Kognisi musikKognisi musik adalah sebuah pendekatan interdisipliner untuk memahami proses mental yang mendukung perilaku musik, termasuk persepsi, pemahaman, ingatan, perhatian, dan pertunjukan. Teori kognitif mengenai cara orang memahami musik awalnya muncul di bidang psikoakustik dan sensasi, lalu seiring waktu mencakup juga neurosains, teori musik, terapi musik, ilmu komputer, psikologi, filsafat, dan linguistik. SejarahKognisi musik ditetapkan sebagai sebuah disiplin pada awal 1980-an melalui pendirian Society for Music Perception and Cognition, European Society for the Cognitive Sciences of Music, dan jurnal Music Perception. Bidang ini berfokus pada cara pikiran mengartikan musik sambil mendengarkannya. Bidang ini juga mempelajari proses kognitif yang terlibat ketika para musisi memainkan musik. Seperti bahasa, musik adalah kapasitas manusia yang unik yang mungkin memainkan peran penting dalam terbentuknya kognisi manusia.[1] Cara musik mencerahkan masalah-masalah dasar dalam kognisi cenderung diabaikan atau bahkan dianggap epifenomenal. Pandangan epifenomenal pernah dipaparkan oleh ilmuwan kognisi ternama Steven Pinker ketika ia menyebut musik sebagai "kue keju auditori".[2] Namun karena kognisi musik semakin diakui sebagai dasar pemahaman manusia terhadap kognisi secara keseluruhan, kognisi musik harus bisa berkontribusi secara konseptual dan metodologis terhadap ilmu kognisi. Topik dalam bidang ini meliputi:
Sejumlah aspek teori musik kognitif menjelaskan cara bunyi dipersepsikan oleh pendengar. Jika studi interpretasi manusia terhadap bunyi disebut psikoakustik, aspek-aspek kognitif tentang cara pendengar menerjemahkan bunyi sebagai pertunjukan musik biasa disebut kognisi musik. Pada tahun 1970-an, musik cenderung dipelajari karena sifat akusik dan perseptualnya dalam disiplin psikofisika dan psikologi musik yang relatif masih baru. Para sarjana musik mengkritik penelitian ini karena terlalu berfokus pada masalah sensasi dan persepsi yang kurang penting, sering memakai stimulus yang buruk (misalnya fragmen ritmik kecil) atau musik yang dibatasi sampai repertoar klasik Barat saja, serta ketidaksadaran umum terhadap peran musik dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Revolusi kognitif menjadikan para ilmuwan lebih sadar terhadap aspek-aspek ini. Dua puluh tahun yang lalu, musik nyaris tidak disebutkan di buku-buku psikologi atau hanya muncul di subbagian tentang persepsi nada atau ritme. Sekarang, bersama penglihatan dan bahasa, musik diakui sebagai domain penting dan informatif untuk mempelajari berbagai aspek kognisi yang mengaktifkan proses psikik, termasuk harapan (ekspektasi), emosi, persepsi dan memori, dan cara menerapkannya ke dalam terapi.[4] Peran sarjana dan ilmuwan musik terhadap penelitian terakhir ini tampak lebih besar daripada sebelumnya. Bisa jadi karena kognisi musik akan berubah menjadi disiplin utama yang berkontribusi pada pemahaman manusia terhadap musik sebagaimana kerangka kerja analitis tradisional. Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari jalur-jalur persepsi emosi dalam otak saat menanggapi musik dan ekspresi vokal. Hasilnya adalah jalur-jalur semacam itu sifatnya serupa sehingga mereka dengan akurat membawa emosi tertentu, dan bahwa acuan akustik tertentu bersifat istimewa terhadap emosi tertentu.[5] Meski ide bahwa musik berdampak terhadap kognisi sifatnya baru, para peneliti mengatakan bahwa pelatihan musik meningkatkan kinerja perilaku. Penelitian yang menghubungkan musik dan kognisi ini membantu para ilmuwan memahami kekuatan besar yang diberikan musik terhadap lingkungan manusia saat ini.[6] Dampak identitas terhadap preferensi musikPara psikolog umumnya menerima gagasan bahwa perbedaan individu nonklinis dapat dirangkum sesuai lima dimensi yang berbeda.