Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu adalah buku antologi puisi yang ditulis oleh Kedung Darma Romansha dan diterbitkan oleh Rumah Buku Yogyakarta. Peluncuran pertamanya dilakukan di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta tanggal 25 Februari 2018. Buku ini berisi 33 puisi yang ditulis sepanjang tahun 2004–2017, yang diawali dengan judul Kereta Terakhir dan diakhiri dengan Kalau. Tema di dalamnya meliputi persoalan sosial–politik, cinta, dan kuasa.
Suminto A. Sayuti yang memberikan catatan buku ini mengungkapkan jika puisi yang ditulis oleh Kedung pada dasarnya meneruskan tradisi yang sudah dibangun oleh para sastrawan terdahulu secara sistematis. Namun demikian, dapat dipahami jika hal itu memang dikehendaki secara sadar oleh Kedung agar para pembaca membangun interaksi berkelanjutan antara diri dan puisi yang tengah dihadapi. Puisi-puisi dalam antologi ini mengungkapkan bahwa setiap “perjalanan” itu pasti ada awal dan akhir, serta ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan dan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, Kedung, seperti halnya penyair-penyair lain, berupaya membangun lintasan kreatifnya sendiri yang idiosinkratik melalui puisi.
Tema puisi
Buku antologi puisi ini diterbitkan oleh Rumah Buku dan Pustaka Senja Yogyakarta.[1][2] Peluncuran pertamanya dilakukan di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta tanggal 25 Februari 2018, yang dihadiri + 100 peserta dari berbagai komunitas dan pecinta sastra. Peluncuran itu turut dihadiri oleh Joko Pinurbo, dimoderatori oleh Asef Saeful Anwar, serta menghadirkan Teuku Rifnu Wikana dan Gunawan Maryanto yang tampil membacakan puisi-puisi karya Kedung dalam bukunya tersebut.[3]
Buku ini berisi 33 puisi yang ditulis sepanjang tahun 2004–2017, yang diawali dengan judul Kereta Terakhir dan diakhiri dengan Kalau. Adapun kerangka utamanya terletak di dua puisi berjudul Kereta Utama dan Hujan Oktober.[3][4] Tema di dalamnya meliputi persoalan sosial–politik, cinta, dan kuasa.[5] Jenis puisi lirik ini bercirikan adanya kalimat aku dan kau di dalamnya. Salah satu hal yang membuat puisi-puisi di dalamnya menarik adalah keambiguan dan ketaksaannya, misalnya tidak jelasnya rujukan kalimat kau.[6]
Masa lalu penyair telah membentuk puisi-puisi di dalamnya turut mewarnai kecenderungan kehidupannya saat ini. Melalui buku ini pula, Kedung mengisyaratkan bahwa sejarah masa lalu sesungguhnya indah.[5] Kumpulan puisinya itu dan novelnya yang berjudul Telembuk (Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat) masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa dan buku rekomendasi Tempo tahun 2017.[7][8]
Menurut Jokpin, kumpulan puisi ini adalah semacam perjalan dan penemuan jati diri penulisnya. Namun, dia tidak menguraikan apa pun untuk judulnya. Baginya, judul itu multimakna dan sebaiknya diterima begitu saja, seperti orang-orang lain yang mempunyai banyak masa lalu menyakitkan, biarkanlah tenggelam dalam "senyummu”.[3]
Lebih lanjut, Jokpin mengomentari Kereta Terakhir yang bercerita tentang kerinduan. Seperti barisnya "petugas melubangi rindu di karcismu", rindu juga sekali pakai dan harus diperbarui: seperti halnya tiket kereta yang juga sekali pakai. Dalam puisi lainnya, Jokpin menemukan kata-kata yang banyak dipakai, yaitu imaji basah, membasahi, menetes, melelah, dan kata basah; bukan sesuatu yang membeku. Dalam intereptasinya, rindu yang baik adalah rindu yang begitu menetes, meleleh, tidak tetap, sebab tidak ada rindu yang pasti dan kaku.[3]
