Artikel atau bagian dari artikel ini menggunakan gaya bahasa naratif yang tidak sesuai dengan Wikipedia sehingga menurunkan kualitas artikel ini. Bantulah Wikipedia memperbaikinya. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.
Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholiq), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurroh, Muhammad Yusuf Abdul Qodir, Fatimah, Chotijah, Muhammad Ya’kub
K.H.Muhammad Hasyim Asy'ari (14 Februari 1871 – 25 Juli 1947) adalah seorang ulama, pahlawan nasional, serta merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) organisasi massa Islam, Nahdlatul Ulama.
Terbentuknya Nahdlatul Ulama atau NU sebagai wadah Ahlussunnah wal Jama’ah atau Aswaja bukan semata-mata karena K.H. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya ingin melakukan inovasi, namun memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi genting dan wajib mendirikan sebuah wadah. Di mana saat itu, di Timur Tengah telah terjadi momentum besar yang dapat mengancam kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah terkait penghapusan sistem khalifah oleh Republik Turki Modern dan ditambah berkuasanya Manhaj Salaf di Arab Saudi yang sama sekali menutup pintu untuk berkembangnya paham Sufi di tanah Arab saat itu. Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama masyhur berkumpul di Masjidil Haram dan sangat mendesak berdirinya organisasi untuk menjaga kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah.[2]
Setelah melakukan istikharah, para ulama di Arab Saudi mengirimkan sebuah pesan kepada K.H. Hasyim Asy’ari untuk sowan kepada dua ulama besar di Indonesia saat itu, apabila dua ulama besar ini merestui, maka akan sesegera mungkin dilakukan tindak lanjut, dua orang itu adalah Habib Hasyim, Pekalongan dan Syaikhona Kholil, Bangkalan. Maka K.H. Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi, Kiai Irfan, dan K.H.R. Asnawi datang sowan ke kediamannya Habib Hasyim di Pekalongan.[2] Selanjutnya dilanjutkan dengan sowan ke Syaikhona Kholil Bangkalan, maka K.H. Hasyim dan ulama lainnya mendapatkan wasiat dari Syaikhona Kholil untuk segera melaksanakan niatnya itu sekaligus beliau merestuinya.[3]
Kemudian pada tahun 1924, Syaikhona Kholil mengutus Kiai As'ad yang saat itu berumur 27 tahun untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Kiai Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang dan menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 untuk dibacakan di hadapan Kiai Hasyim. Berangkatlah Kiai As'ad dengan mengayuh sepeda, Kiai As'ad telah dibekali uang oleh Syaikhona Kholil untuk di perjalanan, namun ia justru berpuasa selama di perjalanan. Kemudian setibanya di Tebuireng, Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy'ari dan menyerahkan tongkat itu. Kiai Hasyim bertanya “Apakah ada pesan dari Syaikhona?” Lalu Kiai As’ad membaca Surat Thaha ayat 17-23 yang arti terjemahannya:
“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami (Allah) akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.[4]
Berselang beberapa hari, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As'ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim. Ketika Syaikhona Kholil menyerahkan tasbihnya, Kiai As'ad enggan untuk menerima dengan tangannya, ia memohon kepada Syaikhona untuk mengalungkan tasbih itu ke lehernya. Syaikhona Kholil berpesan agar Kiai As'ad membaca "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" hingga sampai Tebuireng dan membacanya di hadapan Kiai Hasyim. Selama di perjalanan, Kiai As'ad sama sekali tidak berani menyentuh tasbih itu, hingga sesampainya di Tebuireng, Kiai As'ad segera menghadap Kiai Hasyim dan memohon Kiai Hasyim untuk mengambil tasbih itu dari lehernya seraya ia membaca "Yaa Jabbar Ya Qahhar".
K.H. Hasyim Asy'ari[5] telah menangkap dua isyarat kuat tersebut yang mengartikan bahwasannya Syakhona Kholil telah memantapkan hati beliau dan merestui didirikannya Jam'iyah Nahdlatul Ulama. Setahun kemudian, pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.
