Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, hal ini dapat diartikan sama dengan masyarakat plura atau pluralistik. Menurut a Modern Dictionary of Sociology mengatakan, bahwa pluralisme atau cultural pluralism adalah kultur heterogen, dengan etnik dan grup minoritas lainnya yang berkumpul dalam satu identitas masyarakat.[1]
Menurut Goult, istilah dari majemuk atau pluralistik itu dapat dirumuskan menjadi tiga arti, yakni.
Dalam masyarakat yang heterogen, relatif tidak adanya assimilasi dan konsekuensinya.
Doktrin (sering disebut pluralisme budaya) bahwa masyarakat mendapat manfaat ketika terdiri dari sejumlah kelompok etnis yang saling tergantung yang masing-masing mempertahankan tingkat ekonomi,
Gagasan bahwa sistem sosiokultural yang besar dapat dikonseptualisasikan sebagai pengelompokan sub-sistem yang saling bergantung, meskupun seringkali agak otonom.
Menurut filsafah, pluralism dapat dikatakan bertentangan dengan dipertentangkan dengan dualism. Pluralism merupakan suatu nilai, bahwa dunia terdiri dari bermacam-macam benda, hal atau keadaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pluralism dapat dipergunakan di dalam bermacam-macam kerangka pemikiran. Semua istilah tersebut (untuk selanjutnya disebut pluralism) dipergunakan dalam arti yang dipertentangkan dengan teori-teori tradisional tersebut mengenai kedaulatan negara. Hal ini disebabkan, oleh karena teori-teori tradisional tersebut tidak atau kurang mempertimbangkan adanya bermacam-macam hak, kepentingan dan perkembangan dari aneka warna kelompok atau golongan di dalam negara.[2]
Menurut M.G Smith faktor politik menimbulkan terciptanya bentuk-bentuk masyarakat majemuk sehingga dapat dibentukan kedalam kategori-kategori tertentu, sebagai berikut:
Bentuk masyarakat majemuk di mana dominasi politik dipegang oleh suatu kelompok tertentu. Tingkat kemajemukannya adalah kemajemukan struktural, yang mencakup kemajemukan budaya dan sosial. bentuk ini disebut differential incorporation
Bentuk masyarakat majemuk di mana dijumpai sesuatu keadaan di mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebar secara merata di antara kelompok-kelompok sosial yang ada, walau dijumpai keanaeka warnaan lembaga lebaga sosial. Tingkat kemajemukannya adalah kemajemukan sosial, oleh karena pembagian masyarakat ke dalam kelompok-kelompok sosial tertutup, yang sifatnya sangat tajam. bentuk masyarakat majemuk ini disebut Consortation.
Bentuk masyarakat majemuk di mana semua warga masyarakat dimasukan ke dalam suatu wadah yang bersifat publik, tanpa memperhatikan pola identifikasi yang ideal maupun nyata. Taraf kemajemukannya adalah kemajemukan budaya, bentuk mana disebut uniform incorporation.
Dari ulasan tersebut dapat dilihat bahwa M.G Smith lebih menekankan kepada faktor politik, sedangkan sebelumnya dia lebih banyak menaruh perhatian pada faktor budaya.[2]
Sejak dahulu sistem kekerabatan pada masyarakat ini sudah ada, hal ini timbul dikarenakan rasa ingin manusia yang ingin memantau perkembangan kehidupan keluarganya dalam masyarakat. Salah seorang peneliti menyatakan bahwa sistem kekerabatan ini memiliki bentuk yang berbeda dengan oranisasi sosial yang ada dalam masyarakat. denagan adanya sistem kekerabatan ini, dapat mengikat individu-individu kedalam seuatu kelompok besar yang dapat menyatakan diri mereka sebagai keluarga besar[4] Menurut Koentjaningrat kelompok kekerabatan adalah sebagai berikut:
A. Ego-oriented kingroups
Kindred
Keluarga luas
B. Ancestor-oriented kingroups
Deme
Keluarga ambilineal kecil
Keluarga ambilineal besar
Klen kecil
Klen besar
Fratri
Paroh masyarakat (moety)
Sebenarnya, prinsip keturunan memberikan batas-batas pada hubungan-hubungan kekerabatan. oleh karena prinsip tersebut akan menandakan siapa yang akan masuk kedalam hubungan kekerabatan.[5]
^Thomas Ford, Hoult (1977). a Dictionary of Modern Society. New Jersey: Adams & Co.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abSoerjono, Soekanto (2021). Hukum Adat Indonesia. Depok: Rajawali Pers. hlm. 17. ISBN978-602-425-536-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Sarjono, Soekanto (2021). Hukum Adat Indonesia. Depok: Rajawali Pers. hlm. 33.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Soemarjan, Selo (1975). Komunikasi dan Pembangunan Masyarakat. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial UI.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Mitchell, G. Duncan (1977). Dictionary of Sociology. London: Routledge & Kegan Paul.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)