Jokpin juga beranggapan jika Kedung mampu menghadirkan hujan dalam sudut pandang lain, bisa dibilang hujannya kaum proletar. Tentang atap dan kenangan bocor menunjukkan hujan kaum menengah ke bawah, berbeda halnya dengan hujan milik Sapardi Djoko Damono yang mengetuk-ngetuk. Kedung sendiri mengaku bahwa dia memang tipikal orang yang susah menulis puisi kalau tidak benar-benar ada momen puitis yang masuk ke dalam kepalanya.[3]
Catatan pengantar
Suminto A. Sayuti yang memberikan catatan buku ini mengungkapkan jika puisi yang ditulis oleh Kedung pada dasarnya meneruskan tradisi yang sudah dibangun oleh para sastrawan terdahulu secara sistematis. Itu sah adanya. Seseorang boleh saja mengatakan jika Kedung secara sadar telah memosisikan para pendahulu sebagai “teks-teks parental”, yang darinya dia lantas membuka diri demi masuk ke dalam proses kreatif.[9]
Sayuti beranggapan bahwa seseorang sering memerlukan situasi yang disebut anxiety of influence (kegelisahan pengaruh) melalui “salah-baca” dan “salah-tafsir”, yang disadari dan sudah dilakukan oleh para pendahulu, untuk memelihara keterjagaan kreativitasnya. Dalam konteks inilah, Kedung telah memilih dimensi kelampauan, “masa lalu” sebagai matriks utama keseluruhan puisi yang dihimpun dalam antologi ini, seperti tampak dalam pilihan judul antologi. Kelampauan yang digeluti habis-habisan olehnya, tanpa harus menariknya secara linear ke masa kini atau ke masa depan secara eksplisit dalam masing-masing puisi. Ini dikarenakan manusia hanya mampu mempertanyakannya secara retorik, “Masih adakah yang harus dibicarakan/selain kemurungan masa depan?/Lalu siapa yang telah menulisnya kemarin?” (puisi: Musim yang Tiba-Tiba Menepi di Sela-Sela Bulu Matamu).[10]
Namun demikian, dapat dipahami jika hal itu memang dikehendaki secara sadar oleh Kedung agar para pembaca membangun interaksi berkelanjutan antara diri dan puisi yang tengah dihadapi. Itulah sebabnya, Kedung pun menulis, “Begitulah puisi menangisi dirinya sendiri/seperti kau yang terbaring dalam ingatan yang mati” (puisi: Spasi).[11]
“Masa lalu” adalah kenangan yang tak mungkin kembali: kenangan yang hanya “berjejalan di gerbong ingatanmu” (puisi: Kereta Terakhir), dan hanya “meranggas dalam hatiku” (puisi: September Gugur). Inilah yang membuatnya sering menyakitkan, apalagi setelah menjadi sesuatu yang “terjatuh ke dalam senyumanmu”, bukan “kepadaku”. Memang ada upaya antara “kau/aku” untuk “mencipta masa lalu” (puisi: Dan Sunyi Berceracau Lewat Burung-Burung), lalu “menyimpan… di saku celana” (puisi: Demi Waktu yang Berjatuhan di dalam Tubuhku), “seperti empat tahun lalu/kita pun basah mengingatnya” (puisi: Mei yang Basah). Namun, “kenangan itu bocor” (puisi: Kenangan yang Bocor), atau malah “tenggelam di jalan” (puisi: Sehabis Hujan) sia-sia! Ketika “gerimis/kenangan menetes dari matamu”, yang tersisa dan menyergap adalah “sepi usia dalam senja” (puisi: Seketika Gerimis).[11]
Nukilan-nukilan tersebut menunjukkan bahwa Kedung sejatinya hendak mengekspresikan dan memaknai secara reflektif pengalaman personalnya, tetapi dengan tetap menyisakan ruang bagi siapa saja yang membacanya untuk melakukan transpersonalisasi diri ke dalam pengalaman personal kreator.[12] Berdasarkan nukilan-nukilan tersebut, tampak pula bahwa “masa lalu” telah dimaknai sebagai "terminal keberangkatan" oleh dirinya.[11]
