Konvensi mengenai Kerja Paksa atau dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Forced Labor Convention, 1930 (No.29) merupakan instrumen internasional pertama yang dikeluarkan oleh organisasi perburuhan dunia atau International Labor Organization (ILO) yang secara khusus membahas mengenai Kerja Paksa atau Wajib Kerja. Konvensi ini disahkan atau diadopsi pada 28 Juni 1930 di Jenewa, Swiss dan mulai berlaku pada 1 Mei 1932.[1] Terdapat dua konvensi yang dikeluarkan oleh ILO terkait dengan kerja paksa, yaitu Konvensi Kerja Paksa 1930 dengan Nomor 29 dan Konvensi Penghapusan Kerja Paksa 1957 dengan Nomor 105. Tulisan fokus untuk membahas Konvensi Kerja Paksa 1930.
Konvensi Kerja Paksa 1930 merupakan salah satu dari 8 Konvensi fundamental yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan hak-hak kerja yang dikeluarkan oleh ILO Governing Body.[2] Saat ini Konvensi Kerja Paksa telah diratifikasi oleh 179 negara di dunia (daftar terdapat dalam tabel di bawah) dengan negara yang tidak meratifikasi antara lain Afganistan, Brunei Darussalam, Tiongkok, Kepulauan Marshall, Palau, Tonga, Tuvalu, dan Amerika Serikat.[3]
Pada 11 Juni 2014, ILO secara resmi menetapkan Protokol dan Rekomendasi untuk melengkapi dan memperbaharui Konvensi Kerja Paksa 1930. Pengadopsian Protokol dan Rekomendasi dilakukan pada Sesi ke-103 International Labour Conference yang diadakan pada 28 Mei-12 Juni 2014 di Kota Jenewa, Swiss.[4]
Latar Belakang
Konvensi Kerja Paksa 1930 disahkan pada sesi ke-14 International Labor Conference (ILC) pada 28 Juni 1930 yang dilaksanakan di Kota Jenewa, Swiss. Ernest Mahaim merupakan Presiden dari ILC ke-14 tahun 1930. Mahaim merupakan perwakilan resmi dari Pemerintah Belgia dalam kurun waktu 1919-1938.[5]
Konvensi Kerja Paksa merupakan respon atas maraknya kerja paksa yang menimpa rakyat-rakyat pribumi di wilayah-wilayah jajahan Eropa, seperti di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia.[6][7] Dampaknya, Konvensi Kerja Paksa 1930 memberikan tekanan pada negara-negara kolonial untuk mereformasi kebijakan kerja paksa di koloni mereka. Akibatnya, negara-negara yang menandatangi, salah satunya Inggris, berjanji untuk menghapus kerja paksa dalam segala bentuknya dalam waktu sesingkat mungkin.[7]
Tujuan
Konvensi Kerja Paksa 1930 bertujuan untuk menekan penggunaan kerja paksa dalam segala bentuknya terlepas dari sifat pekerjaan atau sektor kegiatan di mana pekerjaan itu dapat dilakukan. Tujuan ini terdapat pada Pasal 1 Konvensi Kerja Paksa 1930 yang berbunyi "Each Member of the International Labour Organisation which ratifies this Convention undertakes to suppress the use of forced or compulsory labour in all its forms within the shortest possible period" .[8]
Pemberlakuan Konvensi Kerja Paksa
Saat pengadoptasian Konvensi Kerja Paksa pada 28 Juni 1930, Konvensi ini terbuka untuk diratifikasi oleh negara-negara anggota ILO sesuai dengan ketentuan dalam Konstitusi ILO.[8] Berdasarkan Ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi tersebut, Konvensi bersifat mengikat bagi negara-negara anggota yang status ratifikasinya telah didaftarkan pada ILO Office. Konvensi berlaku efektif 12 bulan setelah tanggal ratifikasi oleh dua negara anggota ILO yang didaftarkan melalui Direktur Jenderal ILO.[8] Konvensi berlaku efektif pada 1 Mei 1932 setelah terdapat dua negara anggota ILO yang meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 yaitu Irlandia pada 2 Maret 1931 kemudian diikuti oleh Liberia pada 1 Mei 1931.[9] Saat ini terdapat 179 negara yang telah meratifikasi Konvensi yang dimaksud dengan negara yang terbaru meratifikasi adalah Republik Korea atau Korea Selatan pada 20 April 2021. Daftar dari negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel Negara yang Meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930[9]
