Selinan.
Wilayah aliran sungai-sungai yang bermuara ke laut di selatan Sungai Pasir dan di utara Tanjung Aroe. Pangeran Ratoe Agoeng bergelar Radja Besar sebagai pemimpin daerah ini dan berkedudukan di Teboeroek (Taberock).
Wilayah aliran Sungai Moeroe, Sungai Lombok, dan hilir Sungai Adang. Pangeran Peraboe Anoem Kasoema Adininingrat (Pangeran Praboe Anom Kesoema Adiningrat) sebagai pemimpinnya, berkedudukan di Samoentai (Semoentei).
Wilayah aliran hulu Sungai Adang. Pangeran Singa sebagai pemimpin, berkedudukan di Long Towo (Oeloeng Towo).
Wilayah Hilir Sungai Telakei. Dipimpin oleh Sultan Ibrahim Chalil Oedin, diwakili oleh seorang wakil dengan gelar Raden Mas Politie, berkedudukan di Sabakong (Sebakong).
Wilayah Hulu Sungai Telakei. Pemimpinnya adalah Adji Mas alias Adji Raden di Long Toejoe (Oeloeng Toejoek) dan Adji Djaja di Long Nikan (Oeloeng Nikan).
Wilayah aliran Sungai Pasir, dipimpin oleh Pangeran Wangsa, berkedudukan di Semboerak.
Gelar para keturunan bangsawan, baik laki-laki maupun perempuan, adalah Adji. Kerabat jauh disebut Andin. Jika mereka memimpin kampung, mereka tetap mempertahankan gelar-gelar tersebut. Kepala kampung lainnya disebut Kapitan oleh orang Bugis, Kapitan dan Poenggawa oleh orang Badjo, dan Orang Pasir & Dajaks menyebut kepala kampung dengan sebutan Rangga, Temanggoeng, Poenggawa, Kjahi, dan Raden.
Sebelum masa pemerintahan Sultan Ibrahim Chalil Oedin, selain sultan sebagai pemimpin tertinggi, pemerintahan dipegang oleh Pangeran Mangkoe Boemi atau Rijksbestuurder (administrator).[25]
Pendapatan Sultan
Sultan Ibrahim Chaliel-Oeddien (memerintah: 1847 s.d 1857)
Monopoli atas emas yang digali, Bea masuk (impor) atas semua barang sebesar 4%, Bea keluar (ekspor) atas rotan sebesar 10% (dipungut oleh saudara perempuan Sultan Adam[26]), Pajak kepala satu gulden per keluarga, Pajak atas Orang Badjau, Pendapatan dari tebing sarang burung (walet), Denda yang dikenakan sebagai hukuman.[27].
Sultan Mohamad Alie Adil Chalifat'oel Moeminin (memerintah: 14 Februari 1888 s.d 12 Oktober 1896)
Bea masuk (pajak impor) sebesar 5%, Pajak Ekspor sebesar 5%, Pajak Kepala (pria dewasa berusia 17 hingga 50 tahun), Pajak 10% atas hasil tanaman padi, Pajak 10% atas hasil produk hutan, Pajak pohon kelapa (2 buah kelapa matang dari setiap pohon tiap tahun), Heerendiensten (kerja wajib penduduk).[28]
Sultan Ibrahim Chalil Oedin (memerintah: 27 November 1900 s.d 1 Mei 1908)
Hak Pengenaan Bea Masuk, Bea Keluar serta Cukai, eksploitasi semua sumber pendapatan lainnya, diserahkan Sultan ke Pemerintah Hindia Belanda, dan sebagai ganti rugi akan hal-hal tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membayar kepada Sultan dan Para pemimpin ganti rugi sebesar total f16.800 (enambelas ribu delapan ratus gulden) per tahun, dengan ketentuan ganti rugi sebesar f11.200 (sebelas ribu duaratus gulden) per tahun kepada Sultan, dan sejumlah f5.600 (lima ribu enam ratus gulden) per tahun kepada seluruh pembesar wilayah (landsgrooten) secara bersama-sama, semua itu akah dilakukan dalam 12 (duabelas) pembayaran bulanan yang sama besar.[29]