Pemberdayaan alusi, seperti tampak dalam penggunaan bahasa, lagu, parikan, dan cerita yang berakar kepada budaya lokal asal Kedung, yaitu Indramayu, menandai dan menegaskan pengalaman personalnya itu: “Angin barat ngajar kitiran/angin kumbang ngajar layangan/wong mlarat dadi pikiran/kegembang dadi bayangan…/aih mak.../ana pribasane gabah wutah ning leleran/lakonana sabar lan nrima/wong sabar langka alane/malah dadi ning becike” (puisi: Ke Kotamu – untuk kawan-kawanku yang merantau ke Jakarta), “telembuk” (puisi: Telembuk), atau rujukan terhadap nama “Windardi” (puisi: Ngundhuh Wohing Karma).[13]
Namun, “… pergi meninggalkan sesuatu yang kau sebut masa lalu” (puisi: Segelas Sunyi yang Dingin), ke manakah sesungguhnya manusia pergi meninggalkan terminal keberangkatan itu, meninggalkan “masa lalu” itu, jika ternyata “tidak ada tempat berpulang bagi ingatan” karena “kita hanya menumpang di sini/singgah sebentar lantas pergi lagi"? (puisi: Spasi). Sementara itu, “masa lalu” tetap bertahan menjadi sesuatu “yang dingin” (puisi: Barangkali Ada yang Ingin Kau Tanyakan), bahkan “masa lalu bangkit/dari tubuhmu/bulan-bulan redup/hari pudar pada musim yang lewat/dan waktu/meleleh di punggungmu” (puisi: Ngunduh Wohing Karma – diambil dari kisah Dewi Windardi/Windradi dan Resi Gautama).[14]
Pembaca juga diingatkan oleh Kedung jika kita “hidup bukan untuk masa silammu/karena kau bukan takdir kenanganku (puisi: Cinta yang Lupa Ingatan), tetapi kenyataannya kenangan tetap merupakan sebuah “tempat segala kepalsuan/diciptakan", ibaratnya “seperti ciuman yang membekas dalam ingatan” (puisi: Puisi yang Lahir dari Cerita Konyol), “yangmemutih di rambut/lalu rontok dan jatuh ke tanah” (puisi: Kalau), dan bersamaan dengannya “usia menyulap kita jadi dongeng/dan tahu, masa jasad kita/mendekat keranda juga/tandas dilahap cerita-cerita yang selalu sama” (puisi: Kepada [14]
Oleh karena itu, di tengah “kendaraan bersliweran di jalan/mengangkut masa lalu/singgah sebentar lantas pergi meninggalkan sunyi”, kita pun perlu untuk “melamar kota ini/dengan masa depan”, walaupun “masa lalu” tetap “merangsek maju/mendekapku dengan kecemasan anak-anak/yang putus layang-layangnya/…/yang tersusun dari harapan dan kecemasan (puisi: Magrib Menjemputku). Betapa pun Kedung berangkat dari “masa lalu” sebagai dimensi pertama waktu (kelampauan), bukan berarti bahwa dimensi waktu kekinian dan yang akan datang tidak terbawa serta. Ini dikarenakan ketiga dimensi waktu tidak pernah bisa dipisah-pisahkan secara hakiki.[15]
Dalam konteks itulah, proyeksi masa lalu sebagai "keberangkatan" sekaligus mengisyaratkan makna "kepulangan". Ada hubungan dialektis antara keduanya. Kedung memang tidak menyertakan salah satu tembang lisan pesisiran yang mengisyaratkan hal itu: “inyong gemiyen ora ana, saiki dadi ana, mbesuk ora ana maning, padha bali maring rahmatullah”. Namun, makna tembang pesisiran tersebut juga menyelinap dalam sebagian puisi yang ada dalam antologi ini, seperti halnya puisi berikut.[16]
Pada Bulan April, Aku Duduk Menatapmu
sudah lama kugendong tahun-tahun di punggungku bila aku istirah aku kunyah laparku bersama waktu yang tumbuh di tubuhku
waktu menggelinding di setiap tikungan aku seret tahun demi tahun dengan hati yang kosong bentuk wajahmu yang mulai pudar o, masa depan yang gaib tangan-tangan ajaib menggapaiku dalam kecemasan
kesedihan keluar dari pori-poriku aku melihat wajah-wajah buruh meleleh disengat matahari orang-orang berjalan miring dan hari menjadi putih lalu kulihat masa depan mengintipku duduk menatap masa lalu