Tiongkok merupakan negara anggota ILO yang belum meratifikasi regulasi internasional terkait dengan kerja paksa, baik Konvensi Kerja Paksa 1930 maupun Konvensi Penghapusan Kerja Paksa 1957.[10] Berdasarkan data dalam repositori resmi milik ILO, Tiongkok baru meratifikasi 4 dari 8 Konvensi Fundamental ILO, yakni Equal Remuneration Convention 1951, Discrimination (Employment and Occupation) Convention 1958, Minimun Age Convention 1973, dan Worst Forms of Child Labour Convention 1999.[11]
Berdasarkan dokumen yang dikeluarkan oleh ILO dengan judul Country Baseline Under the ILO Declaration Annual Review: The Elimination of All Forms of Forced or Compulsory Labour untuk negara Tiongkok periode 2000-2019 disebutkan bahwa terdapat upaya dan progres untuk mengejawantahkan hal-hal prinsip terkait penghapusan segala bentuk kerja paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok. Dalam dokumen tersebut tertulis bahwa Pemerintah Tiongkok memiliki konsistensi dan posisi yang jelas untuk mengapus kerja paksa dalam wilayah hukumnya. Lebih lanjut, Pemerintah Tiongkok mempunyai niatan untuk meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 dan Konvensi Penghapusan Kerja Paksa 1957.[10]
Amerika Serikat
Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah meratifikasi 2 dari 8 Konvensi Fundamental ILO yaitu Konvensi Penghapusan Kerja Paksa 1957 (No. 105) pada 25 September 1991 dan Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, 1999 (No. 182) pada 2 Desember 1999.[12]
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh The Tripartite Advisory Panel on International Labor Standards, Konvensi Kerja Paksa 1930 tidak dapat diratifikasi tanpa mengubah hukum dan praktik AS. Selain itu terdapat kecenderungan dari negara-negara bagian AS untuk mensubkontrakkan pengoperasian fasilitas penjara ke sektor swasta yang bertentangan dengan persyaratan Konvensi Kerja Paksa 1930 terkait dengan ruang lingkup di mana sektor swasta dapat mengambil keuntungan dari adanya kerja penjara atau prison labour. Sebagai akibatnya, tinjauan akan Konvensi Kerja Paksa 1930 ditangguhkan dan tidak pernah dilanjutkan.[13]
Sebagai informasi, AS merupakan negara anggota dan donor terbesar bagi ILO, AS menyumbang 22 persen dari anggaran rutin ILO setiap dua tahun. Pada tahun 2016, AS berkontribusi dengan menyumbang sekitar $95 juta. Selain itu, AS adalah donor tunggal terbesar dari ILO extra budgetary technical cooperation projects dengan lebih dari $22 juta yang diberikan pada tahun 2015.[14]
Ketentuan-Ketentuan dalam Konvensi Kerja Paksa 1930
Konvensi Kerja Paksa 1930 memiliki naskah asli yang tertulis dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis.[15] Konvensi ini terdiri dari 33 Pasal dan 67 ayat.[15]
Pasal 1 membahas kewajiban dari "Setiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifikasi Konvensi ini menjamin untuk menghapus penggunaan kerja paksa atau wajib kerja dalam segala bentuk dalam waktu yang sesingkat mungkin". Selain itu pada ayat 2 di bahas mengenai masa peralihan penggunaan kerja paksa namun hanya untuk keperluan umum dan bersyarat. Kemudian pada ayat 3 di bahas mengenai mekanisme penyiapan laporan oleh ILO Governing Body dengan mempertimbangkan "kemungkinan penghapusan kerja paksa atau wajib kerja dalam segala bentuk tanpa adanya masa peralihan selanjutnya".
Pasal 2 membahas definisi kerja paksa dan jenis pekerjaan tertentu dikecualikan dari ruang lingkup Konvensi Kerja Paksa 1930 (detail pembahasan akan Pasal 2 terdapat dalam paragraf selanjutnya)
Pasal 3 mendefinisikan istilah "competent authority" atau dalam terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai "penguasa yang berwenang"
Pasal 4 kewenangan dan kewajiban dari "penguasa yang berwenang" dalam upaya menghapuskan kerja paksa
Pasal 5 membahas larangan pemberian izin kepada sektor privat baik individu maupun komunal, perusahaan, dan asosiasi untuk terlibat dalam segala bentuk praktik kerja paksa untuk tujuan produksi maupun perdagangan.
