Konvensi mengenai Kerja Paksa

Konvensi mengenai Kerja Paksa atau dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Forced Labor Convention, 1930 (No.29) merupakan instrumen internasional pertama yang dikeluarkan oleh organisasi perburuhan dunia atau International Labor Organization (ILO) yang secara khusus membahas mengenai Kerja Paksa atau Wajib Kerja. Konvensi ini disahkan atau diadopsi pada 28 Juni 1930 di Jenewa, Swiss dan mulai berlaku pada 1 Mei 1932.[1] Terdapat dua konvensi yang dikeluarkan oleh ILO terkait dengan kerja paksa, yaitu Konvensi Kerja Paksa 1930 dengan Nomor 29 dan Konvensi Penghapusan Kerja Paksa 1957 dengan Nomor 105. Tulisan fokus untuk membahas Konvensi Kerja Paksa 1930.

Konvensi Kerja Paksa 1930 merupakan salah satu dari 8 Konvensi fundamental yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan hak-hak kerja yang dikeluarkan oleh ILO Governing Body.[2] Saat ini Konvensi Kerja Paksa telah diratifikasi oleh 179 negara di dunia (daftar terdapat dalam tabel di bawah) dengan negara yang tidak meratifikasi antara lain Afganistan, Brunei Darussalam, Tiongkok, Kepulauan Marshall, Palau, Tonga, Tuvalu, dan Amerika Serikat.[3]

Pada 11 Juni 2014, ILO secara resmi menetapkan Protokol dan Rekomendasi untuk melengkapi dan memperbaharui Konvensi Kerja Paksa 1930. Pengadopsian Protokol dan Rekomendasi dilakukan pada Sesi ke-103 International Labour Conference yang diadakan pada 28 Mei-12 Juni 2014 di Kota Jenewa, Swiss.[4]

Latar Belakang

Konvensi Kerja Paksa 1930 disahkan pada sesi ke-14 International Labor Conference (ILC) pada 28 Juni 1930 yang dilaksanakan di Kota Jenewa, Swiss. Ernest Mahaim merupakan Presiden dari ILC ke-14 tahun 1930. Mahaim merupakan perwakilan resmi dari Pemerintah Belgia dalam kurun waktu 1919-1938.[5]

Konvensi Kerja Paksa merupakan respon atas maraknya kerja paksa yang menimpa rakyat-rakyat pribumi di wilayah-wilayah jajahan Eropa, seperti di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia.[6][7] Dampaknya, Konvensi Kerja Paksa 1930 memberikan tekanan pada negara-negara kolonial untuk mereformasi kebijakan kerja paksa di koloni mereka. Akibatnya, negara-negara yang menandatangi, salah satunya Inggris, berjanji untuk menghapus kerja paksa dalam segala bentuknya dalam waktu sesingkat mungkin.[7]

Tujuan

Konvensi Kerja Paksa 1930 bertujuan untuk menekan penggunaan kerja paksa dalam segala bentuknya terlepas dari sifat pekerjaan atau sektor kegiatan di mana pekerjaan itu dapat dilakukan. Tujuan ini terdapat pada Pasal 1 Konvensi Kerja Paksa 1930 yang berbunyi "Each Member of the International Labour Organisation which ratifies this Convention undertakes to suppress the use of forced or compulsory labour in all its forms within the shortest possible period" .[8]

