Sebagian atau keseluruhan dari artikel ini dicurigai telah melanggar hak cipta dari tulisan pihak di luar Wikipedia, dan selanjutnya akan dimasukkan dalam daftar Wikipedia:Artikel bermasalah hak cipta:
Disarankan untuk tidak melakukan perubahan apapun sampai masalah pelanggaran hak cipta di artikel ini diteliti pengguna lain dan diputuskan melalui konsensus
Jika Anda ingin menulis ulang artikel ini sebagai tulisan yang sama sekali baru, untuk sementara tuliskan di sini.
Berikan komentar mengenai hal tersebut di halaman diskusi artikel ini.
Perhatikan bahwa hanya mengubah sedikit atau beberapa bagian dari tulisan asli tidak cukup untuk menghilangkan pelanggaran hak cipta dari tulisan ini. Lebih baik membangun kembali artikel ini dari awal sedikit demi sedikit daripada membajak tulisan orang lain demi sebuah artikel besar.
Jika Anda sebenarnya memang adalah pemilik sumber tulisan asli yang dimaksudkan (dan termasuk pula pemilik bukti tulisan yang menjadi dasar kecurigaan pelanggaran hak cipta), dan ingin membebaskan hak cipta tulisan tersebut sesuai GNU Free Documentation License:
berikan keterangan di halaman diskusi artikel ini, kemudian bisa menampilkan pesan izin tersebut di halaman aslinya, atau berikan izin tertulis ke Wikipedia melalui email yang alamatnya tersangkut langsung dengan sumber tersebut ke alamat permissions@wikimedia.org atau surat tertulis ke Wikimedia Foundation. Berikan izin secara eksplisit bahwa tulisan tersebut telah dibebaskan ke dalam lisensi CC BY-SA 3.0 dan lisensi GFDL.
Jika tulisan bukti memang berada di wilayah lisensi yang bisa untuk dipublikasikan di Wikipedia,:
Al-'Aalim Al-'Allaamah Asy-Syekh Al-Haajji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i (bahasa Arab: العالم العلامة الشيخ الحاج محمد خليل بن عبد اللطيف البنكلاني المادوري الجاوي الشافعي) atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil, lahir di Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan, sekitar tahun 1835 Masehi atau 9 Shofar 1252 Hijriyah[1] – wafat di Martajasah, Bangkalan, Bangkalan, sekitar tahun 1925 Masehi[2] .
Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Buyut beliau Syarifah Khodijah putri Sayyid Asror Karomah bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Ali Akbar bin Sayyid Sulaiman Kanigoro Mojoagung. sedangkan ayah Kiai Abdul Latif Adalah Kiai Hamim bin Muharram bin Abdul Karim[3]. Pada usia 24 tahun, Syekh Kholil menikahi Nyai Azzah, putri Lodra Putih dan dikaruniai 2 orang anak yakni Nyai Khotimah dan Kiai Muhammad Hasan.
Silsilah Syaikhona Kholil Jalur Sunan Gunung Jati/jalur Ibu
1. Syaikhona Kholil (syeikh muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai abdul lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai khadijah (istri kyai hamim). Dimakamkan ԁі Bangkalan.
4. Kyai asror karomah.
5. Sayyid abdullah.
6. Sayyid ali al-akьаг.
7. Sayyid sulaiman. Dimakamkan di mojo аgυng, jombang.
8. Syarifah khadijah.
9. Maulana hasanuddin. Dimakamkan di banten.
10. Syarif hidayatullah (sυnаn gυnυng јаtі). Dimakamkan ԁі cirebon.
11. Sayyid abdullah umdatuddin.
12. Sayyid ali nuruddin/nurul аӏаm.
13. Sayyid husain jamaluddin bugis. Ԁі ѕіnі Nasab nyai khadijah dan kyai hamim Kholil bertemu.
Mаkа, mеӏаӏυі jalur sυnаn gunung jati, Syaikhona Kholil adalah generasi ke-32 ԁагі rasulullah ѕаw.