[7] Dimensi-dimensi ini dikenal sebagai lima sifat besar kepribadian dan terdiri dari keterbukaan terhadap pengalaman baru, kehati-hatian, keterbukaan, keramahan, dan neurotisisme. Peneliti yang tertarik mempelajari bahwa kepribadian berkorelasi dengan preferensi musik telah berfokus pada lima sifat besar tadi dan menemukan banyak hubungan antara jenis musik populer dan lima sifat besar kepribadian. Metode umumBerbagai kuesioner telah dibuat untuk mengukur lima sifat besar kepribadian dan preferensi musik. Kebanyakan studi yang berusaha menemukan hubungan antara kepribadian dan preferensi musik memanfaatkan kuesioner untuk mengukur kedua sifat tersebut.[7][8][9][10][11][12][13] Peneliti lain memakai kuesioner untuk menentukan sifat kepribadian, kemudian meminta peserta menilai petikan musik dengan beragam skala seperti menyukai, persepsi kerumitan, emosi yang dirasakan, dan lain-lain.[14][15][16] Lima sifat besar kepribadian1. Neuroticism (N) 2. Extraversion (E) 3. Openness to New Experience (O) 4. Agreeableness (A) 5. Conscientiousness (C) Keterbukaan terhadap pengalaman baruKeterbukaan adalah sifat besar kepribadian yang paling kuat saat mengaitkan musik dengan kualitas kepribadian.[8] Kualitas ini memprediksi preferensi musik yang sifatnya reflektif (merenung) dan kompleks dan musik yang sifatnya intens dan semangat.[8][12][17][18] Genre reflektif dan kompleks meliputi musik klasik, blues, jazz, dan musik rakyat, sementara musik intens dan semangat meliputi rock, alternatif, dan heavy metal.[12] Hal ini juga berkorelasi positif dengan penggunaan musik secara intelektual atau kognitif, yang berarti bahwa orang ini suka menganalisis komposisi musik yang kompleks (rumit).[7][9][10][13] Selain itu, seseorang lebih terbuka memilih tema melodi berjumlah besar dalam karya musik.[11][19] Keterbukaan terhadap pengalaman juga telah dihubung-hubungkan dengan orang-orang yang menyukai musik sedih, terutama karena sifat kepribadian ini juga berkaitan dengan apresiasi yang lebih besar terhadap pengalaman estetis dan keindahan.[16] Terakhir, orang-orang yang terbuka memperlihatkan preferensi terhadap berbagai macam gaya musik, namun tidak memilih bentuk musik kontemporer yang populer, sehingga menunjukkan bahwa ada batasan terhadap keterbukaan ini.[20] KeterbukaanOrang-orang terbuka (ekstravert) yang enerjik sering dikaitkan dengan preferensi musik yang menyenangkan, ceria, dan konvensional, serta musik yang enerjik dan ritmik, seperti rap, hip hop, soul, electronik, dan musik tari.[10][12] Musik ceria dengan tempo cepat, banyak tema melodi, dan vokal juga dipilih oleh orang-orang terbuka.[11][13][18] Mereka lebih suka mendengarkan musik sebagai latar sambil melakukan aktivitas lain, seperti berlari, bercengkerama dengan teman, atau belajar.[7][9][10] Orang-orang seperti ini juga cenderung memakai musik untuk melawan sifat monoton aktivitas sehari-hari, seperti menyetrika baju.[7] Dalam sebuah studi di Turki, peneliti menemukan bahwa kaum ekstravert memilih musik rock, pop, dan rap karena genre-genre tersebut mengikutsertakan tari dan gerakan. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa banyak preferensi musik dapat direplikasikan secara lintas budaya.[15] NeurotisismeSemakin neurotis seseorang, semakin besar ketidaksukaan mereka terhadap musik intens dan semangat (seperti rock dan heavy metal), namun memilih musik ceria dan konvensional, seperti country, soundtrack, dan musik pop.[12] Selain itu, neurotisisme terkorelasikan secara positif dengan pemakaian musik yang emosional.[9][10] Orang-orang yang memiliki nilai neurotisisme tinggi cenderung memakai musik untuk mengatur emosi dan mengalami intensitas pengaruh emosi yang lebih tinggi, khususnya emosi negatif.