Pemberlakuan Konvensi Kerja Paksa

Saat pengadoptasian Konvensi Kerja Paksa pada 28 Juni 1930, Konvensi ini terbuka untuk diratifikasi oleh negara-negara anggota ILO sesuai dengan ketentuan dalam Konstitusi ILO.[8] Berdasarkan Ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi tersebut, Konvensi bersifat mengikat bagi negara-negara anggota yang status ratifikasinya telah didaftarkan pada ILO Office. Konvensi berlaku efektif 12 bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua negara anggota ILO yang didaftarkan melalui Direktur Jenderal ILO.[8] Konvensi berlaku efektif pada 1 Mei 1932 setelah terdapat dua negara anggota ILO yang meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 yaitu Irlandia pada 2 Maret 1931 kemudian diikuti oleh Liberia pada 1 Mei 1931.[9] Saat ini terdapat 179 negara yang telah meratifikasi Konvensi yang dimaksud dengan negara yang terbaru meratifikasi adalah Republik Korea atau Korea Selatan pada 20 April 2021. Daftar dari negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel Negara yang Meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930[9]
Negara Tanggal Status
Albania 25 Juni 1957 Berlaku
Aljazair 19 Oktober 1962 Berlaku
Angola 4 Juni 1976 Berlaku
Antigua dan Berbuda 2 Februari 1983 Berlaku
Argentia 14 Maret 1950 Berlaku
Armenia 17 Desember 2004 Berlaku
Australia 2 Januari 1932 Berlaku
Austria 7 Juni 1960 Berlaku
Azerbaijan 19 Mei 1992 Berlaku
Bahama 25 Mei 1976 Berlaku
Bahrain 11 Juni 1981 Berlaku
Bangladesh 22 Juni 1972 Berlaku
Barbados 8 Mei 1967 Berlaku
Belarus 21 Agustus 1956 Berlaku
Belgia 20 Januari 1944 Berlaku
Beliz 15 Desember 1983 Berlaku
Benin 12 Desember 1960 Berlaku
Bolivia 31 Mei 2005 Berlaku
Boznia Harzegovina 2 Juni 1993 Berlaku
Bostwana 5 Juni 1997 Berlaku
Brazil 25 April 1957 Berlaku
Bulgaria 22 September 1932 Berlaku
Burkina Faso 21 November 1960 Berlaku
Burundi 11 Maret 1963 Berlaku
Cabo Verde 3 April 1979 Berlaku
Kamboja 24 Februari 1969 Berlaku
Kamerun 7 Juni 1960 Berlaku
Kanada 13 Juni 2011 Berlaku
Afrika Tengah 27 Oktober 1960 Berlaku
Chad 10 November 1960 Berlaku
Chile 31 Mei 1933 Berlaku
Kolombia 04 Mar 1969 Berlaku
Komoro 23 Okt 1978 Berlaku
Kongo 10 Nov 1960 Berlaku
Kepulauan Cook 12 Jun 2015 Berlaku
Kosta Rika 02 Jun 1960 Berlaku
Kroasia 08 Okt 1991 Berlaku
Kuba 20 Jul 1953 Berlaku
Siprus 23 Sep 1960 Berlaku
Ceko 01 Jan 1993 Berlaku
Pantai Gading 21 Nov 1960 Berlaku
Republik Demokratik Kongo 20 Sep 1960 Berlaku
Denmark 11 Feb 1932 Berlaku
Djibouti 03 Agustus 1978 Berlaku
Dominika 28 Feb 1983 Berlaku
Republik Dominika 05 Des 1956 Berlaku
Ekuador 06 Jul 1954 Berlaku
Mesir 29 Nov 1955 Berlaku
El Salvador 15 Jun 1995 Berlaku
Guinea Khatulistiwa 13 Agustus 2001 Berlaku
Eritrea 22 Feb 2000 Berlaku
Estonia 07 Feb 1996 Berlaku
Eswatini 26 Apr 1978 Berlaku
Ethiopia 02 Sep 2003 Berlaku
Fiji 19 Apr 1974 Berlaku
Finlandia 13 Jan 1936 Berlaku
Prancis 24 Jun 1937 Berlaku
Gabon 14 Okt 1960 Berlaku
Gambia 04 Sep 2000 Berlaku
Georgia 22 Jun 1993 Berlaku
Jerman 13 Jun 1956 Berlaku
Ghana 20 Mei 1957 Berlaku
Yunani 13 Jun 1952 Berlaku
Grenada 09 Jul 1979 Berlaku
Guatemala 13 Jun 1989 Berlaku
Guinea 21 Jan 1959 Berlaku
Guinea - Bissau 21 Feb 1977 Berlaku
Guyana 08 Jun 1966 Berlaku
Haiti 04 Mar 1958 Berlaku
Honduras 21 Feb 1957 Berlaku
Hungaria 08 Jun 1956 Berlaku
Islandia 17 Feb 1958 Berlaku
India 30 Nov 1954 Berlaku
Indonesia 12 Jun 1950 Berlaku
Iran 10 Jun 1957 Berlaku
Irak 27 Nov 1962 Berlaku
Irlandia 02 Mar 1931 Berlaku
Israel 07 Jun 1955 Berlaku
Italia 18 Jun 1934 Berlaku
Jamaika 26 Des 1962 Berlaku
Jepang 21 Nov 1932 Berlaku
Jordan 06 Jun 1966 Berlaku
Kazakhstan 18 Mei 2001 Berlaku
Kenya 13 Jan 1964 Berlaku
Kiribati 03 Feb 2000 Berlaku
Kuwait 23 Sep 1968 Berlaku
Laos 23 Jan 1964 Berlaku
Latvia 02 Jun 2006 Berlaku
Lebanon 01 Jun 1977 Berlaku
Lesotho 31 Okt 1966 Berlaku
Liberia 01 Mei 1931 Berlaku
Libya 13 Jun 1961 Berlaku
Lituania 26 Sep 1994 Berlaku
Luksemburg 24 Jul 1964 Berlaku
Madagaskar 01 Nov 1960 Berlaku
Malawi 19 Nov 1999 Berlaku
Malaysia 11 Nov 1957 Berlaku
Maladewa 04 Jan 2013 Berlaku
Mali 22 Sep 1960 Berlaku
Malta 04 Jan 1965 Berlaku
Mauritania 20 Jun 1961 Berlaku
Mauritius 02 Des 1969 Berlaku
Meksiko 12 Mei 1934 Berlaku
Mongolia 15 Mar 2005 Berlaku
Montenegro 03 Jun 2006 Berlaku
Maroko 20 Mei 1957 Berlaku
Mozambik 16 Jun 2003 Berlaku
Myanmar 04 Mar 1955 Berlaku
Namibia 15 Nov 2000 Berlaku
Nepal 03 Jan 2002 Berlaku
Belanda 31 Mar 1933 Berlaku
Selandia Baru 29 Mar 1938 Berlaku
Nikaragua 12 Apr 1934 Berlaku
Niger 27 Feb 1961 Berlaku
Nigeria 17 Okt 1960 Berlaku
Makedonia Utara 17 Nov 1991 Berlaku
Norwegia 01 Jul 1932 Berlaku
Oman 30 Okt 1998 Berlaku
Pakistan 23 Des 1957 Berlaku
Panama 16 Mei 1966 Berlaku
Papua Nugini 01 Mei 1976 Berlaku
Paraguay 28 Agustus 1967 Berlaku
Peru 01 Feb 1960 Berlaku
Filipina 15 Jul 2005 Berlaku
Polandia 30 Jul 1958 Berlaku
Portugal 26 Jun 1956 Berlaku
Qatar 12 Mar 1998 Berlaku
Republik Korea 20 Apr 2021 Tidak berlaku Konvensi akan mulai berlaku di Republik Korea pada tanggal 20 Apr 2022.
Republik Moldova 23 Mar 2000 Berlaku
Rumania 28 Mei 1957 Berlaku
Rusia 23 Jun 1956 Berlaku
Rwanda 23 Mei 2001 Berlaku
Saint Kitts dan Nevis 12 Okt 2000 Berlaku
Saint Lucia 14 Mei 1980 Berlaku
Saint Vincent dan Grenadines 21 Okt 1998 Berlaku
Samoa 30 Jun 2008 Berlaku
San Marino 01 Feb 1995 Berlaku
Sao Tome and Principe 04 Mei 2005 Berlaku
Arab Saudi 15 Jun 1978 Berlaku
Senegal 04 Nov 1960 Berlaku
Serbia 24 Nov 2000 Berlaku
Seychelles 06 Feb 1978 Berlaku
Sierra Leone 13 Jun 1961 Berlaku
Singapura 25 Okt 1965 Berlaku
Slovakia 01 Jan 1993 Berlaku
Slovenia 29 Mei 1992 Berlaku
Kepulauan Solomon 06 Agustus 1985 Berlaku
Somalia 18 Nov 1960 Berlaku
Afrika Selatan 05 Mar 1997 Berlaku
Sudan Selatan 29 Apr 2012 Berlaku
Spanyol 29 Agustus 1932 Berlaku
Sri Lanka 05 Apr 1950 Berlaku
Sudan 18 Jun 1957 Berlaku
Suriname 15 Jun 1976 Berlaku
Swedia 22 Des 1931 Berlaku
Swiss 23 Mei 1940 Berlaku
Suriah 26 Jul 1960 Berlaku
Tajikistan 26 Nov 1993 Berlaku
Thailand 26 Feb 1969 Berlaku
Timor-Leste 16 Jun 2009 Berlaku
Togo 07 Jun 1960 Berlaku
Trinidad dan Tobago 24 Mei 1963 Berlaku
Tunisia 17 Des 1962 Berlaku
Turki 30 Okt 1998 Berlaku
Turkmenistan 15 Mei 1997 Berlaku
Uganda 04 Jun 1963 Berlaku
Ukraina 10 Agustus 1956 Berlaku
Uni Emirat Arab 27 Mei 1982 Berlaku
Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara 03 Jun 1931 Berlaku
Tanzania 30 Jan 1962 Berlaku
Uruguay 06 Sep 1995 Berlaku
Uzbekistan 13 Jul 1992 Berlaku
Vanuatu 28 Agustus 2006 Berlaku
Venezuela 20 Nov 1944 Berlaku
Vietnam 05 Mar 2007 Berlaku
Yaman 14 Apr 1969 Berlaku
Zambia 02 Des 1964 Berlaku
Zimbabwe 27 Agustus 1998 Berlaku

