Komunitas Pojok Budaya adalah sebuah komunitas berbasis budaya yang didirikan pada tahun 2008 melalui Forum Merti Dusun. Pendiri komunitas itu adalah seorang pemuda inspiratif bernama Wahyudi. Nama “Pojok Budaya” diambil karena sekretariat atau lokasi komunitas yang berada di pojok desa, tempat yang saat terjadi Gempa bumi Yogyakarta 2006 silam dipilih oleh anak-anak sebagai tempat berkumpul. Tepatnya, lokasi Komunitas Pojok Budaya berada di Dusun Pendes, Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul Yogyakarta. Keberadaan komunitas ini mampu mengangkat kembali warisan budaya yang sudah turun temurun menjadi identitas Dusun Pendes, yakni permainan dan mainan tradisional.[1] Hal itu didasari oleh keprihatinan Wahyudi yang merasa bahwa anak-anak sudah terasa asing dengan berbagai permainan dan mainan tradisional. Mereka banyak terpaku pada gadget yang dalam perkembangannya menjadi semakin canggih. Ketergantungan terhadap gadget tersebut dinilai akan membuat anak-anak kurang memiliki ketertarikan dengan aktivitas fisik yang membutuhkan gerak tubuh. Tanpa disadari, permainan tradisional tersebut sebenarnya penting untuk mengasah tumbuh kembang anak.[2]
Kegiatan dalam Komunitas
Komunitas Pojok Budaya telah dilirik oleh berbagai instansi pendidikan untuk dijadikan temuat khusus kunjungan edukasi. Hal itu tidak terlepas dari visi utama Komunitas Pojok Budaya untuk melestarikan permainan dan mainan tradisional. Salah satu kegiatan unggulan yang dilakukan komunitas ini adalah Kampoeng Dolanan. Ini adalah tempat bagi para pengunjung untuk bermain bersama. Di dalam Kampoeng Dolanan, telah disediakan beragam “wahana” permaianan dan mainan tradisional untuk dimainkan bersama, workshop pembuatan mainan tradisional dan kunjungan ke rumah para pengrajin untuk melihat langsung proses pembuatan mainan tradisional tersebut. Seluruh kegiatan yang diadakan di dalam Kampoeng Dolanan[3] dikemas dalam bentuk outbond. Pengunjung juga tidak datang dengan cuma-cuma, mereka diwajibkan membayar sebesar Rp25.000 hingga Rp75.000. Harga itu sudah termasuk makan siang dan souvenir berupa salah satu jenis mainan tradisional yang ingin dibawa pulang oleh anak-anak.[4] Namun demikian, pengunjung bisa menawarnya sesuai kemampuan, lalu pihak Kampoeng Dolanan akan menyesuaikan.
Seiring berjalannya waktu, visi Komunitas Pojok Budaya[1] untuk mengenalkan mainan dan permainan tradisional menjadi semakin kuat. Pada tahun 2011, Wahyudi dan rekan-rekannya mendirikan instansi pendidikan anak usia dini (PAUD) Among Siwi. Instansi tersebut adalah wadah bagi Komunitas Pojok Budaya untuk tidak hanya mengenalkan mainan dan permainan tradisional saja, melainkan juga untuk merekonstruksi nilai-nilai dalam permainan dan mainan tradisional.
Kurikulum yang dimiliki oleh PAUD Among Siwi juga tergolong unik. Mereka menerapkan kurikulum berbasis budaya dan lingkungan. Budaya yang diangkat adalah budaya Jawa yang di dalamnya terdapat penggunaan Bahasa Jawa. Sedangkan untuk basis lingkungan, PAUD Among Siwi menggunakan kebijakan untuk membayar uang sekolah dengan menggunakan sampah-sampah yang dapat didaur ulang. Para siswa diharuskan membawa sejumlah sampah kepada sekolah sebanyak tiga kali dalam satu minggu. Sampah tersebut harus berjenis kardus, kertas, atau botol yang tidak terpakai. Sampah-sampah tersebut kemudian disetorkan ke Bumi Desa (BUMDES) sebagai mitra kerjasama PAUD Among Siwi. Pendapatan yang diperoleh dari penjualan sampah tersebut dipergunakan untuk membiayai pendidikan para siswa di PAUD Among Siwi.[5] Selain itu, di dalam proses belajar mengajar, para siswa juga dikenalkan dengan pentingnya nilai-nilai agama. Para guru selalu menerapkan berdoa bersama baik sebelum maupun sesudah belajar.
Metode pendidikan yang diterapkan oleh PAUD Among Siwi dinilai efektif untuk mengasah aktivitas fisik anak sekaligus membentuk karakter mereka. Pendidikan karakter sendiri dinilai sebagai proses untuk membentuk, menumbuhkan, mengembangkan dan mendewasakan kepribadian anak menjadi pribadi yang bijaksana dan bertanggung jawab melalui pembiasaan-pembiasaan pikiran, hati, dan tindakan secara berkesinambungan yang hasilnya dapat dilihat dari tindakan keseharian sang anak.[5] Metode penenaman karakter-karakter tersebut dilakukan oleh PAUD Among Siwi melalui aktivitas di luar kelas (outbond) yang didalamnya mengandung nilai-nilai yang bermuatan moral.
Referensi