Nama-Nama Kampung
Selama perjalanannya di wilayah Passier von Dewall (tahun 1847) mencatat nama-nama tempat (kampung) antara lain: Rampa-Badjau, Peraga (Sultan Ibrahim Chaliel-Oeddien mempunyai kediaman di tempat ini), Saboen Toeroeng (Sultan Adam mempunyai kediaman di tempat ini), Raija-Bekkat, Busui (Boessoeïe - Sultan Adam juga mempunyai tempat kediaman di tempat ini), Terobokh, Samoe, Biu (Bieoe), Samoe-Prangan, Kaliean, Setieoekh, Kasungai (Sesoengè), Kennjan, Loijoe-Wattoe, Terinsing (Sultan Adam membangun sebuah benteng di tempat ini untuk melindungi dari serangan orang Bandjar), Olong-Serieroeng (Moara Serieroeng), dan Muara Langon (Olong-Langoen/Moara-Langoen).[30]
Dalam kunjungannya ke wilayah Pasir tahun 1850, Gallois (Resident Der Zuid- En Oosterafdeeling van Borneo) menyebut 2 (dua) kampung yaitu Rampa (terletak di Muara Sungai Pasir) & Pasir (Ibukota Kerajaan).[31]
Johannes Jacobus de Hollander mencatat bahwa pada tahun 1864 terdapat nama-nama kampung sebagai berikut: Busui (Boesoei), Terobok, Pasir (Ibukota Kerajaan), Rampa, Paraga, Saboen Toeroeng, & Terinsing.[25]
Dalam dokumen kontrak politik antara Sultan Mohamad Alie Adil Chalifat'oel Moeminin dan pemerintah Hindia Belanda (Willem Broers, Resident der Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo) tahun 1889, termaktub nama-nama kampung yaitu: Pasir (tempat penandatanganan kontrak politik), Segendang, Perpat, Berombang, Adang, Telakei, Lembok, Silong, Pasir Lama, Setijoe, Kasungai (Kasoengei), Kuaro (Koewaroe), Labesie, Seratei, Laburan (Laboeran), Moengkoe, Belingkong, Samoe, Biu (Bioe), Seboerangan, Komam (Koeman), Pamoejaran, & Senipah (Senipa).[32]
Pada tahun 1905, dalam tulisan karya A.H.P.J. Nusselein[33] mencatat wilayah-wilayah di Kesultanan Pasir beserta nama-nama kampung yang termasuk didalamnya, yaitu:
Daerah aliran sungai bagian hulu Sungai Pasir, yaitu mulai dari mulutnya di Selat Makassar hingga sungai itu bergabung dengan Sungai Samoe. Memiliki perkampungan antara lain: Kampong Badjou (di muara sungai Pasir), Tabanio, Tanah Grogot, Pabentjongan, Tapian Batang, Pakot Lolo, Pasir (ibukota kesultanan), Sangkoeriman, Pakot Baroe, Rantau Gedang, Pakot Damik, Pakot Bekasa, dan Pakot Lampesoe.
Daerah aliran Sungai Samoe. Tidak disebutkan nama-nama perkampungannya.
Daerah aliran Sungai Pasir bagian hulu, yaitu dari muara sungai dengan Sungai Samoe hingga ke sumbernya. Perkampungan yang disebut: Oedjoeng Polak, Toekarsama, Semborong (juga disebut Batu Sopang[34]), Sebentang (Barashoeri?), Roesoei, Salinan, Batoe Botak, Oeloeng Soeroe, Terobok, Loeasi, Sawah Djamban, Djamban, Tandjong Djebok (Oeloeng Loesang), Koejoe, Oeloeng Roeroen & Oeloeng Sarang.