Negara-Negara yang Belum Meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930

Berdasarkan dari situs resmi ILO yang diakses pada 31 Juli 2021, terdapat 8 negara anggota ILO yang belum meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930, antara lain Afganistan, Brunei Darussalam, Tiongkok, Kepulauan Marshall, Palau, Tonga, Tuvalu, dan Amerika Serikat.[3]

Tiongkok

Tiongkok merupakan negara anggota ILO yang belum meratifikasi regulasi internasional terkait dengan kerja paksa, baik Konvensi Kerja Paksa 1930 maupun Konvensi Penghapusan Kerja Paksa 1957.[10] Berdasarkan data dalam repositori resmi milik ILO, Tiongkok baru meratifikasi 4 dari 8 Konvensi Fundamental ILO, yakni Equal Remuneration Convention 1951, Discrimination (Employment and Occupation) Convention 1958, Minimun Age Convention 1973, dan Worst Forms of Child Labour Convention 1999.[11]

Berdasarkan dokumen yang dikeluarkan oleh ILO dengan judul Country Baseline Under the ILO Declaration Annual Review: The Elimination of All Forms of Forced or Compulsory Labour untuk negara Tiongkok periode 2000-2019 disebutkan bahwa terdapat upaya dan progres untuk mengejawantahkan hal-hal prinsip terkait penghapusan segala bentuk kerja paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok. Dalam dokumen tersebut tertulis bahwa Pemerintah Tiongkok memiliki konsistensi dan posisi yang jelas untuk mengapus kerja paksa dalam wilayah hukumnya. Lebih lanjut, Pemerintah Tiongkok mempunyai niatan untuk meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 dan Konvensi Penghapusan Kerja Paksa 1957.[10]

Amerika Serikat

Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah meratifikasi 2 dari 8 Konvensi Fundamental ILO yaitu Konvensi Penghapusan Kerja Paksa 1957 (No. 105) pada 25 September 1991 dan Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, 1999 (No. 182) pada 2 Desember 1999.[12]

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh The Tripartite Advisory Panel on International Labor Standards, Konvensi Kerja Paksa 1930 tidak dapat diratifikasi tanpa mengubah hukum dan praktik AS. Selain itu terdapat kecenderungan dari negara-negara bagian AS untuk mensubkontrakkan pengoperasian fasilitas penjara ke sektor swasta yang bertentangan dengan persyaratan Konvensi Kerja Paksa 1930 terkait dengan ruang lingkup di mana sektor swasta dapat mengambil keuntungan dari adanya kerja penjara atau prison labour. Sebagai akibatnya, tinjauan akan Konvensi Kerja Paksa 1930 ditangguhkan dan tidak pernah dilanjutkan.[13]

