Ki Ageng Suryomentaram (20 Mei 1892 – 18 Maret 1962) adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI.[1] Ki Ageng Suryomentaram memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji dan setelah umur 18 tahun diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram.[1] Ki Ageng Suryomentaram menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia.[2] Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.[2]
Salah satu menantunya adalah Purnomosidi Hadjisarosa.[3]
Riwayat hidup
Pada awalnya Ki Ageng Suryomentaram bergelar Pangeran Surya Mataram tetapi kemudian ia menanggalkan gelar kepangeranannya itu dan menyebut diri Ki Ageng Suryomentaram.[2] Hal ini bermula ketika BPH Suryomentaram pernah turut dalam rombongan jagong manten ke Surakarta dan dalam perjalanan dengan kereta api melihat petani yang sedang bekerja di sawah.[1] Apa yang dilihat oleh BPH Suryomentaram ini menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani.[1] Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya seperti Gua Langse, Gua Semin dan Parangtritis.[1] Lalu BPH Suryomentaram keluar istana, pergi mengembara di daerah Kroya, Purworejo sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani dan kuli.[4]
Pada saat itu utusan kraton mencoba mencarinya dan menemukan keberadannya di Kroya ketika sedang bekerja menggali sumur dengan memakai nama samaran Natadangsa.[4] Utusan kraton itu kemudian mengajak Natadangsa untuk kembali ke istana.[1] Hidup BPH Suryomentaram di istana menjadi gelisah, tidak puas dan memuncak ketika kakeknya Patih Danurejo VI dibebaskan dari tugasnya dan ibunya dikembalikan kepada kakeknya.[1] Tidak lama kemudian isteri BPH Suryomentaram sendiri dan meninggal dunia, lalu ia mengambil sikap melepaskan kedudukan kebangsawanannya untuk hidup menjadi rakyat biasa.[1] Ketika Sultan Hamengkubuwono VII telah diganti oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, Sultan baru ini mengizinkan BPH Suryomentaram meninggalkan kraton Yogyakarta.[1] BPH Suryomentaram memilih untuk hidup sebagai petani di sebuah desa yang bernama Bringin di daerah Salatiga, Jawa Tengah.[1] Di sana ia menjadi guru aliran kebatinan yaitu Kawruh Begja yang berarti ilmu bahagia.[2] Penganutnya cukup banyak dan tersebar di seluruh Jawa, meskipun tanpa ada organisasi atau propaganda seperti yang dilakukan oleh aliran-aliran yang lain.[2]
Sepanjang masa hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.[2] Banyak hasil penyelidikannya tentang diri sendiri yang berupa buku-buku, karangan-karangan atau ceramah-ceramah.[2] Pengajaran Ki Ageng Suryomentaram biasanya berupa ceramah-ceramah yang ditujukan kepada kalangan terbatas dan diberikan dengan cara yang khas yakni dengan duduk di lantai (lesehan).[2] Kebanyakan tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain: Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa?.[2] Cara hidup Ki Ageng Suryomentaram cukup menampakkan kesederhanaan dengan mengenakan celana pendek, sarung yang diselempangkan pada pundaknya dan memakai kaos.[2] Rambutnya dicukur sampai pendek dan kepalanya dibiarkan tidak tertutup serta kakinya pun dibiarkan tanpa alas.[2]
Ajaran
Pemahaman Ki Ageng Suryomentaram tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap dirinya sendiri.[2] Ia menggunakan metode empiris yang didasarkan pada percobaan-percobaan yang dilakukannya pada dirinya sendiri.[2] Dengan cara merasakan, menggagas dan menginginkan sesuatu, menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia.[2] Ki Ageng Suryomentaram mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia yang dilihatnya sebagai sumber yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.[2] Dari analisisnya, dihasilkan suatu citra manusia yang lebih menunjukkan seperti apa manusia daripada siapa manusia itu tanpa lepas dari dunia yang melingkupinya.[2] Manusia selalu bergaul dengan dunia di sekitarnya dan selalu terkait dengan dunianya.[2] Ki Ageng juga menunjukkan dasar bagi perilaku manusia dalam dunianya, sehingga antara dirinya dengan dunia yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan.[2]
Kemudian Ki Ageng menyelidiki dan mengobservasi apa yang dirasakan orang lain. Hingga pada akhirnya ia menemukan bahwa rasa orang di seluruh dunia ini sama, yaitu sama-sama membutuhkan kelestarian raga dan kelestarian jenis, lestantuning jenis. Ternyata bahwa rasa hidup manusia sedunia ini sama. Yang sama ialah rasa senang-susahnya, baik berat atau ringannya, bahkan lama atau sebentarnya masa berlangsung susah-senangnya. Yang berbeda adalah apa yang disenangi atau disusahi. Meskipun semat, drajat, dan kramat yang telah berhasil di kumpulkan itu berbeda-beda, akan tetapi rasa hidupnya sama. Di sinilah raos langgeng bungah-susah muncul.[5]
Apa itu Bahagia?
Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah hidup sewajarnya. Yaitu hidup secara tidak berlebih-lebihan dan juga tidak berkekurangan. Dan hidup sewajarnya itu oleh Ki Ageng dirumuskan dalam NEMSA (6-SA): sakepenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, samesthine, sabenere. Untuk sampai pada itu semua, maka Ki Ageng menawarkan rumusan kawruh jiwa, metode meruhi pribadinipun piyambak, metode untuk mengetahui diri sendiri. Jika kita sebagai manusia mengetahui diri sendiri, memahami dirinya sendiri secara jujur, maka kita akan mengerti orang lain, dan akan paham lingkungannya. Jika sudah demikian, kita akan menjadi orang yang bahagia. Untuk menjadi bahagia, Manusia tahu takarannya, yaitu 6 SA.[6]
Sumber ketidakbahagiaan menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah keinginan. Wujud keinginan itu ada semat, drajat dan kramat. Semat itu kekayaan, kesenangan, kecantikan, kegantengan, biasanya sifatnya fisik. Sementara drajat, bisa berupa keluhuran, kemuliaan, keutamaan, status sosial. Dan kramat adalah kekuasaan, kedudukan, pangkat. Keinginan kita wujudnya ketiganya. Ada orang yang terpesona oleh semat, yang terpesona, oleh drajat, atau kramat bisa jadi juga ketiganya.[7]
Apa tidak boleh? Boleh. Asal jangan mati-matian, kata Ki Ageng. Maka perlu diperhatikan adalah kawruh berikutnya adalah Mulur lan mungkret. Jika kita memahami sifat karep itu mulur dan mungkret, maka bahagia dan susah itu juga mulur dan mungkret. Konsekuensinya apa? Senang atau susah itu sifatnya sementara. Keinginan tercapai kita seneng, lalu akan berganti keinginan berikutnya, dan kita berjibaku untuk memenuhi keinginan tersebut, Jika tidak tercapai kita susah lalu keinginan akan mungkret. Dan seterusnya. Maka susah itu sementara, senang itu juga bersifat sementara. Yang abadi adalah keduanya.
Neraka Dunia
Dengan bekal memahami mulur-mungkret dan senang-susah, kita bisa terhindar dari neraka dunia.
Nerakanya dunia yang pertama adalah Meri (iri) lan pambegan (sombong). Iri adalah tanda level kita lebih rendah dibandingkan dengan orang yang kita irikan. Begitu kita merasa meri, tiap hari akan seperti neraka, tiap hari kita akan memikirkan bagaimana bisa menyamai semat, drajat, dan kramat kita bisa naik dan menandingi orang yang kita irikan.
Neraka dunia kedua adalah pambegan, sombong (merasa tinggi). Merasa menang terhadap orang lain. Orang yang sombong juga neraka bagi dirinya sendiri. Merasa lebih baik, merasa lebih utama, dibandingkan dengan orang lain.
Ketiga, Rasa Getun (kecewa). Takut akan pengalaman yang sudah dialami. Orang yang selalu meratapi masa lalu tidak akan bahagia. “Coba kemarin saya begini, tidak akan seperti ini sekarang.” “Coba kemarin saya begitu, sekarang tidak akan seperti ini” dan seterusnya. Menyesali masa lalu secara terus menerus (getun keduwung) tidak akan membuat kita bahagia.
Keempat, Sumelang (khawatir). Takut akan pengalaman yang akan dialami. Mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi pada masa yang akan datang juga menyebabkan kita berada dalam kesusahan bahkan sebelum sesuatu itu terjadi. Ini yang dimaksud magang cilaka. Peristiwanya belum terjadi tapi sudah merasa susah. Kalau keempat itu ada di diri kita, kita akan hidup seperti di nerakanya dunia, kata Ki Ageng. Ini rumus negatifnya. Kempat inilah yang menyebabkan raos tatu dan raos cilaka. Merasa terluka dan merasa celaka yang berkelanjutan.[8]
Maka nikmati saja saat ini. Masa depan mungkin akan mengkhawatirkan, tapi akan ada senang dan susahnya.
Referensi