Pemikiran dari K.H. Hasyim Asy'ari tentang Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ulama dalam bidang tafsir Al Qur'an, Sunnah Nabi Muhammad, dan Fiqih yang tunduk pada tradisi Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut termasuk "mereka yang mengikuti Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali". Pemikiran inilah yang diterapkan oleh Jam'iyah Nahdlatul Ulama yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga, pelestari, dan penyebar paham Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam pandangan K.H. Hasyim Asy'ari tidak memiliki makna tunggal, tergantung perspektif yang digunakan. Paling tidak terdapat dua perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu teologi dan fiqih. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut melalui karya-karya K.H. Hasyim Asy'ari, maka sebenarnya dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah pada dasarnya lebih kepada pola keberagaman bermadzhab kepada generasi muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.[6]
Resolusi Jihad
Resolusi Jihad adalah suatu hasil dari perenungan dan penghayatan nilai-nilai Islam kebangsaan. Tak lama setelah merdeka, Indonesia kembali mendapat teror Belanda yang ingin kembali masuk menguasa Indonesia dari tangan Jepang. Presiden Soekarno mengutus Bung Tomo untuk menghadap KH Hasyim Asy’ari untuk meminta nasehat dan pendapat bagaimana kiranya hukumnya umat Islam menghadapi ancaman tersebut.
Menanggapi hal itulah K.H. Hasyim Asy’ari[7] mengeluarkan fatwa yang kemudian diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura. Berikut isi teks asli fatwa tersebut.
Bismillahirrochmanir Rochim
Mendengar : Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAOELATAN NEGARA REPOEBLIK INDONESIA MERDEKA.
Menimbang :
a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap-tiap orang Islam.
b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar terdiri dari Oemmat Islam.
Mengingat:
Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.
Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.
Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja.
Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet.
Memoetoeskan :
Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.
Soepaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah: Fi Hadistil Mauta wa Asyrathissa'ah wa Bayani Mafhumissunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda Zaman, Penjelasan Sunnah dan Bid'ah). Karya K.H. Hasyim Asy’ari yang satu ini banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara sunnah dan bid’ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang akan muncul di kemudian hari, terutama saat ini.
Muqaddimah Al Qanun Al Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (Anggaran Dasar Organisasi Nahdlatul Ulama). Kitab ini berisikan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari yang berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, K.H. Hasyim Asy’ari mengutip beberapa ayat dan hadits yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU.
Risalah fi Ta’kidul Akhdzi bi Mazhabil A’immatul Arba’ah (Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat). Dalam kitab ini, K.H. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab (Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal). Namun, beliau juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut kita jadikan rujukan.
Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh hadits pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadits yang dipilih oleh K.H. Hasyim Asy’ari terutama berkaitan dengan hadits-hadits yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.
Adabul 'alim wal Muta’alim fi ma Yahtaju Ilaihil Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi(Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar). Pada dasarnya, kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhamad bin Sahnun, Ta’limul Muta’allim fi Thariqah at-Ta’allum karya Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, dan Tadzkiratus Syaml wal Mutakalli fi Adabil 'Alim wal Muta’allim karya Syekh Ibnu Jama'ah. Meskipun merupakan bentuk ringkasan dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian K.H. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.
Wafat
Kiai Hasyim wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M atau 7 Ramadan 1366 H, saat itu di Kiai Hasyim menerima kedatangan utusan Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Bung Tomo yang hendak mengabarkan keadaan negara setelah terjadinya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Kiai Hasyim kaget sebab mendengar cerita dari utusan tersebut bahwa Singosari telah direbut oleh Jenderal Spoor.
Mendengar kabar itu, Kiai Hasyim sangat kaget hingga beliau jatuh pingsan, sempat didatangkan dokter namun nyawanya tak bisa diselamatkan lagi, ia dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Diwek, Jombang.[8]
^ ab"NU Online". nu.or.id. Diakses tanggal 2021-12-03.
^"Home". Tebuireng Online (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-03.
^"Surat Thaha 17-23". Kementerian Agama RI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-21. Diakses tanggal 14-01-2022.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)