Sebagai informasi, AS merupakan negara anggota dan donor terbesar bagi ILO, AS menyumbang 22 persen dari anggaran rutin ILO setiap dua tahun. Pada tahun 2016, AS berkontribusi dengan menyumbang sekitar $95 juta. Selain itu, AS adalah donor tunggal terbesar dari ILO extra budgetary technical cooperation projects dengan lebih dari $22 juta yang diberikan pada tahun 2015.[14]

Ketentuan-Ketentuan dalam Konvensi Kerja Paksa 1930

Konvensi Kerja Paksa 1930 memiliki naskah asli yang tertulis dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis.[15] Konvensi ini terdiri dari 33 Pasal dan 67 ayat.[15]

  • Pasal 1 membahas kewajiban dari "Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini menjamin untuk menghapus penggunaan kerja paksa atau wajib kerja dalam segala bentuk dalam waktu yang sesingkat mungkin". Selain itu pada ayat 2 di bahas mengenai masa peralihan penggunaan kerja paksa namun hanya untuk keperluan umum dan bersyarat. Kemudian pada ayat 3 di bahas mengenai mekanisme penyiapan laporan oleh ILO Governing Body dengan mempertimbangkan "kemungkinan penghapusan kerja paksa atau wajib kerja dalam segala bentuk tanpa adanya masa peralihan selanjutnya".
  • Pasal 2 membahas definisi kerja paksa dan jenis pekerjaan tertentu dikecualikan dari ruang lingkup Konvensi Kerja Paksa 1930 (detail pembahasan akan Pasal 2 terdapat dalam paragraf selanjutnya)
  • Pasal 3 mendefinisikan istilah "competent authority" atau dalam terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai "penguasa yang berwenang"
  • Pasal 4 kewenangan dan kewajiban dari "penguasa yang berwenang" dalam upaya menghapuskan kerja paksa
  • Pasal 5 membahas larangan pemberian izin kepada sektor privat baik individu maupun komunal, perusahaan, dan asosiasi untuk terlibat dalam segala bentuk praktik kerja paksa untuk tujuan produksi maupun perdagangan.
  • Pasal 6 mengatur mengenai kewenangan pejabat-pejabat pemerintah meskipun mereka diberikan tugas untuk mengatur warga yang di bawah kedudukannya untuk melakukan suatu pekerjaan demi kepentingan umum namun selayaknya tidak boleh melakukan pemaksaan kepada penduduk untuk tujuan kepentingan pribadi/perorangan, perusahaan, maupun asosiasi
  • Pasal 7 membahas larangan pejabat pemerintah yang tidak diberikan kewenangan untuk "tidak melaksanakan tugas sebagai pelaksana dilarang untuk mengadakan kerja paksa atau wajib kerja."
  • Pasal 8 membahas mengenai "Tanggung jawab atas setiap keputusan mengadakan kerja paksa atau wajib kerja terletak pada pundak penguasa sipil tertinggi dalam wilayah yang bersangkutan." serta dibahas pula mengenai pendelegasian wewenang kepada otoritas lokal tertinggi untuk mengadakan kerja paksa atau wajib kerja selama tidak menyangkut pemindahan buruh dari tempat kediaman yang tetap.
  • Pasal 9 mengatur syarat-syarat diperbolehkannya pengambilan keputusan untuk mengadakan kerja paksa oleh penguasa yang berwenang (Kutipan Pasal 9 ada di paragraf lanjutan setelah poin-poin penjelasan Pasal)
  • Pasal 10 membahas upaya penghapusan progresif yang harus dilakukan oleh otoritas setempat sebagai penggantian penagihan pajak. Namun juga dibahas mengenai syarat-syarat kerja paksa yang harus dipertimbangkan oleh penguasa yang berwenang dalam kaitannya kerja paksa sebagai alternatif pilihanpenagihan pajak melalui pelaksanaan pekerjaan umum. Kutipan Pasal 10 ayat 2 yang mengatur pertimbangan-pertimbanagn bagi penguasa yang berwenang sebagai pengganti pajak adalah sebagai berikut:

"(a) pekerjaan yang harus dilakukan atau jasa yang harus diberikan merupakan kepentingan langsung yang perlu bagi masyarakat yang dipanggil untuk melakukan pekerjaan atau memberikan jasa itu; (b) pekerjaan atau jasa itu adalah suatu keharusan yang mendesak atau yang akan datang; (c) pekerjaan atau jasa tidak akan memberikan beban yang terlalu berat kepada penduduk, mengingat buruh yang tersedia dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan itu; (d) pekerjaan atau jasa tidak akan mengakibatkan pemindahan buruh dari tempat kediaman yang tetap; (e) pelaksanaan pekerjaan atau pemberian jasa harus terarah sesuai dengan keperluan agama, kehidupan sosial dan pertanian."

  • Pasal 11 mengatur tentang kriteria penduduk yang dapat dipanggil untuk melakukan kerja paksa yaitu "orang laki-laki dewasa bertubuh kuat dengan perkiraan umur tidak kurang dari 18 dan tidak lebih dari 45 tahun" dengan pengecualian:

"(a) apabila mungkin maka sebelumnya harus ada keputusan dari pejabat kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah, bahwa orang yang bersangkutan tidak menderita suatu penyakit yang menular dan bahwa mereka secara jasmaniah mampu untuk pekerjaan yang diperlukan dan untuk keadaan dimana pekerjaan harus dilaksanakan; (b) pengecualian diadakan terhadap guru, murid dan pejabat pemerintah pada umumnya; (c) pemeliharaan jumlah orang laki-laki dewasa yang bertubuh kuat dalam masyarakat masing-masing perlu sekali untuk keluarga dan kehidupan sosial; (d) menghormati ikatan perkawinan dan ikatan keluarga" [15]