Pasal 6 mengatur mengenai kewenangan pejabat-pejabat pemerintah meskipun mereka diberikan tugas untuk mengatur warga yang di bawah kedudukannya untuk melakukan suatu pekerjaan demi kepentingan umum namun selayaknya tidak boleh melakukan pemaksaan kepada penduduk untuk tujuan kepentingan pribadi/perorangan, perusahaan, maupun asosiasi
Pasal 7 membahas larangan pejabat pemerintah yang tidak diberikan kewenangan untuk "tidak melaksanakan tugas sebagai pelaksana dilarang untuk mengadakan kerja paksa atau wajib kerja."
Pasal 8 membahas mengenai "Tanggung jawab atas setiap keputusan mengadakan kerja paksa atau wajib kerja terletak pada pundak penguasa sipil tertinggi dalam wilayah yang bersangkutan." serta dibahas pula mengenai pendelegasian wewenang kepada otoritas lokal tertinggi untuk mengadakan kerja paksa atau wajib kerja selama tidak menyangkut pemindahan buruh dari tempat kediaman yang tetap.
Pasal 9 mengatur syarat-syarat diperbolehkannya pengambilan keputusan untuk mengadakan kerja paksa oleh penguasa yang berwenang (Kutipan Pasal 9 ada di paragraf lanjutan setelah poin-poin penjelasan Pasal)
Pasal 10 membahas upaya penghapusan progresif yang harus dilakukan oleh otoritas setempat sebagai penggantian penagihan pajak. Namun juga dibahas mengenai syarat-syarat kerja paksa yang harus dipertimbangkan oleh penguasa yang berwenang dalam kaitannya kerja paksa sebagai alternatif pilihanpenagihan pajak melalui pelaksanaan pekerjaan umum. Kutipan Pasal 10 ayat 2 yang mengatur pertimbangan-pertimbanagn bagi penguasa yang berwenang sebagai pengganti pajak adalah sebagai berikut:
"(a) pekerjaan yang harus dilakukan atau jasa yang harus diberikan merupakan kepentingan langsung yang perlu bagi masyarakat yang dipanggil untuk melakukan pekerjaan atau memberikan jasa itu; (b) pekerjaan atau jasa itu adalah suatu keharusan yang mendesak atau yang akan datang; (c) pekerjaan atau jasa tidak akan memberikan beban yang terlalu berat kepada penduduk, mengingat buruh yang tersedia dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan itu; (d) pekerjaan atau jasa tidak akan mengakibatkan pemindahan buruh dari tempat kediaman yang tetap; (e) pelaksanaan pekerjaan atau pemberian jasa harus terarah sesuai dengan keperluan agama, kehidupan sosial dan pertanian."
Pasal 11 mengatur tentang kriteria penduduk yang dapat dipanggil untuk melakukan kerja paksa yaitu "orang laki-laki dewasa bertubuh kuat dengan perkiraan umur tidak kurang dari 18 dan tidak lebih dari 45 tahun" dengan pengecualian:
"(a) apabila mungkin maka sebelumnya harus ada keputusan dari pejabat kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah, bahwa orang yang bersangkutan tidak menderita suatu penyakit yang menular dan bahwa mereka secara jasmaniah mampu untuk pekerjaan yang diperlukan dan untuk keadaan dimana pekerjaan harus dilaksanakan; (b) pengecualian diadakan terhadap guru, murid dan pejabat pemerintah pada umumnya; (c) pemeliharaan jumlah orang laki-laki dewasa yang bertubuh kuat dalam masyarakat masing-masing perlu sekali untuk keluarga dan kehidupan sosial; (d) menghormati ikatan perkawinan dan ikatan keluarga" [15]
Pasal 12 membahas jangka waktu untuk kerja paksa atau kerja wajib dalam segala bentuk yaitu selama 12 bulan dengan waktu perjalan pulang pergi ke tempat pekerjaan tidak lebih dari 60 hari.
Pasal 13 membahas jam kerja dalam segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib yaitu sama dengan jam kerja untuk jenis pekerjaan yang dilakukan secara sukarela dengan ketentuan pemberian kerugian atas setiap pekerjaan yang dilakukan melebihi batas waktu kerja yang dimaksud. Ketentuan lainnya yaitu adanya satu hari istirahat dalam satu minggu sesuai dengan adat istiadat atau kebiasaaan yang berlaku dalam wilayah yang bersangkutan.
