Dari sudut pandang sinosentris pihak Tahta Kekaisaran Tiongkok di Chang'an, utusan-utusan yang dikirim Kyoto tersebut dianggap sebagai pemberi upeti kepada Kekaisaran Tiongkok; namun tidak jelas apakah pihak Jepang juga memiliki pandangan yang sama mengenai hal ini.
Tiongkok kemungkinan adalah pihak yang memulai inisiatif pembukaan hubungan dengan Jepang. Kaisar Yangdi dari Dinasti Sui (kensui taishi) tahun 605 mengirimkan pesan yang berisi:
"Penguasa Sui dengan hormat meminta keterangan mengenai penguasa Wa."[1]
Pangeran Shōtoku menanggapinya dengan mengirimkan sebuah misi ke Tiongkok di bawah pimpinan Ono no Imoko tahun 607. Pesan dari pangeran tersebut memuat tulisan terawal yang menyebutkan kepulauan Jepang dengan nama "Nihon," yang secara harfiah memiliki arti berasal dari matahari.[2] Salam pembuka surat mengatakan:
"Dari penguasa tanah matahari terbit (nihon/hi izuru) kepada penguasa tanah matahari terbenam."[3]
Utusan-utusan kekaisaran Jepang ke Dinasti Sui (遣隋使code: ja is deprecated , Kenzui-shi) tersebut juga termasuk para pelajar luar negeri Jepang yang sedang mempelajari agama Buddha.
Utusan-utusan kekaisaran Jepang ke Dinasti Tang (遣唐使code: ja is deprecated , Kentō-shi) yang dikirimkan selanjutnya adalah yang paling terkenal (total 13 misi); yang mana kegiatan kunjungan tersebut berakhir pada tahun 894. Pada saat itu telah ditunjuk seorang duta besar, yang kemudian akan berangkat ke Tiongkok. Namun misi kedutaan kemudian dihentikan oleh Kaisar Uda tahun 894 (Kanpyō 6, bulan ke-8) karena adanya laporan-laporan keadaan yang meresahkan di Tiongkok.[4] Keputusan yang diambil oleh Kaisar adalah berdasarkan nasihat persuasif yang diberikan oleh Sugawara Michizane.[5]