  • Pasal 12 membahas jangka waktu untuk kerja paksa atau kerja wajib dalam segala bentuk yaitu selama 12 bulan dengan waktu perjalan pulang pergi ke tempat pekerjaan tidak lebih dari 60 hari.
  • Pasal 13 membahas jam kerja dalam segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib yaitu sama dengan jam kerja untuk jenis pekerjaan yang dilakukan secara sukarela dengan ketentuan pemberian kerugian atas setiap pekerjaan yang dilakukan melebihi batas waktu kerja yang dimaksud. Ketentuan lainnya yaitu adanya satu hari istirahat dalam satu minggu sesuai dengan adat istiadat atau kebiasaaan yang berlaku dalam wilayah yang bersangkutan.
  • Pasal 14 mengatur mengenai pemberian kerugian secara tunai dengan "ilai tidak kurang dari apa yang terdapat untuk macam pekerjaan yang sama, baik di daerah dimana buruh dipekerjakan maupun di daerah dimana buruh itu diterima"
  • Pasal 15 mengatur bahwa Undang-Undang atau produk hukum lainnya yang berhubungan dengan aspek ketenagakerjaan semisal tunjangan harus tetap berlaku sama terhadap orang yang melakukan kerja paksa atau wajib kerja dan terhadap pekerjaan yang dilakukan secara sukarela.
  • Pasal 16 mengatur bahwa pemindahan kerja untuk tujuan kerja paksa atau kerja wajib "tidak boleh dipindahkan ke daerah yang makanan dan iklimnya sangat berbeda dengan daerah yang mereka sudah terbiasa, sehingga dapat membahayakan mereka"
  • Pasal 17 mengatur bahwa penguasa yang berwenang sebelum mengijinkan kerja paksa atau wajib kerja harus menjamin aspek kesehatan, akomodasi, perjalanan pulang pergi, mekanisme pemberian upah, dan biaya pemulangan apabila terjadi kecelakaan atau sakit.
  • Pasal 18 melarang kerja paksa atau wajib kerja yang ditujukan untuk pengangkutan orang atau barang. Namun terdapat pengecualian bahwa pekerjaan tersebut hanya dilakukan untuk tujuan memfasilitasi pemindahan pejabat pemerintah pada waktu sedang bertugas atau untuk pengangkutan persediaan barang pemerintah atau dalam hal keperluan yang sangat mendesak. Diatur pula mengenai aspek kesehatan pekerja yang demikian beserta beban maksimum yang boleh dipikul oleh pekerja pada saat pengangutan, jarak maksimal dan jumlah hari bekerja.
  • Pasal 19 mengatur tentang pengesahatan pelaksanaan wajib tanam sebagai cara untuk mencegah terjadinya kelaparan dengan syarat hasil produksi tanam menjadi milik perseorangan atau masyarakat yang menghasilkannya.
  • Pasal 20 mengatur secara jelas bahwa kerja paksa atau wajib kerja tidak dibenarkan sebagai salah satu cara atau bentuk hukuman kolektif bagi suatu kelompok masyarakat yang salah satu anggotanya melakukan tindak kejahatan.
  • Pasal 21 mengatur secara jelas bahwa kerja paksa atau wajib kerja tidak dibenarkan untuk pekerjaan di dalam tambang bawah tanah.
  • Pasal 22 membahas mengenai mekanisme penyerahan laporan tahunan oleh negara anggota ILO yang telah meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930.
  • Pasal 23 mengatur bahwa ketentuan yang termaktub dalam Konvensi ini hanya dapat dijalankan oleh penguasa yang berwenang setelah penguasa yang dimaksud mengeluarkan peraturan yang lengkap dan tepat mengenai penggunaan kerja paksa dan wajib kerja.
  • Pasal 24 membahas upaya pengawasan untuk memastikan bahwa ketentuan dalam Konvensi ini dijalankan secara tepat.
  • Pasal 25 mengatur bahwa pengadaan kerja paksa atau wajib kerja yang tidak sah merupakan pelanggaran hukum dan harus ditindak secara tegas.
  • Pasal 26 membahas penambahan pernyataan bagi negara-negara anggota ILO yang meratifikasi Konvensi ini dengan memanfaatkan ketentuan Pasal 35 yang termaktub dalam Konsitusi ILO.
  • Pasal 27 mengatur bahwa ratifikasi harus disampaikan kepada Direktur Jenderal ILO melalui surat ratifikasi resmi.
  • Pasal 28 mengatur bahwa Konvensi ini bersifat mengikat bagi anggota ILO yang telah meratifikasinya dan telah didaftarkan kepalda ILO melalui Direktur Jenderal. Waktu berlakunya 12 bulan setelah ratifikasi oleh minimal dua negara anggota ILO yang mana untuk setiap negara peratifikasi diberikan waktu 12 bulan untuk diberlakukan di negaranya sesuai dengan tanggal ratifikasi masing-masing negara.
  • Pasal 29 mengatur bahwa Direktur Jenderal dari ILO harus mengumumkan kepada semua anggota ILO setelah ratifikasi oleh dua negara anggota ILO.
  • Pasal 30 membahas mengenai mekanisme pembatalan ratifikasi setelah 10 tahun terhitung tanggal Konvensi mulai berlaku efektif.
  • Pasal 31 mambahas mengenai waktu penyerahan laporan mengenai pelaksanaan Konvensi.
  • Pasal 32 mengatur mengenai status Konvensi Kerja Paksa 1930 apabila terdapat konvensi baru penggantinya.
  • Dalam Pasal 33 tertulis bahwa naskan Konvensi ini terdapat dalam versi Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis yang mana keduanya merupakan naskah resmi.[15]

Ketentuan-ketentuan penting yang termuat dalam Konvensi Kerja Paksa 1930 adalah definisi kerja paksa dan adanya jenis-jenis pekerjaan yang dikecualikan dari definisi kerja paksa.