Pasal 14 mengatur mengenai pemberian kerugian secara tunai dengan "ilai tidak kurang dari apa yang terdapat untuk macam pekerjaan yang sama, baik di daerah dimana buruh dipekerjakan maupun di daerah dimana buruh itu diterima"
Pasal 15 mengatur bahwa Undang-Undang atau produk hukum lainnya yang berhubungan dengan aspek ketenagakerjaan semisal tunjangan harus tetap berlaku sama terhadap orang yang melakukan kerja paksa atau wajib kerja dan terhadap pekerjaan yang dilakukan secara sukarela.
Pasal 16 mengatur bahwa pemindahan kerja untuk tujuan kerja paksa atau kerja wajib "tidak boleh dipindahkan ke daerah yang makanan dan iklimnya sangat berbeda dengan daerah yang mereka sudah terbiasa, sehingga dapat membahayakan mereka"
Pasal 17 mengatur bahwa penguasa yang berwenang sebelum mengijinkan kerja paksa atau wajib kerja harus menjamin aspek kesehatan, akomodasi, perjalanan pulang pergi, mekanisme pemberian upah, dan biaya pemulangan apabila terjadi kecelakaan atau sakit.
Pasal 18 melarang kerja paksa atau wajib kerja yang ditujukan untuk pengangkutan orang atau barang. Namun terdapat pengecualian bahwa pekerjaan tersebut hanya dilakukan untuk tujuan memfasilitasi pemindahan pejabat pemerintah pada waktu sedang bertugas atau untuk pengangkutan persediaan barang pemerintah atau dalam hal keperluan yang sangat mendesak. Diatur pula mengenai aspek kesehatan pekerja yang demikian beserta beban maksimum yang boleh dipikul oleh pekerja pada saat pengangutan, jarak maksimal dan jumlah hari bekerja.
Pasal 19 mengatur tentang pengesahatan pelaksanaan wajib tanam sebagai cara untuk mencegah terjadinya kelaparan dengan syarat hasil produksi tanam menjadi milik perseorangan atau masyarakat yang menghasilkannya.
Pasal 20 mengatur secara jelas bahwa kerja paksa atau wajib kerja tidak dibenarkan sebagai salah satu cara atau bentuk hukuman kolektif bagi suatu kelompok masyarakat yang salah satu anggotanya melakukan tindak kejahatan.
Pasal 21 mengatur secara jelas bahwa kerja paksa atau wajib kerja tidak dibenarkan untuk pekerjaan di dalam tambang bawah tanah.
Pasal 22 membahas mengenai mekanisme penyerahan laporan tahunan oleh negara anggota ILO yang telah meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930.
Pasal 23 mengatur bahwa ketentuan yang termaktub dalam Konvensi ini hanya dapat dijalankan oleh penguasa yang berwenang setelah penguasa yang dimaksud mengeluarkan peraturan yang lengkap dan tepat mengenai penggunaan kerja paksa dan wajib kerja.
Pasal 24 membahas upaya pengawasan untuk memastikan bahwa ketentuan dalam Konvensi ini dijalankan secara tepat.
Pasal 25 mengatur bahwa pengadaan kerja paksa atau wajib kerja yang tidak sah merupakan pelanggaran hukum dan harus ditindak secara tegas.
Pasal 26 membahas penambahan pernyataan bagi negara-negara anggota ILO yang meratifikasi Konvensi ini dengan memanfaatkan ketentuan Pasal 35 yang termaktub dalam Konsitusi ILO.
Pasal 27 mengatur bahwa ratifikasi harus disampaikan kepada Direktur Jenderal ILO melalui surat ratifikasi resmi.
Pasal 28 mengatur bahwa Konvensi ini bersifat mengikat bagi anggota ILO yang telah meratifikasinya dan telah didaftarkan kepalda ILO melalui Direktur Jenderal. Waktu berlakunya 12 bulan setelah ratifikasi oleh minimal dua negara anggota ILO yang mana untuk setiap negara peratifikasi diberikan waktu 12 bulan untuk diberlakukan di negaranya sesuai dengan tanggal ratifikasi masing-masing negara.
Pasal 29 mengatur bahwa Direktur Jenderal dari ILO harus mengumumkan kepada semua anggota ILO setelah ratifikasi oleh dua negara anggota ILO.