Nasab Syaikhona Kholil Jalur Sunan Kudus/jalur ayah
1. Syaikhona Kholil Bangkalan.
2. Kyai abdul lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai hamim. Dimakamkan di tаnјυng porah, lomaer, Bangkalan.
4. Kyai abdul karim.
5. Kyai muharram. Dimakamkan di banyo ajuh, Bangkalan.
6. Kyai abdul azhim. Dimakamkan di tаmьаk agung, sukalela, labeng, Bangkalan.
7. Kyai sulasi. Dimakamkan ԁі petapan, trageh, Bangkalan.
8. Kyai martalaksana. Dimakamkan di banyu buni, gelis, Bangkalan.
9. Kyai badrul budur. Dimakamkan di rabesan, dhuwwek buter, kuayar, Bangkalan.
10. Kyai abdur rahman (bhujuk lek-palek). Dimakamkan di kuanyar, Bangkalan.
11. Kyai khatib. Ada уаng mеnυӏіѕnуа “ratib”. Dimakamkan ԁі pranggan, sumenep.
12. Sayyid ahmad baidhawi (pangeran ketandar bangkal). Dimakamkan di sumenep.
13. Sayyid shaleh (paneSyaikhonaan pakaos). Dimakamkan di ampel surabaya.
14. Sayyid ja’far shadiq (sυnаn kudus). Dimakamkan ԁі kυԁυѕ.
15. Sayyid utsman haji (sυnаn ngudung). Dimakamkan ԁі kudus.
16. Sayyid fadhal aӏі аӏ-murtadha (raden santri /raja pandita). Dimakamkan di gresik.
17. Sayyid ibrahim (asmoro). Dimakamkan di tuban.
18. Sayyid husain jamaluddin. Dimakamkan di bugis.(nasab Ayah dan ibu Syekhona Khalil bertemu)
19. Sayyid ahmad sуаһ jalaluddin. Dimakamkan ԁі naseradab, india.
20. Sayyid abdullah. Dimakamkan di naserabad, india.
21. Sayyid abdul mаӏіk azmatkhan. Dimakamkan di naserabad, india.
22. Sayyid alawi ‘ammil faqih. Dimakamkan di tarim, hadramaut, yaman.
23. Sayyid muhammad shahib mirbath. Dimakamkan di zhifar, hadramaut, yaman.
24. Sayyid aӏі khali’ qasam. Dimakamkan ԁі tarim, hadramaut, yaman.
25. Sayyid alawi. Dimakamkan di bait jabir, hadramaut, yaman.
26. Sayyid muhammad. Dimakamkan ԁі ьаіt jabir, hadramaut, yaman.
27. Sayyid alawi. Dimakamkan di sahal, yaman.
28. Sayyid abdullah/ubaidillah. Dimakamkan ԁі hadramaut, yaman.
29. Al-іmаm ahmad аӏ-muhajir . Dimakamkan ԁі аӏ-husayyisah, hadramaut, yaman.
30. Sayyid isa an-naqib. Dimakamkan ԁі bashrah, iraq.
31. Sayyid mυһаmmаԁ аnnaqib. Dimakamkan ԁі bashrah, iraq.
32. Al-imam ali al-uradhi. Dimakamkan ԁі аӏ-madinah аӏ-munawwarah.
33. Al-іmаm ja’far ash-shadiq. Dimakamkan di al-madinah аӏ-munawwarah.
34. Al-іmаm muhammad al-baqir. Dimakamkan di al-madinah аӏ-munawwarah.
35. Al-іmаm ali zainal abidin. Dimakamkan di аӏ-madinah al-munawwarah.
36. Sayyidina husain ьіn ali ьіn abi thalib. Dimakamkan ԁі karbala, iraq.
37. Sayyidatina fathimah az-zahra’ binti sayyidina muhammad rasulullah. Dimakamkan di madinah аӏ-munawwarah
Mаkа, dari јаӏυг sunan kudus, Syaikhona Kholil adalah generasi ke-37 ԁагі rasulullah saw.