Pada Pasal 2 ayat (1) dalam Konvensi Kerja Paksa 1930 sesuai dengan terjemahan Bahasa Indonesia resmi dari Konvensi tersebut yang dipublikasikan secara resmi oleh ILO disebutkan " “Kerja Paksa atau Wajib Kerja” ialah semua pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang dengan ancaman hukuman apapun di mana orang tersebut tidak menyediakan diri secara sukarela".[15] Terdapat 3 elemen penting dari definisi tersebut yang dapat dijadikan indikator kerja paksa, yaitu "pekerjaan atau jasa yang dipaksakan", adanya "ancaman hukuman" dan ketiadaan unsur "sukarela" dari korban.

Pasal 2 ayat (2) kemudian tindakan-tindakan yang tidak termasuk kategori kerja paksa, antara lain:

"Sekalipun demikian, maka dalam Konvensi ini yang dimaksudkan dengan istilah kerja paksa atau wajib kerja tidak termasuk - (a) setiap pekerjaan atau jasa yang harus dilakukan berdasarkan undang-undang wajib dinas militer untuk pekerjaan yang khusus bersifat militer; (b) setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan sebagian dari kewajiban biasa warga negara dari penduduk suatu negara yang merdeka sepenuhnya; (c) setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang sebagai akibat keputusan pengadilan dengan ketentuan bahwa pekerjaan atau jasa tersebut dilaksanakan dibawah perintah dan pengawasan pejabat pemerintah dan orang tersebut tidak disewa atau ditempatkan untuk digunakan oleh perorangan secara pribadi, perusahaan atau perkumpulan; (d) setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan dalam keadaan darurat, ialah dalam keadaan perang atau bencana atau bencana yang mengancam seperti misalnya kebakaran, banjir, kekurangan makanan, gempa bumi, wabah yang ganas atau wabah penyakit, serangan oleh binatang, serangga atau binatang yang merusak tumbuh-tumbuhan dan pada umumnya setiap hal yang dapat membahayakan keadaan kehidupan atau keselamatan dari seluruh atau sebagian penduduk; (e) tugas kemasyarakatan dalam bentuk kecil semacam yang dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut secara langsung dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai kewajiban yang biasa dari warga negara yang dibebankan pada anggota masyarakat, dengan ketentuan bahwa anggota masyarakat atau wakil mereka mempunyai hak untuk dimintakan pendapat tentang keperluan pekerjaan itu."[15]

Kemudian dalam Pasal 9 Komvensi Kerja Paksa 1930 juga disebutkan bahwa:

" setiap penguasa yang berwenang untuk mengadakan kerja paksa atau wajib kerja, sebelum memutuskan untuk mengadakan kerja paksa harus yakin, bahwa - (a) pekerjaan yang harus dikerjakan atau jasa yang harus diberikan merupakan kepentingan langsung yang perlu bagi masyarakat yang dipanggil untuk melakukan pekerjaan atau memberikan jasa; (b) pekerjaan atau jasa itu adalah suatu keharusan yang mendesak atau yang akan datang; (c) sudah tidak mungkin untuk mendapat buruh secara sukarela untuk melakukan pekerjaan atau memberikan jasa dengan tawaran upah dan syarat kerja yang tidak kurang dari pada yang terdapat dalam daerah itu untuk pekerjaan atau jasa yang sama; dan (d) pekerjaan atau jasa tidak akan memberikan beban yang terlalu berat kepada penduduk, mengingat buruh yang tersedia dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan itu."[15]

Secara singkat, Konvensi tahun 1930 mengizinkan penggunaan kerja paksa dalam keadaan:

  1. pekerjaan yang bersifat militer;
  2. pekerjaan yang merupakan bagian dari kewajiban warga negara;
  3. pekerjaan sebagai konsekuensi dari hukuman di pengadilan, dengan ketentuan bahwa: (i) pekerjaan tersebut dilakukan di bawah pengawasan dan kendali otoritas publik; (ii) orang tersebut tidak dipekerjakan atau ditempatkan pada tempat pembuangan, perusahaan atau asosiasi swasta;
  4. pekerjaan dalam keadaan darurat atau keadaan kahar (bahasa Inggris: force majeure) seperti perang, bencana, dan secara umum keadaan apa pun yang akan membahayakan keberadaan atau kesejahteraan penduduk; dan
  5. layanan komunal minor yang berarti layanan yang dilakukan oleh anggota komunitas untuk kepentingan langsung komunitas tersebut.[16]

Protokol dan Rekomendasi yang melengkapi Konvensi Kerja Paksa, 1930

Pada 11 Juni 2014 melalui platform International Labour Conference pada Sesi ke-108, keseluruhan anggota tripartit dari ILO yang terdiri dari pemerintah, pengusaha dan pekerja memutuskan untuk memberikan impetus baru bagi perjuangan global melawan kerja paksa, termasuk perdagangan manusia dan praktik-praktik serupa perbudakan melalui pengadopsian Protokol dan Rekomendasi yang melengkapi Konvensi Kerja Paksa, 1930 (No. 29), Protokol dan Rekomendasi tersebut menjadi pelengkap bagi instrumen internasional yang telah ada dengan memberikan panduan khusus tentang langkah-langkah efektif yang harus diambi yang ditujukkan bagi negara-negara anggota ILO untuk menghapus semua bentuk kerja paksa.[17]

