Manajemen stres

Manajemen stres adalah kemampuan penggunaan sumber daya (manusia) secara efektif untuk mengatasi gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang muncul karena tanggapan (respon). Tujuan dari manajemen stres itu sendiri adalah untuk memperbaiki kualitas hidup individu itu agar menjadi lebih baik.

Strategi

Manajemen stres dapat diterapkan kepada penderita gangguan jiwa maupun orang sehat.[1] Setiap individu dapat memiliki cara penanganan stres yang berbeda-beda. Penanganan stres ini dapat disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu.[2] Strategi penanganan stres yang digunakan dalam manajemen stres adalah koping adaptif.[3] Manajemen stres harus dilakukan secara berkesinambungan menggunakan kemampuan dan pengetahuan dalam mengubah perilaku dan kebiasaan.[4]

Koping terhadap stres

Koping terhadap stres merupakan strategi pengurangan kejadian yang dapat menimbulkan stres dari segi perilaku maupun psikologis.[5] Koping terhadap stres terbagi menjadi dua, yaitu koping berfokus-emosi dan koping berfokus-masalah. Koping berfokus-emosi digunakan untuk mengatur tanggapan emosinal terhadap stres. Proses pengaturannya ditentukan oleh pengendalian perilaku individu yang mencoba menghilangkan fakta yang menurutnya tidak menyenangkan. Salah satu contohnya adalah dengan meminum minuman keras. Sedangkan koping berfokus-masalah dilakukan dengan mempelajari keterampilan atau cara menangani stres. Strategi ini akan digunakan oleh individu jika memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat merubah situasi. Metode koping berfokus-masalah umumnya digunakan oleh orang dewasa.[6]

Pelatihan relaksasi

Pelatihan relaksasi merupakan sebuah strategi perilaku berbentuk intervensi perilaku kognitif. Strategi ini efektif dalam mengurangi stres dan kecemasan. Selain itu, pelatihan relaksasi juga dapat meningkatkan kesehatan mental dalam jangka waktu tertentu. Pelatihan relaksasi pada otot pada individu juga dapat mengurangi tingkat stres.[7]

Perasaan positif (keuntungan optimisme dan kerugian pesimisme)

Bila beban stres emosional kronis dalam berbagai bentuknya itu bersifat racun, rangkaian emosi lawannya dapat bersifat penguat hingga ke tahap tertentu. Namun bukan berarti bahwa emosi positif bersifat menyembuhkan atau bahwa tertawa atau bahagia belaka dapat mengubah proses penyakit berat. Ada keuntungan yang dapat dimunculkan dari bersikap positf dengan massa variabel rumit yang mempengaruhi proses penyakit tersebut.

Seperti halnya depresi, pesimisme membawa kerugian medis dan ada manfaat medis dari optimisme. Sebuah penelitian menunjukkan orang yang mempunyai kadar optimisme didalam dirinya mempunyai peluang hidup lebih lama daripada orang yang pesimis. Optimisme memunculkan harapan yang menjadi daya penyembuh. Orang yang berpandangan cerah lebih mampu bertahan menghadapi keadaan sulit, termasuk kesulitan medis.[8]

Dukungan emosional

Dukungan emosional merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan mental dan emosional individu. Bagi orang yang mengalami stres akibat peyakit, atau kesulitan serius lainnya, memiliki jaringan dukungan dari orang-orang terdekat yang siap memberikan bantuan, hiburan, serta sarang yang sangat berharga, tidak hanya akan memberikan kenyamanan, tetapi juga dapat menjadi salah satu kunci pemulihan yang efektif.

Stres yang berkelanjutan dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang. Ketika individu merasa terisolasi atau tidak memiliki siapapun untuk diajak berbicara, beban emosional dapat semakin memburuk dan megarah pada masalah kesehatan yang lebih serius seperti gangguan tidur, peningkatan risiko penyakit jantung, dan memperburuk kondisi mental yang sudah ada. Namun keberadaan dukungan emosional dari teman, keluarga, atau profesional kesehatan dapat berperan sebagai penyembuh.

