Kelurahan ini berawal dari kota taman masa kolonial yang dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwana VII untuk pemukiman orang Eropa. Pada tahun 1945, pernah terjadi pertempuran di daerah ini yang dikenal sebagai Pertempuran Kotabaru.
Sejarah
Politik pintu terbuka (opendeur politiek) yang dicanangkan oleh pemerintah Belanda pada awal 1920-an memberikan kesempatan bagi bangsa lain untuk melakukan penanaman modal internasional di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda dan Yogyakarta. Kebetulan, politik pintu terbuka tersebut sudah sesuai dengan peraturan agraria (agrarische wet) yang berlaku di Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan tumbuhnya jumlah orang Eropa yang datang ke Yogyakarta secara signifikan, serta bertumbuhnya pabrik-pabrik gula di sekitar wilayah Yogyakarta.[1]
Peningkatan jumlah imigran Eropa tersebut membuat Belanda perlu memperluas permukiman. Residen Yogyakarta saat itu, Cornelis Canne menyusun rencana perluasan kota yang akan dijadikan sebagai permukiman baru dengan tanah dan bangunan yang dapat menjadi aset pribadi. Residen Canne lantas memohon izin kepada Sultan Hamengkubuwana VII untuk menyetujui rencana pemekaran kota yang sudah disusunnya. Maka muncullah Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917. Isi peraturan ini terdiri dari 11 bab yang berisi tentang pemberian lahan beserta wewenangnya supaya dapat didirikan bangunan, jalan, taman beserta perawatannya dengan ketentuan yang diatur oleh pihak kasultanan.[1]
Belanda memilih lokasi berupa sebidang lahan yang berada timur Sungai Code, di utara Stasiun Lempuyangan. Di sana sudah terdapat rumah sakit militer yang dibangun pada tahun 1913 (kini menjadi Rumah Sakit dr. Soetarto). Lokasi tersebut dipilih karena saat itu masuk ke dalam wilayah pinggiran kota, sehingga suasananya masih tenang dan nyaman.
Akhirnya, dirancanglah konsep kota taman (garden city) untuk kawasan tersebut. Arsiteknya bernama Thomas Karsten, ahli perencanaan wilayah permukiman yang juga terlibat dalam perencanaan beberapa proyek pembangunan di berbagai kota di Hindia Belanda. Berbeda dengan konsep kota yang telah dirancangnya sebelumnya, Thomas Karsten membangun Kotabaru dengan mencontoh London, Inggris, meskipun arsitektur bangunannya bergaya Eropa (Belanda) secara umum. Pengerjaan proyek dimulai pada tahun 1917, dilakukan secara bertahap dan ditargetkan selesai dalam jangka waktu 5 tahun. Setelah diresmikan, kawasan tersebut bernama Nieuwe Wijk.[1]
Kawasan Nieuwe Wijk dilengkapi dengan boulevard dan banyak jalan-jalan arteri. Dibangun pula berbagai fasilitas yang lengkap, seperti pusat olahraga yang sekarang dikenal dengan Stadion Kridosono. Di pusat olahraga ini terdapat seperti lapangan bola dan lapangan tenis. Ada sekolah Algemeene Middelbare School (AMS) (kini menjadi SMA Negeri 3 Yogyakarta), Christelijke MULO School (kini menjadi SMA Bopkri 1 Yogyakarta), dan Normal School (kini menjadi SMP Negeri 5 Yogyakarta). Selain itu, dibangun pula Rumah Sakit Petronella (kini menjadi Rumah Sakit Bethesda), tempat ibadah berupa Gereja Kristen (kini menjadi Gereja HKBP), dan kemudian disusul dengan Gereja Katolik (kini menjadi Gereja Kotabaru).[1]
Pendudukan Jepang
Di masa pendudukan Jepang di Indonesia, wilayah Kotabaru dijadikan pusat militer Jepang. Bangunan-bangunan perumahan dan fasilitas umum dijadikan fasilitas pendukung pemerintahan Jepang, terutama militer Jepang dan sebagian lagi disewakan pada penduduk pribumi kalangan atas sebagai tambahan penghasilan. Bahkan, bangunan gereja katolik di wilayah Kotabaru dijadikan sebagai gudang mesiu, dan bangunan gereja kristen dijadikan penjara wanita Belanda.[1]
Masa Setelah Kemerdekaan
Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia pada masa pergerakan nasional, kawasan Kotabaru dijadikan sebagai kawasan kantor pemerintahan, dikarenakan fasilitas umum dan bangunan-bangunan yang besar dan kondisi yang baik. Secara umum Kotabaru menjadi penopang pemerintahan Indonesia pusat untuk sementara dengan merubah fungsi bekas-bekas gedung militer Jepang menjadi perumahan dan pusat pemerintahan. Juga rumah-rumah yang besar dimanfaatkan sebagai gedung pemerintahan seperti gedung Departemen Sosial yang terletak di belakang Gereja Kotabaru.[1]
Pada tanggal 7 Oktober 1945, para pemuda dari Yogyakarta dibantu dengan beberapa pemuda dari Magelang dan Ambarawa menyerang markas Jepang di Kotabaru. Penyerangan tersebut berawal dari perundingan antara para pejuang Yogyakarta dengan pihak Jepang, dimana Jepang bersikeras untuk tidak mau menyerahkan senjatanya kepada para pejuang tersebut.[1]
Dalam peristiwa penyerbuan tersebut, sebanyak 21 pejuang dan pemuda Yogyakarta gugur dan di pihak musuh 27 tentara tewas. Para pejuang yang gugur tersebut diabadikan namanya dalam nama-nama jalan di kawasan Kotabaru. Selain itu, pemerintah juga membangun Masjid Syuhada pada tahun 1952. Nama Syuhada dipilih untuk menghormati para pejuang yang mati syahid.
Sebagai kawasan tempat tinggal orang Eropa pada masa kolonial, Kotabaru memiliki bangunan bersejarah yang telah menjadi cagar budaya. Beberapa bangunan tersebut antara lain:
^Sulistyowati, N. A., dan Priyatmoko, H. (2019). Toponim Kota Yogyakarta(PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 95. ISBN978-623-7092-08-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)