Daerah aliran sungai-sungai yang bermuara di selatan Sungai Pasir dan di utara Tandjoeng Aroe atau Ruige-Hoek di Selat Makassar. Nama perkampungan yang disebutkan: Bekang, Paron, Karang, Taberoek, Pat & Landing.
Daerah aliran sungai Moeroe dan sungai Lombok serta muara Sungai Adang. Daerah ini terdiri dari: Lemo Lemo, Samoentai, Pakot Kwaro, & Pasir Majang.
Daerah aliran sungai Adang bagian atas (hulu). Perkampungan yang disebut: Pakot Pait, Oeloe Towo, Oeloeng Itis, Krajang, dan Kempen.
Daerah Sungai Hulu Telakei. Perkampungan yang disebut: Oeloeng Toejoek, Baur Lalang, Loetar, Oeloeng Nikan, & Moeara Lambakan.
Daerah aliran Sungai Pias (sebuah anak sungai sisi kanan dari Telakei). Semboetak adalah satu-satunya kampung di daerah tersebut.
Wilayah Pasir setelah 1 Mei 1908
Wilayah Pasir yang semula merupakan wilayah otonom (zelfbestuur) yang dikelola oleh Kesultanan/Kerajaan Pasir menjadi dibawah kendali langsung Pemerintah Hindia Belanda, sehingga pemerintahan yang bercorak kerajaan/kesultanan dihapuskan sejak saat itu.[35]
Afdeeling Pasir dibagi menjadi 3 (tiga) distrik yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala distrik yang bertanggungjawab langsung ke seorang pejabat Controleur, yaitu[36]:
A. Beneden-Pasir, mencakup daerah aliran sungai Pasir dari muaranya hingga pertemuannya dengan Sungai Samoe, serta daerah aliran sungai Samoe dan sungai-sungai yang bermuara ke laut di selatan Sungai Pasir dan di utara Tandjong-Aroe;
B. Boven-Pasir, mencakup daerah aliran sungai bagian hulu Pasir dari pertemuannya dengan Sungai Samoe hingga hulunya;
C. Adang dan Telakei, mencakup daerah aliran sungai Moeroe, Lombok, Adang, dan Telakei;
Controleur afdeeling Pasir akan dibantu oleh seorang pegawai eropa dan seorang pegawai pribumi yang juga diberi tugas sebagai Adjunct-Djaksa. Seorang Panghoeloe juga ditempatkan di afdeeling Pasir. Seorang Controleur di afdeeling Pasir juga akan berfungsi sebagai Pejabat Pelabuhan (Fungerend Havenmeester), selain itu juga akan ditempatkan pegawai Bea Cukai (Uitvoerrechten) dan seorang Pejabat Catatan Sipil (Ambtenaar van den Burgelijke Stand). Di afdeeling Pasir juga akan ada petugas/perusahaan Paketvaart yang akan melayani pelayaran terjadwal (mengangkut penumpang, barang, dan pos secara reguler).