James Pennebaker, psikolog di Southern Methodist University melalui serangkaian percobaan telah membuktikan bawa mengungkapkan emosi atau berbicara tentang perasaan yang paling menggangu dapat memberikan efek medis yang menguntungkan. Individu yang menuliskan atau membicarakan pikiran terdalam mereka terkait trauma atau stres secara signifikan mengalami peningkatan kesehatan fisik dan mental.[9]

Intervensi

Stres dapat diintervensi melalui tiga hal. Pertama, pengubahan potensi stres melalui pengurangan intensitas dan jumlah stres. Kedua, memberikan bantuan dalam hal modifikasi persepsi kepada individu yang mengalami stres. Bantuan lain yang dapat diberikan adalah menilai situasi yang memiliki potensi stres. Ketiga, membantu meningkatkan efektivitas individu dalam menanggapi stres pada suatu situasi.[10]

Manfaat

Manajemen stres merupakan bentuk intervensi yang mampu meningkatkan kemampuan individu dalam mengendalikan kondisi stres yang dialaminya. Pengendalian stres kemudian akan menyebabkan tingkat stres mengalami penurunan.[11] Manajemen stres juga dapat mencegah terjadinya stres jangka panjang sebagai akibat dari perkembangan stres jangka pendek.[12] Manajemen stres yang dijadikan sebagai kebiasaan sehari-hari juga dapat meningkatkan peluang masa hidup menjadi lebih lama.[13]

Referensi

  1. ^ Permata, T. B. M., dkk. (2019). Gondhowiardjo, S. A., dkk., ed. Pedoman Strategi dan Langkah Aksi Pengelolaan Stres (PDF). Jakarta: Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) Periode 2014-2019. hlm. 2–3. ISBN 978-623-90408-6-4. 
  2. ^ Suranadi, Luh (2012). "Manajemen Stres Mahasiswa Baru". Jurnal Kesehatan Prima. 6 (2): 944. 
  3. ^ Budiarto, E., dan Afriani, T. (2017). "Analisis Manajemen Stres Berbasis Aplikasi Smartphone untuk Meningkatkan Koping Adaptif dalam Asuhan Keperawatan Jiwa: Literature Review" (PDF). Jurnal Keperawatan Muhammadiyah. 2 (1): 49. 
  4. ^ Mutiara, S. A., dkk. (2019). "Penerapan Konseling Individu dengan Coping Stress terhadap Manajemen Stres yang Rendah pada Lansia". Guidance Jurnal Bimbingan dan Konseling. 16 (1): 23. 
  5. ^ Listyanti, H., dan Wahyuningsih, R. (2020). "Manajemen Stres Orangtua Dalam Pendampingan Pembelajaran Daring" (PDF). Literasi: Jurnal Kajian Keislaman Multi-Perspektif. 1 (1): 38. 
  6. ^ Musradinur (2016). "Stres dan Cara Mengatasinya dalam Perspektif Psikologi". Jurnal Edukasi. 2 (2): 197–198. 
  7. ^ Maharani, H. C., dan Pramadi, A. (2021). "Penyuluhan Manajemen Stres dan Teknik Relaksasi pada Komunitas Rumah Singgah". KELUWIH: JurnalSosial dan Humaniora. 2 (1): 16. doi:10.24123/soshum.v2i1.3960. 
  8. ^ Goleman, Daniel (1996). EMOTIONAL INTELLIGENCE Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ (terjemahan bahasa Indonesia). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 250, 251. ISBN 978-602-03-2313-8. 
  9. ^ Goleman, Daniel (1996). EMOTIONAL INTELLIGENCE Kecerdasan Emosional EI Lebih Penting daripada IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 252 – 256. ISBN 978-602-03-2313-8. 
  10. ^ Muslim, Moh. (2015). "Manajemen Stres Upaya Mengubah Kecemasan Menjadi Sukses". Esensi. 18 (2): 158. 
  11. ^ Hanum, L., dkk. (2016). "Penerapan Manajemen Stres Berkelompok dalam Menurunkan Stres pada Lanjut Usia Berpenyakit Kronis" (PDF). Jurnal Psikologi. 43 (1): 43. 
  12. ^ Asih, G. Y., dkk. (2018). Stres Kerja (PDF). Semarang: Semarang University Press. hlm. 69. ISBN 978-602-9019-55-1. 
  13. ^ Nasriati, Ririn (2020). "Tingkat Stres dan Perilaku Manajemen Stres Keluarga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)" (PDF). Dunia Keperawatan: Jurnal Keperawatan dan Kesehatan. 8 (1): 2. doi:10.20527/dk.v8i1.5907. ISSN 2541-5980.