sejenak, aku ingin istirah di sini menikmati segelas kopi dan merampungkan setumpuk catatan yang belum kulunaskan namun takdir memaksaku untuk segera berkemas dari rindu mengusir hantu-hantu masa lalu dan selekasnya pergi meninggalkan malam, bulan, dan gugusan kenangan yang melayang-layang di kepalaku
Lebih lanjut, Sayuti berpendapat jika suatu perjalanan “kepulangan” pasti memiliki awal dan akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan dan kepulangan. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, penyair tidak lain adalah seorang pejalan, yakni pejalan yang menjejakan kakinya “dari Veteran sampai Juanda” (puisi: Fragmen Jakarta, Dari Veteran Sampai Juanda), yang “selalu banyak kemungkinan dalam pilihan”, dan tetap yakin bahwa “hidup dan kematian sama-sama gaibnya/tetapi Tuhan memberkati kita/untuk meminjamkan tanggannya/merumuskan dan menentukan jalan/di buku kita masing-masing. Itulah sebabnya, penyair memandang bahwa “perjalanan ini tidak biasa/bagi laki-laki yang biasa-biasa saja”. Hal ini dikarenakan “kau-aku sama-sama tak berdaya dan tak percaya/bahwa takdir punya rencana lain untuk kita/kita dipertemukan oleh ketidakmungkinan/sebab kewajaran hanya ada dalam pikiran”.[18]
Akhirnya, jika benar hakikat puisi adalah menyairkan kehidupan, bagi Kedung sepertinya kehidupan yang telah, sedang, dan akan dirambah memang beresensikan “sebuah perjalanan”, meskipun judul antologi yang dipilih mengesankan suasana romantis: Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu. Tak masalah. Hal terpenting adalah makna “perjalanan” yang bertolak dari dimensi waktu dalam puisi-puisi yang dihimpun dalam antologi ini mampu diisyaratkan oleh diksi dan kolokasi yang tidak jatuh kepada kekenesan estetik semata,[12] atau sebaliknya, tidak jatuh menjadi khotbah yang menggurui.[19]
Kemampuan Kedung melepaskan diri dari jeratan semacam itu menjadikan proyeksi dan dialektik makna perjalanan terkomunikasikan dalam dan melalui puisi-puisi yang berstruktur sederhana. Puisi-puisi dalam antologi ini mampu berbicara bahwa “perjalanan” itu pasti ada awal dan ada akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan, dan ada pula terminal atau pelabuhan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, Kedung, seperti halnya penyair-penyair lain, tidak lain adalah seorang “pejalan budaya,” yakni pejalan yang sedang berupaya membangun lintasan kreatifnya sendiri yang idiosinkratik melalui puisi. Lintasan yang kini dibangunnya berpulang kepada dirinya sendiri, yaitu menulis lagi atau hanya puas sampai di sini.[20]
Kelir Slindet: Sebuah Novel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2014. ISBN978-602-0303-56-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Rab(b)i: Kumpulan Cerita. Yogyakarta: Buku Mojok. 2020. ISBN978-623-7284-30-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Telembuk (Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat): Sebuah Novel. Yogyakarta: Indie Book Corner. 2017. ISBN978-602-3092-65-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Uterus: Antologi Puisi. Yogyakarta: Gambang Buku Budaya dan Rumah Buku Yogyakarta. 2015. ISBN978-602-7215-75-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Romansha, Kedung Darma (2018). Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu. Yogyakarta: Rumah Buku dan Pustaka Senja Yogyakarta. ISBN978-602-6730-27-5.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)