Museum Pustaka Peranakan Tionghoa adalah museum yang menyimpan koleksi literatur, komik, surat kabar dan barang- barang lainnya tentang sejarah Tionghoa di Indonesia yang berada di Ruko Golden Road BSD, Tangerang Selatan, Banten.[1]
Sejarah
Museum ini didirikan oleh Azmi Abubakar, seorang laki-laki beradarah Gayo, Aceh yang lahir dan besar di Jakarta pada tahun 2011. Berawal dari Azmi yang masih kuliah di Institut Teknologi Indonesia, pada Mei 1998 yang menyaksikan peristiwa sadis yang menimpa keluarga Tionghoa. Saat kerusuhan tersebut, Azmi dan kawan-kawannya bergotong royong membantu mengamankan kawasan sekitar BSD dan Pamulang dari penjarah.[1]
Sejak kejadian tersebut, Azmi berinsiatif mencari alasan atas tuduhan yang kerap dialamatkan kepada etnis Tionghoa dan salah satunya dengan membaca literatur mengenai etnis Tionghoa. Perlahan, ia mengetahui bahwa banyak orang dari etnis Tionghoa yang juga ikut berkontribusi, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia.[1]
Sejak 2005, Azmi mengumpulkan buku, dokumen, dan berbagai bukti tertulis tentang peranakan Tionghoa dari seluruh toko bekas di Pulau Jawa, terutama di kota-kota yang jadi pusat permukiman kaum Tionghoa hingga ke Eropa.[1]
Bangunan
Museum menempati ruko berukuran 10x5 meter[1] yang terdiri dari 2 lantai.
Koleksi
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa memiliki lebih dari 40.000 koleksi kepustakaan Tionghoa Indonesia.[2] Kebanyakan literatur tersebut terbit sebelum tahun 1980 beragam tema, mulai dari sastra, politik, seni, resep masakan, cerita rakyat, foto, dokumen, sampai budaya pop seperti komik.[3]
Salah satu koleksi yang terpajang di dinding adalah papan nama yang merupakan bagian dari sekolah yang didirikan Tiong Hoa Hwee Kwan, sebuah organisasi yang didirikan pada 1900 oleh beberapa tokoh keturunan Tionghoa di Batavia.[1]
Selain itu juga terdapat buku cerita ksatria zaman Dinasti Tang di China yang ditulis dalam aksara Jawa dan dibuat oleh seorang etnis Tionghoa pada 1891.[1] Kemudian terdapat juga majalah Sin Po edisi nomor 1 tahun pertama, dokumentasi surat menyurat dari laksamana Jhon Lie kepada jendral A.H Nasution dan tokoh-tokoh bangsa lainnya. Koleksi lainnya adalah komik pertama Indonesia dari tahun 1930 yang ditulis oleh Kho Wan Gie serta patung terakota.[2]
Koleksi berikutnya adalah akta kelahiran seorang warga keturunan Cina tahun 1940 yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda di Semarang dan manuskrip beraksara Jawa karya Tjan Tjoen Hiang dari Surakarta tahun 1891 yang menceritakan kembali kisah roman klasik Cina, Sie Djin Kwie.[4]
Akses dan lokasi
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa berlokasi di Ruko Golden Road BSD C 33 Nomor 78, Serpong, Tangerang Selatan. Rute kendaraan umum bisa menggunakan kereta komuter jurusan Serpong, berhenti di Stasiun Rawa Buntu dan kemudian dilanjutkan dengan transportasi daring.[3]
Museum ini tidak memiliki waktu operasional tetap sehingga untuk pengunjung perlu membuat janji temu dengan pemilik minimal dua minggu sebelum kedatangan. Pengunjung dapat memegang dan memotret literatur di Musem Pustaka Peranakan Tionghoa, tetapi tidak boleh dipinjam dan dibawa pulang. Pengunjung juga diharapkan jangan bersantap atau merokok di dalam museum.[3]
Referensi
- ^ a b c d e f g Mailoa, Melisa (5 Agustus 2019). Mappapa, Pasti Liberti, ed. "Lebih Tionghoa dari Orang Tionghoa". detikcom. Diakses tanggal 9 Februari 2020.
- ^ a b (Kontributor), Muhammad Kurnianto (24 Januari 2020). Cahyana, Ludhy, ed. "Menilik Koleksi Langka Museum Pustaka Peranakan Tionghoa". Tempo.co. Diakses tanggal 9 Februari 2020.
- ^ a b c Agmasari, Silvita (16 Maret 2018). Nursastri, Sri Anindiati, ed. "Panduan Berkunjung ke Museum Pustaka Peranakan Tionghoa". Kompas.com. Diakses tanggal 9 Februari 2020.
- ^ Wirawan, Jerome (2018-02-16). "'Harta karun' tersembunyi di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa". BBC News Indonesia. Diakses tanggal 2024-05-28.