Daftar Pejabat di Onderafdeeling Pasir pada Awal Tahun 1908 - Awal Tahun 1913
Tahun
Controleur &
Fungerend Havenmeester
Voornaamste Hoofden (Zelfbesturende)
Ontvanger/ Uitvoerrechten
Ambtenaar van den Burgelijke Stand
Paketvaart
Kepala Distrik
Beneden-Pasir
Boven-Pasir
Adang & Telakei
1908
S. D. Kramers
(Tijdelik)
Sultan Ibrahim Chalil Oedin
-
-
Said Abdullah
-
-
-
1909
S. D. Kramers
(Tijdelik)
-
D. A. Neijs
-
Said Abdullah
-
-
-
1910
S. D. Kramers
(Tijdelik)
-
D. A. Neijs
-
Said Abdullah
Entji Kiraman
-
-
1911
S. D. Kramers
(Tijdelik)
-
D. A. Neijs
A. F. V. d'Aquino
Hadji Moehamad Amin
Entji Kiraman
Albert Apoer
Badowa bin Soeta Ono
1912
F. W. H. Stumpff
-
D. A. Neijs
R. Spiecker
Hadji Moehamad Amin
Entji Kiraman
Albert Apoer
Badowa bin Soeta Ono
1913
J. C. van Nouhuijs
(fd)
-
D. A. Neijs
R. Spiecker
Hadji Moehamad Amin
Kiai Anang Besar
Albert Apoer
Badowa bin Soeta Ono
Miscellaneous
Tadjong Aroe (Tanjung Aru), nama ini berasal dari sejumlah pohon "aroe", "roe", atau "tjamara" yang tumbuh di Tanjung itu.[37]
Pada musim kemarau yang paling parah, air di Sungai Pasir sampai Sangkuriman menjadi asin. Pada saat yang disebut musim air asin, yang menurut informasi hanya terjadi sekali dalam 4 tahun. Musim air asin ini dapat dirasakan di sepanjang semua sungai tersebut (dikenal dengan Intrusi Air Laut - Musim Air Asin).[38]
Dalam tulisan Hermann von Dewall yang termuat dalam Indisch Archief (1850) terdapat cerita tentang Panggawa Pego. Cerita tersebut tetap lestari hingga kini, seperti yang termuat dalam buku "Cerita Rakyat Paser dan Berau" terbitan tahun 2013.[39]
Produk-produk yang dihasilkan oleh Passir antara lain emas, sarang burung (walet), tripang, lilin lebah (bees-wax), dan rotan.[40]
Middelburgsche Courant. 28 Juni 1862. Kolonien. "De Sultan van Passir heeft men er toe gekregen, dat hij een kotrakt met het goevernement heef geteekend".
Nieuwedieper Courant. 31 Agustus 1862. "Per telegraaf, via Soerabaija, zijn de volgende berigten, loopende tot den 2den dezer, van Bandjermassing ontvangen".
Syahiddin, Abd. Rahman, dkk (2013). Cerita Rakyat Paser dan Berau(PDF) (dalam bahasa Indonesia). Samarinda: Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Staatsblad Van Nederlandsch-Indie Voor Het Jaar 1849 (Verdeeling van het Eiland Borneo in twee afdeelingen, onder de benaming van Wester afdeeling en Zuid en Ooster afdeeling, Besluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, van den 27sten Augustus 1849, No. 8). Batavia (Jakarta): Ter Lands-Drukkerij. 1849. Lijst No. 40
Staatsblad van Nederlandsch-Indie over Het Jaar 1884 (Staatsblad No. 35). Batavia (Jakarta): Landsdrukkerij. 1885.
Staatsblad Van Nederlandsch-Indie Voor Het Jaar 1908. No. 268. Binnenlandsch Bestuur. Zuider- En Oosterafdeeling Van Borneo. Inlijving van de afdeeling Pasir bij het rechtstreeks bestuurd Gouvernements gebied. Batavia (Jakarta): Landsdrukkerij. 1909.
Staatsblad Van Nederlandsch-Indie Voor Het Jaar 1908. No. 274. Binnenlandsch Bestuur. Djaksas. Panghoeloes. Verdeeling van de afdeeling Pasir in drie districten. Personeel voor genoemde afdeeling. Batavia (Jakarta): Landsdrukkerij. 1909.
Koloniaal Verslag van 1897. I. Nederlandsch (Oost) Indie. Verslag. No. 2 (Bijlagen C van het verslag der handelingen van de Tweede Kamer der Staten-Generaal).
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1877-1878. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1878. (Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Indischen Archipel). 100.5.
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1888 1889. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1889. (Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Indischen Archipel).
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1890 1891. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1890. (Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Indischen Archipel).
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1897 1898. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1897. (Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Indischen Archipel).
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, zitting 1901-1902. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1902. (Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Indischen Archipel).
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, ZITTING 1903 1904. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1905. (Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Indischen Archipel).
Gedrukte stukken der Tweede Kamer, ZITTING 1908 1909. Netherlands. Staten-Generaal. Tweede Kamer. 1909. (Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Indischen Archipel).