Pasal 30 membahas mengenai mekanisme pembatalan ratifikasi setelah 10 tahun terhitung tanggal Konvensi mulai berlaku efektif.
Pasal 31 mambahas mengenai waktu penyerahan laporan mengenai pelaksanaan Konvensi.
Pasal 32 mengatur mengenai status Konvensi Kerja Paksa 1930 apabila terdapat konvensi baru penggantinya.
Dalam Pasal 33 tertulis bahwa naskan Konvensi ini terdapat dalam versi Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis yang mana keduanya merupakan naskah resmi.[15]
Ketentuan-ketentuan penting yang termuat dalam Konvensi Kerja Paksa 1930 adalah definisi kerja paksa dan adanya jenis-jenis pekerjaan yang dikecualikan dari definisi kerja paksa.
Pada Pasal 2 ayat (1) dalam Konvensi Kerja Paksa 1930 sesuai dengan terjemahan Bahasa Indonesia resmi dari Konvensi tersebut yang dipublikasikan secara resmi oleh ILO disebutkan " “Kerja Paksa atau Wajib Kerja” ialah semua pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang dengan ancaman hukuman apapun di mana orang tersebut tidak menyediakan diri secara sukarela".[15] Terdapat 3 elemen penting dari definisi tersebut yang dapat dijadikan indikator kerja paksa, yaitu "pekerjaan atau jasa yang dipaksakan", adanya "ancaman hukuman" dan ketiadaan unsur "sukarela" dari korban.
Pasal 2 ayat (2) kemudian tindakan-tindakan yang tidak termasuk kategori kerja paksa, antara lain:
"Sekalipun demikian, maka dalam Konvensi ini yang dimaksudkan dengan istilah kerja paksa atau wajib kerja tidak termasuk - (a) setiap pekerjaan atau jasa yang harus dilakukan berdasarkan undang-undang wajib dinas militer untuk pekerjaan yang khusus bersifat militer; (b) setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan sebagian dari kewajiban biasa warga negara dari penduduk suatu negara yang merdeka sepenuhnya; (c) setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang sebagai akibat keputusan pengadilan dengan ketentuan bahwa pekerjaan atau jasa tersebut dilaksanakan dibawah perintah dan pengawasan pejabat pemerintah dan orang tersebut tidak disewa atau ditempatkan untuk digunakan oleh perorangan secara pribadi, perusahaan atau perkumpulan; (d) setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan dalam keadaan darurat, ialah dalam keadaan perang atau bencana atau bencana yang mengancam seperti misalnya kebakaran, banjir, kekurangan makanan, gempa bumi, wabah yang ganas atau wabah penyakit, serangan oleh binatang, serangga atau binatang yang merusak tumbuh-tumbuhan dan pada umumnya setiap hal yang dapat membahayakan keadaan kehidupan atau keselamatan dari seluruh atau sebagian penduduk; (e) tugas kemasyarakatan dalam bentuk kecil semacam yang dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut secara langsung dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai kewajiban yang biasa dari warga negara yang dibebankan pada anggota masyarakat, dengan ketentuan bahwa anggota masyarakat atau wakil mereka mempunyai hak untuk dimintakan pendapat tentang keperluan pekerjaan itu."[15]
Kemudian dalam Pasal 9 Komvensi Kerja Paksa 1930 juga disebutkan bahwa:
" setiap penguasa yang berwenang untuk mengadakan kerja paksa atau wajib kerja, sebelum memutuskan untuk mengadakan kerja paksa harus yakin, bahwa - (a) pekerjaan yang harus dikerjakan atau jasa yang harus diberikan merupakan kepentingan langsung yang perlu bagi masyarakat yang dipanggil untuk melakukan pekerjaan atau memberikan jasa; (b) pekerjaan atau jasa itu adalah suatu keharusan yang mendesak atau yang akan datang; (c) sudah tidak mungkin untuk mendapat buruh secara sukarela untuk melakukan pekerjaan atau memberikan jasa dengan tawaran upah dan syarat kerja yang tidak kurang dari pada yang terdapat dalam daerah itu untuk pekerjaan atau jasa yang sama; dan (d) pekerjaan atau jasa tidak akan memberikan beban yang terlalu berat kepada penduduk, mengingat buruh yang tersedia dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan itu."[15]
Secara singkat, Konvensi tahun 1930 mengizinkan penggunaan kerja paksa dalam keadaan:
pekerjaan yang bersifat militer;
pekerjaan yang merupakan bagian dari kewajiban warga negara;
