Kasidah yang berasal sebagai kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara dari Arab, Gujarat dan Persia, sifatnya pembacaan syair dan kemudian dinyanyikan. Oleh sebab itu, awalnya syair yang dipakai adalah semula dari Gurindam yang dinyanyikan, dan secara berangsur kemudian dipakai juga untuk mengiringi tarian.
Lalu sedari penghujung abad ke-19 dimulai musik Minang modern, bila gaya gong talempong yang dimasukkan ke dalam repertoar nontradisional lagu-lagu pop Minang, dan pada tahun 1950-an sudah lahir musik Minang kontemporer dengan alat musik dan genre baru. Dengan perkembangan teknologi elektronik sekitar setelah tahun 1950, maka mulai diperkenalkan pengeras suara, gitar elektrik, bahkan perkembangan kibor. Dan tak kalah penting adalah perkembangan industri rekaman sejak tahun 1951 oleh Irama serta Lokananta dan, teristimewa, kemudian beberapa label rekaman di Sumatra Barat.
Musik Minang tradisional
Musik Minang tradisional yang asal usulnya berhubungan dengan musik Melayu ditandai dengan gaya atau rentak Minang dan alat musik tradisional.[4] Alat musik tradisional Minang itu (lihat uraian di bawah ini), yaitu: saluang, talempong, aguang (gong), gondang, rebana, serunai, rabab, gambus, dan bansi.[2][4] Namun untuk acara tradisional seperti perkawinan tidak pernah dipakai rebana atau gambus yang Islam.[5]
Dendang adalah gaya musik vokal yang berkembang di masyarakat Minangkabau sebagai salah satu tradisi menyanyi yang diiringi oleh alat musik saluang dan lainnya.[1][4] Dendang dapat mengiringi
kaba, cerita lisan yang dapat dibacakan maupun didendangkan oleh rawi dengan iringan gesekan rabab (atau korek api buat kisah sijobang).[7][8] Selain kaba, dendang serta alat musik mengiringi pantun, salawat dulang, dan sementara tari.[1][4]
Lalu muncul kasidah yang berasal sebagai kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara dan perkembangannya di wilayah Sumatra Barat kira-kira pada abad ke-16. Sifatnya pembacaan syair agama dan kemudian pembacaan gurindam, kemudian berangsur dipakai juga untuk mengiringi tari-tarian. Alat musik yang dipakai hanya terbatas pada alat musik perkusi berupa pukulan bambu, kayu dan batu, kemudian juga rebana.[2]
Pada waktu sejak dibuka Terusan Suez terjadi arus migrasi orang Arab dan Mesir masuk Hindia Belanda tahun 1870 hingga setelah 1888, mereka membawa alat musik gambus dan bermain musik Arab. Pengaruh ini kemudian bercampur dengan musik tradisional dengan syair Gurindam dan alat musik tradisional lokal Minang seperti gong, talempong, saluang, serunai, rebana, biola, dlsb.[9]
Musik Minang modern. Pop Minang
Perkembangan musik populer modern berbahasa Minangkabau, kadang pada umumnya disebut sebagai Pop Minang, sudah dimulai semenjak penghujung abad ke-19, bila orkes-orkes Talempong yang dimasukkan ke dalam repertoar nontradisional lagu-lagu pop Minang.[3] Tentu saja gaya permainan musik ini sudah jauh berbeda dengan asalnya sebagai Qasidah, karena perkembangan masa ini tidak hanya menyanyikan syair Gurindam, tetapi sudah jauh berkembang sebagai musik hiburan nyanyian dan pengiring tarian.
Musik Minang modern dipengaruhi oleh musik latin dengan pukulan bongo dan permainan marakas, biasanya iramanya mirip rumba, cha-cha, atau mambo. Musik Minang modern adalah juga cikal bakal Dangdut bersama musik Melayu. Alat musik yang dipakai berkembang dengan masuknya alat musik eropa seperti akordeon, biola, gitar, piano atau kibor, bas, drum, bongo, saksofon, clarinet, trompet, seruling, Maracas, dsb.[12]
Pada dasawarsa 1970-an muncul genre musik lebih tradisional, yaitu Gamad dengan vokal bergaya Minang serta alat musik Portugis. Album-album dari penyanyi Yan JuneidSarunai Aceh dan Bunga Tanjuang disebut sebagai album kebangkitan musik Minang yang sebelumnya dikuasai oleh lagu-lagu Barat dan Indonesia.[13] Di antara tokoh lainnya, penulis lagu dan penyanyi Rustam Raschani.
Dua tokoh legendaris pop Minang angkatan 1970-an yang tidak berbaur gaya Dendang tradisional dengan musik non-Minang (Melayu, Arab, India, Barat) adalah pencipta lagu dan penyanyi Adjis Sutan Sati serta Sawir Sutan Mudo.[14]
Dalam musik kontemporer, dua tren hidup berdampingan: penggunaan unsur musik Minang tradisional dalam karya atau kepatuhan penuh terhadap standar musik nasional dan internasional dengan tetap mempertahankan liriknya dalam bahasa Minang, ibarat sejumlah balada sentimental. Jadi, misalnya, penyanyi perempuan Misramolai yang memadukan nyanyian Dendang dengan musik dansa elektronik telah memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pelestarian nyanyian Minang tradisional di kalangan pendengar generasi muda.