Dalam pidato penutupannya, Director-General dari ILO, Guy Ryder mengungkapkan:

Guy Ryder, kiri pada sebuah acara konferensi internasional di Argentina pada 2018

“I believe that the Conference session…will be remembered, above all, for the overwhelming adoption of the Protocol to Convention No. 29 on Forced Labour. It is the fruit of our collective determination to put an end to an abomination which still afflicts our world of work and to free its 21 million victims”[4]

Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930

Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 memperbarui Konvensi Kerja Paksa 1930 yang telah diratifikasi secara luas oleh 179 negara. Protokol ini bertujuan mengatasi kesenjangan dalam pelaksanaan Konvensi Kerja Paksa 1930 melalui penegasan kembali kewajiban Negara untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah dan menghapus kerja paksa dalam segala bentuknya. Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 menegaskan kembali definisi kerja paksa yang terkandung dalam Konvensi Kerja Paksa 1930 dan memberikan panduan konkret bagi negara-negara yang meratifikasi tentang langkah-langkah efektif untuk mencegah dan menghapus semua bentuk kerja paksa.[18]

Protokol tersebut juga melengkapi instrumen internasional lainnya seperti Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional Tahun 2000 (Bahasa Inggris: Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime).[18]

Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 menghapus beberapa pasal dan ayat yang termaktub dalam Konvensi Kerja Paksa 1930, pasal dan ayat yang dihapus antara lain:

  • Pasal 1 ayat 2;
  • Pasal 1 ayat 3; dan
  • Pasal 3 sampai dengan Pasal 24.[8]

Kewajiban berdasarkan Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 meliputi:

  1. Mengembangkan kebijakan dan rencana aksi nasional yang komprehensif untuk menghapuskan segala praktik kerja paksa yang efektif dan berkelanjutan, berkolaborasi dengan serikat pekerja maupun dengan organisasi masyarakat sipil lainnya yang relevan;
  2. Mengedukasi atau melakukan diseminasi informasi kepada kelompok-kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban dari praktik perbudakan modern, termasuk kepada asosiasi pengusaha atau pemberi kerja untuk mencegah terjadinya praktik eksploitasi yang sengaja maupun yang tidak sengaja dilakukan kepada pekerja;
  3. Memberikan perlindungan kepada korban, terutama kepada para pekerja migran dari praktik penipuan dan eksploitasi selama proses rekrutmen dan penempatan kerja
  4. Menjamin adanya akses yang efektif kepada korban praktik kerja paksa terhadap pemulihan, seperti kompensasi, terlepas dari keberadaan atau status hukum mereka di wilayah tersebut;
  5. Memberi sanksi kepada pelaku;
  6. Memperkuat dan menerapkan undang-undang dan kebijakan ketenagakerjaan di semua sektor;
  7. Meningkatkan upaya pengawasan dan evaluasi terkait dengan implementasi regulasi yang berkaitan dengan sektor ketenagakerjaan;
  8. Memastikan bahwa otoritas setempat memiliki diskresi atau kebijaksanaan untuk tidak menuntut atau menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang menjadi sasaran kerja paksa karena berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum yang dilakukan sebagai akibat langsung dari situasi kerja paksa mereka;
  9. Mendukung uji tuntas oleh sektor publik dan swasta untuk mencegah dan menanggapi risiko kerja paksa; dan
  10. Kerja sama internasional antar Negara untuk mencegah dan menghapuskan segala bentuk kerja paksa.[18][19]

Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 mengikat secara hukum bagi negara-negara anggota ILO yang meratifikasinya. Protokol Kerja Paksa 2014 terbuka untuk diratifikasi oleh negara-negara yang sebelumnya telah meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 dan akan mulai berlaku satu tahun setelah diratifikasi oleh dua Negara Anggota ILO.[18]

Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 telah berlaku efektif pada 9 November 2016 setelah terdapat 2 negara anggota ILO yang meratifikasinya yaitu Niger dan Norwegia. Per Juli 2021, terdapat 54 negara yang telah meratifikasi Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 .[20]

Rekomendasi Konvensi Kerja Paksa 1930

Selain Protokol, pada hari yang sama yaitu tanggal 11 Juni 2021, ILO juga mengesahkan Rekomendasi untuk melengkapi Konvensi Kerja Paksa 1930 dan Protokol Konvensi Kerja Paksa 1930. Rekomendasi tersebut bersifat tidak mengikat dan dimaksudkan untuk memberikan panduan hukum kepada pemerintah dalam melaksanakan Konvensi dan Protokol dan menyarankan langkah-langkah tambahan yang harus diambil untuk mencegah dan melindungi orang dari kerja paksa atau kerja wajib.[19] Langkah-langkah tambahan yang dimaksud memiliki 4 ruang lingkup, yaitu perlindungan, pencegahan, pemulihan, serta penegakan dan kerja sama internasional. Beberapa langkah kunci meliputi:

  1. Mengumpulkan data terpercaya tentang sifat dan tingkat kerja paksa untuk memungkinkan dilakukannya penilaian;
  2. Menetapkan atau memperkuat kebijakan melalui rencana aksi yang terikat waktu dengan pendekatan yang peka terhadap gender dan anak. Rencana aksi yang disusun sebaiknya bekerja sama dengan otoritas terkait, dilengkapi dengan konsultasi bersama organisasi pengusaha dan serikat pekerja serta kelompok lain yang relevan.[19]

Langkah Selanjutnya setelah Pengadopsian Protokol dan Rekomendasi yang melengkapi Konvensi Kerja Paksa, 1930