pekerjaan sebagai konsekuensi dari hukuman di pengadilan, dengan ketentuan bahwa: (i) pekerjaan tersebut dilakukan di bawah pengawasan dan kendali otoritas publik; (ii) orang tersebut tidak dipekerjakan atau ditempatkan pada tempat pembuangan, perusahaan atau asosiasi swasta;
pekerjaan dalam keadaan darurat atau keadaan kahar (bahasa Inggris: force majeure) seperti perang, bencana, dan secara umum keadaan apa pun yang akan membahayakan keberadaan atau kesejahteraan penduduk; dan
layanan komunal minor yang berarti layanan yang dilakukan oleh anggota komunitas untuk kepentingan langsung komunitas tersebut.[16]
Protokol dan Rekomendasi yang melengkapi Konvensi Kerja Paksa, 1930
Pada 11 Juni 2014 melalui platform International Labour Conference pada Sesi ke-108, keseluruhan anggota tripartit dari ILO yang terdiri dari pemerintah, pengusaha dan pekerja memutuskan untuk memberikan impetus baru bagi perjuangan global melawan kerja paksa, termasuk perdagangan manusia dan praktik-praktik serupa perbudakan melalui pengadopsian Protokol dan Rekomendasi yang melengkapi Konvensi Kerja Paksa,1930 (No. 29), Protokol dan Rekomendasi tersebut menjadi pelengkap bagi instrumen internasional yang telah ada dengan memberikan panduan khusus tentang langkah-langkah efektif yang harus diambi yang ditujukkan bagi negara-negara anggota ILO untuk menghapus semua bentuk kerja paksa.[17]
Dalam pidato penutupannya, Director-General dari ILO, Guy Ryder mengungkapkan:
“I believe that the Conference session…will be remembered, above all, for the overwhelming adoption of the Protocol to Convention No. 29 on Forced Labour. It is the fruit of our collective determination to put an end to an abomination which still afflicts our world of work and to free its 21 million victims”[4]
Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930
Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 memperbarui Konvensi Kerja Paksa 1930 yang telah diratifikasi secara luas oleh 179 negara. Protokol ini bertujuan mengatasi kesenjangan dalam pelaksanaan Konvensi Kerja Paksa 1930 melalui penegasan kembali kewajiban Negara untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah dan menghapus kerja paksa dalam segala bentuknya. Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 menegaskan kembali definisi kerja paksa yang terkandung dalam Konvensi Kerja Paksa 1930 dan memberikan panduan konkret bagi negara-negara yang meratifikasi tentang langkah-langkah efektif untuk mencegah dan menghapus semua bentuk kerja paksa.[18]
Protokol tersebut juga melengkapi instrumen internasional lainnya seperti Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional Tahun 2000 (Bahasa Inggris: Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime).[18]
Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 menghapus beberapa pasal dan ayat yang termaktub dalam Konvensi Kerja Paksa 1930, pasal dan ayat yang dihapus antara lain:
Kewajiban berdasarkan Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 meliputi:
Mengembangkan kebijakan dan rencana aksi nasional yang komprehensif untuk menghapuskan segala praktik kerja paksa yang efektif dan berkelanjutan, berkolaborasi dengan serikat pekerja maupun dengan organisasi masyarakat sipil lainnya yang relevan;
Mengedukasi atau melakukan diseminasi informasi kepada kelompok-kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban dari praktik perbudakan modern, termasuk kepada asosiasi pengusaha atau pemberi kerja untuk mencegah terjadinya praktik eksploitasi yang sengaja maupun yang tidak sengaja dilakukan kepada pekerja;
Memberikan perlindungan kepada korban, terutama kepada para pekerja migran dari praktik penipuan dan eksploitasi selama proses rekrutmen dan penempatan kerja
Menjamin adanya akses yang efektif kepada korban praktik kerja paksa terhadap pemulihan, seperti kompensasi, terlepas dari keberadaan atau status hukum mereka di wilayah tersebut;
Memberi sanksi kepada pelaku;
Memperkuat dan menerapkan undang-undang dan kebijakan ketenagakerjaan di semua sektor;
Meningkatkan upaya pengawasan dan evaluasi terkait dengan implementasi regulasi yang berkaitan dengan sektor ketenagakerjaan;