Alat musik tradisional
Saluang
Saluang adalah alat musik tradisional khas Minangkabau, Sumatera Barat. Alat musik tiup kayu ini terbuat dari bambu tipis atau talang, di mana orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai.
Dalam golongan alat musik ini adalah suling, namun hanya ada empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4 cm. Talang juga dipergunakan untuk membuat lemang, yaitu lontong ketan tradisional Minangkabau. Instrumen ini dapat menghasilkan bunyi dengan cara ditiup pada sudut tepi atau rongga bagian atasnya. Sehingga sesuai dengan prinsip fisika akustik, tiupan yang keluar dari mulut akan menggetarkan dinding bagian dalam saluang sedemikian rupa menghasilkan bunyi. Saluang distel dengan diberi beberapa lubang biasanya ada 4 lubang. Dengan begitu saluang dapat menghasilkan frekuensi nada-nada diatonis. Ini juga salah satu ciri khas instrumen ini.[1]
Pemain saluang legendaris bernama Idris Sutan Sati dengan penyanyinya Syamsimar.
Keutamaan para pemain saluang ini adalah dapat memainkan saluang dengan meniup dan menarik nafas bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan alat musik itu dari awal dari akhir lagu tanpa putus. Cara pernafasan ini dikembangkan dengan latihan yang terus menerus. Teknik ini dinamakan juga sebagai teknik manyisiahkan angok (menyisihkan nafas). Tidak sembarangan orang yang bisa meniup Saluang ini, membutuhkan latihan khusus agar bisa mengeluarkan suara khas Saluang, yang bernuansa kelam, misterius dan ghotic.
Tiap nagari di Minangkabau mengembangkan cara meniup saluang, sehingga masing-masing nagari memiliki gaya tersendiri. Contoh dari gaya itu adalah Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Gaya Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Gaya yang paling sedih bunyinya adalah Ratok Solok dari daerah Solok.
Sementara itu, Jenis saluang yang dapat dikatakan maut, berasal dari daerah Payakumbuah, bernuansa Magis, sebagai pengantar sihir, diwarnai dendang berlirik magic, dikenal dengan nama Saluang Sirompak, Berasal dari kata dasar rompak, yang berarti paksa. Basirompak adalah upaya memaksa batin seseorang -dengan bantuan kekuatan ghaib- agar menuruti kemauan mereka yang merompak. Ritual ini dilakukan oleh seorang pawang (tukang sirompak ) yang dibantu oleh seorang peniup saluang sirompak dan seorang tukang soga. Pawang bertugas mendendangkan mantra-mantra dan memainkan sebuah gasing (gasiang tangkurak) yang salah satu bagiannya dibuat dari potongan tengkorak manusia.
Kerapnya ritual ini dibawakan dengan media Saluang, sehingga dikenal dengan nama Basirompak, kesenian yang berhubungan dengan kegiatan ritual perdukunan atau magic song. Bila seorang lelaki dihina dan dicacimaki oleh seorang perempuan yang disukai oleh lelaki itu, maka si lelaki minta tolong pada setan dengan bantuan si dukun melalui sirompak. Sehingga, perempuan penghina itu jadi tergila-gila padanya dan sulit melupakan si lelaki tersebut.
Permainan Saluang biasanya dalam acara keramaian seperti keduri perkawinan, batagak rumah, batagak pangulu, dan lain-lain. Permainan ini biasanya dilaksanakan setelah salat Isya dan berakhir menjelang subuh.
Dalam kesemptan lain para dara-dara cantik Minang yang berisikan pesan, sindiran, dan juga kritikan halus yang mengembalikan ingatan si pendengar terhadap kampung halaman ataupun terhadap kehidupan yang sudah, sedang, dan akan dijalani.
Bansi (suling Minang)
Bansi atau Suling Minang dengan 7 lubang (seperti rekorder), berbentuk pendek, dan dapat memainkan lagu-lagu tradisional maupun modern karena memiliki nada standar (diatonik). Ukuran Bansi adalah sekitar 33,5 – 36 cm dengan garis tengah antara 2,5—3 cm. Bansi juga terbuat dari talang (bambu tipis) atau sariak (sejenis bambu kecil yang tipis).
Alat musik ini agak sulit memainkan, selain panjang yang susah terjangkau jari, juga cara meniupnya susah.
Pupuik batang padi
Alat musik tradisional ini dibuat dari batang padi. Pada ujung ruas batang dibuat lidah, jika ditiup akan menghasilkan celah, sehingga menimbulkan bunyi. Sedangkan pada ujungnya dililit dengan daun kelapa yang menyerupai terompet. Bunyinya melengking dan nada dihasilkan melalui permainan jari pada lilitan daun kelapa.