Meskipun Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 telah berlaku efektif pada 9 November 2016 dan menjadi bagian penting dalam instrumen hukum internasional (setelah terdapat 2 negara anggota ILO yang meratifikasinya yaitu Niger dan Norwegia), namun Protokol ini hanya mengikat bagi negara-negara yang sebelumnya telah meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 dan Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 sebagai satu kesatuan.[21]

Pada tahun 2015, ILO bersama dengan International Organization of Employers (IOE) dan International Trade Union Confederation (ITUC) meluncurkan sebuah kampanye global yang dinamakan "50 for Freedom".[21] Kampanye tersebut bertujuan untuk mengakhiri segala bentuk perbudakan pada abad ke-21, khususnya dalam bentuk praktik kerja paksa. Fokus utama dari kampanye global 50 for Freedom untuk memperoleh dukungan publik dan yang utama untuk mempengaruhi setidaknya 50 negara anggota ILO untuk meratifikasi Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 sebagai upaya nyata untuk mengakhiri segala bentuk praktik kerja paksa dengan target waktu tahun 2018.[22]

Melalui siaran pers resmi yang diterbitkan oleh ILO pada 17 Maret 2021, tercatat bahwa lebih dari 50 negara (jumlah tepatnya 54 negara per Agustus 2021) telah meratifikasi otokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930. Hal ini tentunya telah memenuhi target minimum negara peratifikasi dalam kampanye global 50 for Freedom . Tercatat Sudan menjadi negara ke-50 yang meratifikasi Protokol tersebut.[23]

Daftar Referensi

  1. ^ Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (tanpa tahun). "Forced Labour Convention". www.ohchr.org. Diakses tanggal 2021-07-31. 
  2. ^ ILO (tanpa tahun). "Conventions and Recommendations". www.ilo.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-31. 
  3. ^ a b ILO (tanpa tahun). "Countries that have not ratified this Convention". www.ilo.org. Diakses tanggal 2021-07-31. 
  4. ^ a b ILO (12 Juni 2014). "https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_246893/lang--en/index.htm". Diakses tanggal 02 Agustus 2021.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  5. ^ Van Daele, Jasmien (2005). "Engineering Social Peace: Networks, Ideas, and the Founding of the International Labour Organization". International Review of Social History. 50 (3): 435–466. ISSN 0020-8590. 
  6. ^ Okia, Opolot (2012). Okia, Opolot, ed. Forced Labor and Colonial Development in Africa (dalam bahasa Inggris). New York: Palgrave Macmillan US. hlm. 9–22. doi:10.1057/9780230392960_2. ISBN 978-0-230-39296-0. 
  7. ^ a b Akurang-Parry, Kwabena Opare (2000). "Colonial Forced Labor Policies for Road-Building in Southern Ghana and International Anti-Forced Labor Pressures, 1900-1940". African Economic History (28): 1–25. doi:10.2307/3601647. ISSN 0145-2258. 
  8. ^ a b c d ILO (tanpa tahun). "Convention C029 - Forced Labour Convention, 1930 (No. 29)". www.ilo.org. Diakses tanggal 2021-07-31. 
  9. ^ a b ILO (tanpa tahun). "Ratifications of ILO conventions: Ratifications by Convention". www.ilo.org. Diakses tanggal 2021-07-31. 
  10. ^ a b ILO (2020). "Country Baseline Under the ILO Declaration Annual Review: China (2000-2019)" (PDF). Diakses tanggal 30 Juli 2021. 
  11. ^ ILO (tanpa tahun). "Ratifications of ILO conventions: Ratifications for China". www.ilo.org. Diakses tanggal 2021-08-01. 
  12. ^ ILO (tanpa tahun). "Ratifications for United States of America". Diakses tanggal 2 Agustus 2021. 
  13. ^ United States Council for International Business (2007). "Issue Analysis U.S. Ratification of ILO Core Labor Standards" (PDF). Diakses tanggal 2 Agustus 2021. 
  14. ^ ILO (tanpa tahun). "The US: A Leading role in the ILO". Diakses tanggal 2 Agustus 2021. 
  15. ^ a b c d e f g ILO (tanpa tahun). "Terjemahan Konvensi Kerja Paksa 1930" (PDF). 
  16. ^ ADB (2006). "Core Labor Standards Handbook" (PDF). Diakses tanggal 2 Agustus 2021. 
  17. ^ ILO (2015). "Strengthening the global fight against all forms of forced labour: The Protocol to the Forced Labour Convention" (PDF). 
  18. ^ a b c d U.S. Department of State (27 Juli 2015). "New at the ILO: Updates to the Forced Labour Convention". Diakses tanggal 2021-07-31. 
  19. ^ a b c Canadian Council for Refugees (2015). "Protocol of 2014 to the Forced Labour Convention, 1930: Key measures to address trafficking in persons and Canada's role" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-08-01. 
  20. ^ ILO (tanpa tahun). "Ratifications of P029 - Protocol of 2014 to the Forced Labour Convention, 1930". Diakses tanggal 02 Agustus 2021. 
  21. ^ a b International Justice Resource Center (1 Desember 2015). "Modernization of Forced Labour Convention Set to Enter into Force". Diakses tanggal 2 Agustus 2021. 
  22. ^ ILO (20 Oktober 2015). "ILO 50 for Freedom Campaign Kicks Off". Diakses tanggal 2 Agustus 2021. 
  23. ^ ILO (17 Maret 2021). "50 for Freedom forced labour campaign reaches landmark target". Diakses tanggal 2 Agustus 2021. 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41