Masatia atau Masatya (dalam bahasa Bali berarti "setia") adalah praktik pemakaman religius yang pernah dilangsungkan di Pulau Bali ketika wanita dari keluarga kerajaan yang baru saja menjadi janda membakar diri di atas api kremasi suaminya.[1][2]
Deskripsi pertama praktik ini tercatat Ma Huan, anggota ekspedisi Cheng Ho ke Jawa antara 1413 dan 1415.[3] Catatan kesaksian Belanda pertama mengenai pengorbanan perempuan di Bali dicatat oleh Jan Oosterwijck. Oosterwijck adalah saudagar kepala (Opperkoopman) dalam kongsi dagang VOC. Pada Februari 1633, Gubernur Jendral Hendrik Brouwer mengirimnya untuk misi ke Bali. Misinya bertemu dengan raja gagal karena raja sedang berduka setelah kematian dua anak dan ibunya. Tercatat saat kremasi, 22 budak perempuan melemparkan diri ke kobaran api setelah menikam diri atau mendapat tikaman keris dari algojo. Sementara dalam prosesi pemakaman dua putra raja, 42 perempuan dan 34 lainnya ditikam dan dibakar, termasuk dua istri utama dari pangeran tersebut.[3]
Praktik ini dilaksanakan oleh keluarga kerajaan di Bali setidaknya hingga tahun 1903. Konon Gubernur Jenderal Hindia BelandaWillem Rooseboom sangat murka karena tidak dapat menghentikan upacara masatia di Tabanan pada tahun tersebut. Pemerintahan Hindia Belanda dengan alasan kemanusiaan dan terdorong oleh tindakan Inggris yang melarang praktik Sati di India, kemudian memaksa para penguasa di Bali untuk melarang masatia. Pada tahun 1905, semua penguasa Bali telah bersedia menghapuskan praktik masatia.[2][3]
Menurut pengamat dari Belanda pada abad ke-17, hanya janda dari keluarga kerajaan yang dapat dibakar hidup-hidup. Jika selir dan orang-orang lain yang dianggap "rendah" darahnya ingin melakukan masatia, mereka harus ditusuk hingga mati terlebih dahulu sebelum dapat dibakar.[4]