Sekarang pada menjelang tahun baru ada terompet tahun baru yang mirip dengan alat musik ini, bedanya sekarang memakai plastik dan corong memakai karton, dan diberi warna warni emas.[15]
Sarunai (klarinet Minang)
Serunai, berasal dari kata Shehnai yaitu alat musik di lembah KashmirIndia, terdiri dari dua potong bambu yang tidak sama besarnya; sepotong yang kecil dapat masuk ke potongan yang lebih besar; dengan fungsi sebagai penghasil nada. Alat musik ini memiliki empat lubang nada, yang akan menghasilkan bunyi melodius. Alat ini sudah jarang yang menggunakan, di samping juga sulit membuatnya, nada yang dihasilkan juga tidak banyak terpakai.
Pupuik tanduak
Alat musik ini dibuat dari tanduk kerbau (hoorn), dan bagian ujung dipotong datar untuk meniup. Bentuknya mengkilat dan hitam bersih. Tidak berfungsi sebagai alat pengiring nyanyi atau tari, jadi sebagai peluit, tanpa lubang, sehingga hanya nada tunggal. Dahulu digunakan untuk aba-aba pada masyarakat misalnya pemberitahuan saat subuh dan magrib atau ada pengumuman dari pemuka kampung.
Dahulu tanduk dipakai oleh kapal layar besar sebagai tanda atau komando kepada awak kapal, sedangkan orang Arab pakai bedug dan orang Eropa pakai lonceng maupun tanduk, dan dulu kereta api uap pakai lonceng kalau lewat keramaian.
Talempong (bonang Minang)
Di Jawa disebut bonang yaitu berbentuk gong kecil yang diletakkan datar, dan terbuat dari kuningan, namun juga ada yang terbuat dari kayu dan batu. membunyikannya dengan pukulan kayu.[6]
Biasanya talempong dipakai mengiringi tari Piring, di mana penari membunyikan piring dengan cicin, dan saling bersautan. Usunan nada adalah dimulai dengan Do dan diakhiri dengan Si. Cara memainkan seperti marimba atau kempul dengan nada ganda (tangan kiri dan kanan).
Rabab (rebab Minang)
Rabab berasal dari dunia Arab sebagai rebab, juga terdapat wilayah lain seperti Deli, Sunda, Jawa, dll. Rabab Minang sangat unik, selain digesek juga adanya membran suara di bawah bridge, sehingga mempunyai efek lain (suara serak). Sifat unik ini menyebabkan cara menggesek juga sulit. Badan rabab ini terbuat dari batok kelapa.[16]
Aguang (gong Minang)
Istilah gong dalam bahasa Minang adalah aguang, bentuknya sama dengan yang ada di daerah lain, seperti di Melayu, Sunda, Jawa, dll.
Gong biasanya bersifat pukulan ke satu, ke tiga, atau penutup, sedangkan gong kecil pada pukulan ke dua dan ke empat. Kemudian juga ada variasi sesuai dengan rentaknya.
Gandang (gendang Minang)
Istilah gendang dalam bahasa Minang adalah gandang (dalam bahasa Batak gondang), bentuknya sama dengan yang ada di daerah lain, seperti di Melayu, Batak, Sunda, Jawa, dll. Cara memainkan adalah sama juga, yaitu sisi lingkaran kecil di sebelah kiri dan yang lebih besar ada di sebelah kanan. Namun cara memukul antara masing-masing daerah sangat berbeda, yaitu di Minang tergantung dari jenis rentak lagu. Gandang Tasa adalah kesenian tradisional permainan gendang yang populer di Kabupaten Padang Pariaman [17]
Biola (biola Minang)
Alat musik biola kemudian juga menjadi alat musik tradisional minang dengan beberapa modifikasi sesuai dengan tradisional Minang: rabala dan rabab darek. Rabab Pesisir Selatan (rabab Pasisia) adalah salah satu permainan rabab yang terkenal di Sumatra Barat dengan pemain rababnya yang terkenal adalah Hasan Basri.[18]
Rekaman dan penghargaan
Perkembangan industri rekaman musik daerah sejak tahun 1951 diprakarsai oleh Irama serta Lokananta di Jawa. Kemudian, perusahaan-perusahaan serta label rekaman di Sumatra Barat yang turut mendukung industri musik Minang antara lain: Tanama Record, Planet Record, Pitunang Record, Sinar Padang Record, Caroline Record yang terletak di Padang dan Minang Record, Gita Virma Record, Elta Record yang terletak di Bukittinggi.[11]
Anugerah Musik Minang dari Gubernur Sumatra Barat ialah penghargaan utama untuk para pemusik Minang.
^Rony, Aswil (1999). Pupuik batang padi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Museum Negeri Propinsi Sumatera Barat "Adhityawarman".
^Ensiklopedi musik dan tari daerah Sumatera Barat, 1977, hlm. 59.
Music of Indonesia [Series]. Ed. by Philip Yampolsky. Washington, DC: Smithsonian/Folkways, 1990–1999. 20 Compact Discs with Liner Notes. Bibliography.