[7][10] Kehati-hatianKehati-hatian dihubungkan secara negatif dengan musik intens dan semangat, seperti rock dan heavy metal.[12] Meski studi sebelumnya berhasil menemukan hubungan antara kehati-hatian dan pengendalian emosi, hasilnya tidak dapat diterapkan secara lintas budaya. Para peneliti tidak bisa menemukan hubungan ini di Malaysia.[7] KeramahanOrang-orang ramah memilih musik yang ceria dan konvensional.[12] Selain itu, pendengar dengan keramahan tinggi menampilkan respon emosi yang intens terhadap musik yang belum pernah mereka dengarkan.[14] Pengaruh suasana terhadap preferensi musikTelah ditunjukkan bahwa situasi bisa memengaruhi preferensi seseorang terhadap jenis-jenis musik tertentu. Para peserta studi tahun 1996 memberikan informasi mengenai musik yang akan mereka dengarkan dalam suasana tertentu, dan menunjukkan bahwa suasana sangat menentukan preferensi musik mereka. Misalnya, suasana melankolis akan menghasilkan musik yang sedih dan muram, sementara suasana yang menggairahkan akan menghasilkan musik yang lantang, beritme kuat, dan semangat.[21] Jenis kelaminWanita cenderung merespon musik secara lebih emosional ketimbang pria.[9] Selain itu, wanita lebih suka musik populer ketimbang pria.[20] Dalam studi kepribadian dan gender mengenai preferensi bass berlebihan dalam musim, para peneliti menemukan bahwa pria lebih menyukai musik bass ketimbang wanita. Preferensi musik bass ini juga berkorelasi dengan kepribadian antisosial dan mengurung diri.[22] UsiaDalam studi preferensi musik remaja di Inggris, para peneliti menemukan bahwa perempuan menganggap musik sebagai aktivitas yang berharga ketimbang laki-laki, namun baik laki-laki dan perempuan setuju musik tidak perlu diajarkan di sekolah. Temuan ini membuktikan bahwa preferensi dan pilihan musik bisa berubah seiring usia.[23] Dalam sebuah studi di Kanada mengenai bagaimana preferensi musik remaja berhubungan dengan kepribadian, peneliti menemukan bahwa remaja yang memilih musik berat memiliki kepercayaan diri yang rendah, ketidaknyamanan tinggi di dalam keluarga, dan cenderung merasa dijauhi orang lain. Remaja yang memilih musik ringan asyik melakukan hal yang pantas dan sulit menyeimbangkan kebebasan dengan ketergantungan. Remaja yang memilih musik eklektik mudah beradaptasi dengan masa remajanya dan fleksibel memanfaatkan musik sesuai suasana hati dan kebutuhan tepat pada waktunya.[24] MusimMusim juga bisa memengaruhi preferensi. Setelah melihat musik gugur atau dingin, orang-orang biasanya memilih musik reflektif (merenung) atau kompleks, sementara setelah melihat musim panas atau semi, orang-orang akan memilih musik yang enerjik dan ritmik. Meski begitu, musik pop tampaknya lebih bersifat universal dan tidak tergantung musim.[25] FamiliaritasFamiliaritas dan kerumitan (kompleksitas) sama-sama memiliki dampak unik terhadap preferensi musik. Seperti yang terlihat di tipe media artistik lain,hubungan U terbalik bisa terlihat saat mengaitkan kerumitan subjektif dengan menyukai petikan musik. Seseorang menyukai kompleksitas sampai tingkat tertentu, kemudian mulai tidak menyukai musik tersebut saat kompleksitasnya menjadi terlalu tinggi. Selain itu, terdapat hubungan monoton positif yang jelas antara familiritas dan menyukai musik.[26] Pandangan diriPreferensi musik juga bisa dipengaruhi oleh bagaimana seseorang ingin dipandang, khususnya pada pria.[10] Preferensi musik dapat dipakai untuk menciptakan klaim identitas yang dibuat sendiri. Seseorang dapat memilih gaya musik yang memperkuat pandangan diri mereka. Misalnya, orang dengan pandangan diri konservatif memilih gaya musik konvensional, sementara orang berpandangan diri atletik memilih musik yang bersemangat.[13] Lihat pulaBidang terkaitTopikReferensi
Bahan bacaanEntri ensiklopedia
Bacaan perkenalan
Bacaan pelengkap
Artikel jurnal
Pranala luar |