Isri-istri Syaikhona
Ada sembilan wanita yang tercatat sebagai istri Syekh Kholil, beberapa diantara mereka beliau nikahi setelah beberapa istri sebelumnya meninggal dunia. Hal itu sangatlan wajar, karena Syekh Kholil itu berumur panjang, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau berumur lebih dari seratus tahun, maka beliaupun beberapa kali kedahuluan meninggal oleh istri dan beberapa kali menikah lagi. Itulah sebabnya Syekh Kholil memiliki istri yang banyak. Mereka adalah:
1. Nyai Raden Ayu Assek binti Ludrapati.
2. Nyai Ummu Rahma.
3. Nyai Raden Ayu Arbi’ah.
4. Seorang wanita dari Telaga Biru, Bangkalan. Belum diketahui namanya.
5. Seorang wanita dari Sabrah Sepulu, Bangkalan. Belum diketahui namanya.
6. Nyai Kuttab.
7. Nyai Raden Ayu Nur Jati.
8. Nyai Mesi.
9. Nyai Sailah.
Dari sembilan istri itu, hanya empat orang yang menurunkan keturunan Syekh Kholil. Mereka adalah: Nyai Assek, Nyai Ummu Rahmah, Nyai Arbi’ah dan Nyai Mesi.[4]
Pendidikan
Syekh Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil memiliki keistimewaan yang haus akan ilmu, terutama ilmu Fikih dan nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik 1002 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik sejak usia muda.[5]
Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Di samping itu ia juga merupakan seorang Hafidz Al-Quran dan mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira'at Sab'ah.[6]
Saat usianya mencapai 24 tahun setelah menikah, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Utuk ongkos pelayaran bisa ia tutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukannya bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat.[5]
Karya-karyanya
Al-Matnus Syarif
Sesuai namanya, kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ini merupakan kitab matan (inti) yang berbicara mengenai fundamen dasar hukum Islam (ilmu fiqih). Yang menarik dari kitab setebal 52 halaman ini, adalah bukan hanya karena kemasyhuran penulisnya, melainkan kitab ini telah menampilkan landscape keilmuan yang selama ini terkesan rumit, menjadi demikian lugas dan mudah dipahami.[7]
Ini nama-nama kitab yang ditulis sendiri oleh tangan beliau, Al-Allamah Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdullathif Bangkalan, yang Alhamdulillah telah berhasil kami kumpulkan:
1. Risalah Fi Fiqh al Ibadat (13 Ramadlan 1308 H)
2. Risalah Isti'dadul Maut (3 Dzulqodah 1309 H)
3. Taqrirat Alfiyah Ibnu Malik (Dzulqodah 1311 H)
4. Taqrirat nadzam Nuzhatut Thullab fi Qowaidil I'rob (1315 H)
5. Nadzam Jauharatul lyan li Ahlil Irfan (1315 H)
6. Nadzam Maqsud fi As-shorf (Jumat 5 Muharram 1316 H)
7. Risalah Khutbah (Jumat 19 Ramadlan 1323 H)
8. Matn Al Ajurumiyah (makna dan taqrir)
9. Al-bina' (makna)
10. Tasrif al Izzi (makna dan taqrir)
11. Maulid Hubbi lis Sayyidina Muhammad (makna)
12. Maulid Barzanji (makna)
13. Al-Awamil (nahwu/makna)
14. Terjemah al-Qur'an al-Karim (makna jawa)
Guru-gurunya
Syekh Kholil pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya:[8][9]
Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki di Mekkah
Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani di Mekkah
Murid Syaikhona Kholil
Murid angkatan pertama
Syekh Hasan Genggong atau lebih dikenal Kiai Hasan Genggong selengkapnya Haddratus Syekh al-Arifbillah KH. Mohammad Hasan bin Syamsuddin bin Qoyiduddin Al-Qodiri Al-Hasani (nama lain: Kiai Hasan Sepuh, lahir di Sentong, Krejengan, Probolinggo, 27 Rajab 1259 Hijriah / 23 Agustus 1843 Masehi - meninggal di Genggong, 11 Syawal 1374 H / 1 juni 1955 M) dianggap sebagai mujaddid dan Syekh Naqshbandi terkemuka dari Indonesia. Ia merupakan santri angkatan pertama saat Syaikhona Kholil datang dari pengembaraan ilmu di Mekkah.[10][11]
Daftar Murid
Berikut merupakan murid-murid dari Syekh Kholil:[10]
K.H. Irsyad Hasyim, sahabat K.H. Ali Wafa Abdul Aziz bin K.H. Abdul Hamid Itsbat, pengasuh PP. Bustanul Ulum Mlokorejo dan pendiri PP. Irsyadunnasyi'in Kasian, Jember.
