Lembaga Politik Adat Masyarakat Dayak Tamambaloh


Lembaga politik adat masyarakat Dayak Tamambaloh adalah sebuah lembaga politik lokal yang diakui sebagai bagian dari sistem politik masyarakat lokal. Lembaga politik adat tersebut telah ada sejak masa Kolonialisme berlangsung, dimana pemerintah Hindia Belanda pada saat itu amat tunduk dengan otoritas pengadilan adat yang berlaku.

Pemilihan Ketua Adat

Pada tahun 1920-an, pemerintah Belanda menghentikan unifikasi sistem hukum Eropa di Indonesia. Mereka kemudian memberlakukan suatu sistem asli daerah yang mencakup aturan dan pola-pola organisasi sosial masyarakat adat dan pemerintah Belanda sendiri tunduk pada otoritas pengadilan adat tersebut. Kebijakan itu muncul seiring dengan lahirnya sarjana-sarjana hukum Belanda yang pada waktu itu berhasil menghentikan sistem politik dan hukum ala Eropa di Indonesia.[1]

Belanda kemudian ikut campur tangan dalam berbagai kegiatan politik masyarakat lokal. Dalam konteks masyarakat Suku Dayak Tamambaloh, Belanda ikut serta dalam penunjukkan pimpinan adat. Para ketua adat masyarakat setempat membenarkan bila Belanda terlibat dalam pengaturan adat masyarakat Dayak Tamambaloh. Bahkan, beberapa di antara mereka juga menyebut bahwa lembaga politik adat mereka juga dibuat oleh Belanda.[2]

Sementara itu, beberapa sumber juga menyebutkan bahwa pimpinan adat sudah ada sebelum intervensi Belanda muncul. Menurut mereka, ketua adat adalah orang yang paling dihormati dalam masyarakat dan bukan pilihan pemerintah Belanda. Diduga, Belanda menunjuk menunjuk orang yang memang sudah memimpin masyarakat Suku Dayak Tamambaloh sebagai kesimpulan dari dua sumber sejarah tersebut. Pimpinan adat dipilih dari indu banua atau keturunan asli Embaloh Hulu. Penunjukan ini diambil untuk mempermudah menata atau mengatur masyarakat sekaligus sebagai tempat untuk menyelesaikan berbagai sengketa dan konflik pelanggaran atas tata-perilaku, baik antar sesama masyarakat maupun dengan alam dan lingkungan sekitar.

Peradilan Adat

Lebih jauh lagi, pada masa penjajahan Belanda, Belanda mengklasifikasikan suku bangsa Dayak menjadi enam rumpun. Masyarakat Dayak Tamambaloh termasuk dalam rumpun suku Daya Ot Danum. Pengelompkan tersebut dilakukan untuk mempermudah pembentukan peradilan adat yang diatur dalam berbagai peraturan. Pembentukan peradilan adat untuk pribumi tersebut dilandasi bahwa pemerintah Belanda tidak bisa menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi oleh penduduk lokal melalui sistem hukum Eropa. Persoalan tersebut perlu diselesaikan dengan sistem hukum lokal melalui peradilan adat.

Sistem peradilan adat tersebut menjadi inspirasi bagi sistem peradilan lain yang lahir dari sistem hukum dan politik asli Indonesia. Hal itu kemudian terus dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang dengan mendorong kaum intelektual, politisi, dan tokoh budaya untuk melihat sistem politik adat lokal sebagai sumber inspirasi dan melibatkan mereka dalam Panitia Pemeriksa Adat dan Tatanegara Dahoeloe.[3]

Wacana tentang sistem politik adat juga muncul mendekati masa-masa kemerdekaan. Rapat-rapat dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia misalnya, dalam perumusan kepribadian bangsa menyebutkan bahwa perlu dimasukan praktik-praktik kehidupan masyarakat lokall. (Bourchier 2010). Setelah merdeka, UUD 1945 kemudian menyebutkan bahwa ada pengakuan terhadap 250 wilayah kesatuan pengurusan adat dan komunitas-komunitas lokal dan mencantumkan sistem politik adat setempat adalah sebuah sistem sosial yang harus dihormati sebagai “daerah yang bersifat istimewa”.

Lembaga adat masyarakat Dayak Tamambaloh sendiri disebut sebagai Ketamanggungan Suku Dayak Tamambaloh yang memiliki beragam versi. Versi pertama menyebutkan bahwa masyarakat Dayak Tamambaloh adalah salah satu dari sub etnis suku bangsa Dayak di Kabpuaten Kapuas Hulu yang telah bemukim secara menetap di wilayah adat tersebut. Versi kedua menyebutkan bahwa masyarakat Dayak Tamambaloh tersebar di empat wilayah yaitu di tiga wilayah adat di lokasi atas dan di sepanjang aliran Sungai Peniung, Kecamatan Kalis. Sementara itu, versi ketiga menyebutkan bahwa suku Bangsa Tamambaloh tidak tercantum dalam 405 sub-suku bangsa Dayak di Kalimantan.[4] Kemudian, hukum adat Dayak Tamambaloh dirumuskan bersamaan dengan buah kerjasama ketiga ketamanggungan yang mewakili tiap-tiap wilayah adat, yaitu Ketamanggungan Tamambaloh Labian, Sungulo, Apalin, dan Embaloh.

Meskipun pernah begitu diagungkan dalam percaturan politik negara, sistem hukum dan peradilan adat lokal kemudian mengalami dinamika tersendiri. Negara banyak mengabaikan sistem politik adat lokal karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Referensi

  1. ^ Nugraheni, Arita. 2015. Politik Adat Studi Lembaga Adat pada Masyarakat Dayak Tamambaloh Kalimantan Barat. Skripsi. Prodi Antropologi Universitas Gadjah Mada
  2. ^ Lontaan, J.U. 1975. Sejarah Hukum dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Kalimantan Barat: Pemda Tingkat 1
  3. ^ Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana
  4. ^ http://indonesia.go.id/?p=8800

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41