Memastikan bahwa otoritas setempat memiliki diskresi atau kebijaksanaan untuk tidak menuntut atau menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang menjadi sasaran kerja paksa karena berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum yang dilakukan sebagai akibat langsung dari situasi kerja paksa mereka;
Mendukung uji tuntas oleh sektor publik dan swasta untuk mencegah dan menanggapi risiko kerja paksa; dan
Kerja sama internasional antar Negara untuk mencegah dan menghapuskan segala bentuk kerja paksa.[18][19]
Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 mengikat secara hukum bagi negara-negara anggota ILO yang meratifikasinya. Protokol Kerja Paksa 2014 terbuka untuk diratifikasi oleh negara-negara yang sebelumnya telah meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 dan akan mulai berlaku satu tahun setelah diratifikasi oleh dua Negara Anggota ILO.[18]
Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 telah berlaku efektif pada 9 November 2016 setelah terdapat 2 negara anggota ILO yang meratifikasinya yaitu Niger dan Norwegia. Per Juli 2021, terdapat 54 negara yang telah meratifikasi Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 .[20]
Rekomendasi Konvensi Kerja Paksa 1930
Selain Protokol, pada hari yang sama yaitu tanggal 11 Juni 2021, ILO juga mengesahkan Rekomendasi untuk melengkapi Konvensi Kerja Paksa 1930 dan Protokol Konvensi Kerja Paksa 1930. Rekomendasi tersebut bersifat tidak mengikat dan dimaksudkan untuk memberikan panduan hukum kepada pemerintah dalam melaksanakan Konvensi dan Protokol dan menyarankan langkah-langkah tambahan yang harus diambil untuk mencegah dan melindungi orang dari kerja paksa atau kerja wajib.[19] Langkah-langkah tambahan yang dimaksud memiliki 4 ruang lingkup, yaitu perlindungan, pencegahan, pemulihan, serta penegakan dan kerja sama internasional. Beberapa langkah kunci meliputi:
Mengumpulkan data terpercaya tentang sifat dan tingkat kerja paksa untuk memungkinkan dilakukannya penilaian;
Menetapkan atau memperkuat kebijakan melalui rencana aksi yang terikat waktu dengan pendekatan yang peka terhadap gender dan anak. Rencana aksi yang disusun sebaiknya bekerja sama dengan otoritas terkait, dilengkapi dengan konsultasi bersama organisasi pengusaha dan serikat pekerja serta kelompok lain yang relevan.[19]
Langkah Selanjutnya setelah Pengadopsian Protokol dan Rekomendasi yang melengkapi Konvensi Kerja Paksa, 1930
Meskipun Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 telah berlaku efektif pada 9 November 2016 dan menjadi bagian penting dalam instrumen hukum internasional (setelah terdapat 2 negara anggota ILO yang meratifikasinya yaitu Niger dan Norwegia), namun Protokol ini hanya mengikat bagi negara-negara yang sebelumnya telah meratifikasi Konvensi Kerja Paksa 1930 dan Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 sebagai satu kesatuan.[21]
Pada tahun 2015, ILO bersama dengan International Organization of Employers (IOE) dan International Trade Union Confederation (ITUC) meluncurkan sebuah kampanye global yang dinamakan "50 for Freedom".[21] Kampanye tersebut bertujuan untuk mengakhiri segala bentuk perbudakan pada abad ke-21, khususnya dalam bentuk praktik kerja paksa. Fokus utama dari kampanye global 50 for Freedom untuk memperoleh dukungan publik dan yang utama untuk mempengaruhi setidaknya 50 negara anggota ILO untuk meratifikasi Protokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930 sebagai upaya nyata untuk mengakhiri segala bentuk praktik kerja paksa dengan target waktu tahun 2018.[22]
Melalui siaran pers resmi yang diterbitkan oleh ILO pada 17 Maret 2021, tercatat bahwa lebih dari 50 negara (jumlah tepatnya 54 negara per Agustus 2021) telah meratifikasi otokol 2014 untuk Konvensi Kerja Paksa 1930. Hal ini tentunya telah memenuhi target minimum negara peratifikasi dalam kampanye global 50 for Freedom . Tercatat Sudan menjadi negara ke-50 yang meratifikasi Protokol tersebut.[23]
Daftar Referensi
^Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (tanpa tahun). "Forced Labour Convention". www.ohchr.org. Diakses tanggal 2021-07-31.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)