K.H. Mama ilyas al-Banjari, Ciamis - Jawa Barat.
Cerita Syekh Kholil dengan murid-muridnya
Adapun cerita Syekh Kholil dengan murid-muridnya adalah sebagai berikut:
Kiai Ma'sum Lasem
Kiai Ma'shum - Lasem, Rembang: Dikurung, disuruh ngajar dan didoakan
Dalam buku Manaqib Mbah Ma’shum Lasem diceritakan bahwa suatu hari Syekh Kholil Bangkalan meminta santrinya untuk membuat kurungan ayam jago sebab akan datang jagoan dari tanah Jawa ke Bangkalan. Keesokan harinya datang seorang pemuda bernama Muhammadun (nama Mbah Ma’shum waktu muda) yang berusia 20 tahun dari tanah Jawa. Oleh Syekh Kholil, pemuda itu diminta masuk ke dalam kurungan ayam jago yang telah dibuat santrinya. Dengan penuh takzim pemuda itu pun masuk dan duduk berjongkok ke dalam kurungan ayam jago. Syekh Kholil kemudian berkata kepada santri-santrinya, "Inilah yang kumaksudkan sebagai ayam jago dari tanah Jawa yang kelak akan menjadi jagoan tanah Jawa."[13]
Pada awal nyantri, Mbah Lasem malah disuruh mengajarkan Alfiyah kepada santri-santri Syekh Kholil di dalam kamar yang tidak ada penerangnya. Mbah Ma’shum hanya nyantri selama 3 bulan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya seraya mendoakannya dengan doa Sapu Jagad. Saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, ia dipanggil kembali oleh Syekh Kholil lalu didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.[13]
Ketika awal nyantri, Hasyim Asy’ari muda disuruh naik ke atas pohon bambu, sementara Syekh Kholil terus mengawasi dari bawah sembari memberi isyarat agar terus naik dan tidak boleh turun sampai ke pucuk pohon bambu tersebut. Kiai Hasyim dengan takzim terus naik sesuai perintah gurunya. Begitu sampai di pucuk, Syekh Kholil mengisyaratkan agar Kiai Hasyim langsung loncat ke bawah. Tanpa pikir panjang Kiai Hasyim langsung meloncat dan selamat. Ternyata hal tersebut hanya ujian kepatuhan seorang santri kepada kiainya.[14]
Sebagai murid, Kiai Hasyim tidak pernah mengeluh ketika disuruh apa pun oleh gurunya, termasuk ketika disuruh menggembalakan kambing dan sapi, mencari rumput dan membersihkan kandang. Ia menerima titah gurunya itu sebagai khidmat (dedikasi) kepada sang guru.[15]
Selain itu, saat Syekh Kholil kehilangan cincin pemberian istrinya yang jatuh di kamar mandi, Kiai Hasyim memohon izin untuk mencarinya. Setelah diizinkan, sejurus kemudian beliau masuk ke septictank dan mengeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kiai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan. Betapa senang sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya hingga terucap doa: "Aku rida padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu."[16]
Pada suatu hari di bulan Syawal, Syekh Kholil memanggil semua santri dan memerintahkan agar penjagaan pondok diperketat karena tidak lama lagi akan ada macan masuk ke pondok.[17]
Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang ketat di pondok pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren ada hutan rimba, sehingga khawatir jika ada macan muncul dari hutan tersebut.[17]
Setelah beberapa hari ternyata macan yang ditunggu-tunggu tidak juga muncul. Pada minggu ketiga, Syekh Kholil memerintahkan para santri untuk berjaga ketika ada pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren.[17]
Begitu sampai di depan rumah Syekh Kholil, pemuda itu mengucapkan salam. Mendengar salam pemuda tersebut, Syekh Kholil justru malah berteriak memanggil para santrinya “Hai santri-santri, macan! macan! Ayo kepung, jangan sampai masuk ke pondok.” Mendengar teriakan Syekh Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir pemuda tersebut. Para santri yang sudah membawa pedang, celurit, tongkat mengerubuti “macan” yang tidak lain adalah pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi pucat pasi ketakutan. Karena tidak ada jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari meninggalkan kompleks pondok.[17]
Karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Syekh Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Meskipun begitu, dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti sebelumnya. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di bawah kentongan yang ada di musala pesantren. Ketika tengah malam, dirinya dibangunkan dan dimarah-marahi oleh Syekh Kholil. Meski demikian, setelah itu dirinya diajak oleh Syekh Kholil ke rumahnya dan dinyatakan sebagai salah satu santri dari pondok yang beliau pimpin.[17]
Sejak itu, pemuda tersebut resmi sebagai santri pondok. Pemuda yang dimaksud itu adalah Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi salah satu pendiri NU.[17] Ternyata apa yang diprediksi oleh Syekh Kholil menjadi kenyataan, Abdul Wahab Hasbullah benar-benar menjadi “Macan”NU.
Ketika Kiai As’ad masih menjadi santri Syekh Kholil, ia pernah disuruh mengantarkan tongkat ke Kiai Hasyim Asy’ari di Jombang. Di lain hari ia disuruh mengantarkan tasbih kepada Kiai Hasyim juga. Syekh Kholil hanya memberikan bekal beberapa uang logam. Ketika Kiai As’ad naik bus atau kereta, bolak-balik kondektur tidak menagih tiket kepadanya, demikian pula ketika akan menyeberangi Selat Madura, seseorang tiba-tiba mengajaknya naik ke kapal bersamanya secara cuma-cuma. Setelah turun dari kapal, beliau kembali ditawari naik kendaraan ke Jombang, beliau menerima tawaran ini dengan rasa syukur. Kiai As’ad yakin hal ini karena doa dan barakah dari sang guru melalui uang logam yang diberikan Syekh Kholil.[18]
Pada suatu pagi, seorang santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah karena tidak bisa salat subuh berjamaah. Bahar absen salat jamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Pasalnya, semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar hingga bersembunyi di kamarnya, sebab wanita itu adalah istri Syekh Kholil, gurunya.[19]
Pada saat subuh, terdengar Syekh Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap, "(Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?)"[19] Para santri yang sudah ke masjid untuk salat berjamaah merasa heran dan bertanya-tanya siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut salat berjamaah. Seusai salat subuh berjamaah, Syekh Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya, “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?”. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar.
Kemudian Syekh Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan, Bahar dibawa ke masjid. Syekh Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata, "Bahar, karena kamu tidak hadir salat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini". Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus walau kesulitan.
Setelah itu Syekh Kholil memerintahkan Bahar untuk memakan nasi yang ada di nampan sampai habis. Sekali lagi Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Syekh Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, ia lalu disuruh makan buah-buahan yang telah tersedia di nampan lain sampai habis.
Setelah itu Bahar diusir oleh Syekh Kholil seraya berucap dan menunjuk Bahar, "Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini". Dengan perasaan senang dan mantap, Bahar pun pulang meninggalkan pesantren Syekh Kholil menuju kampung halamannya, hingga akhirnya ia menjadi pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri keenam.
Karamah
Berikut adalah karamah yang dengan kehendak Allah dimiliki oleh Syekh Kholil al-Bangkalani:[20][21]
Ke Mekkah naik kerocok
Suatu sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Syekh Kholil ditemani oleh Kiai Syamsul Arifin ayahanda dari Kiai As’adSitubondo. Bersama sahabatnya itu, mereka berbincang-bincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di daerah Pulau Jawa dan Madura. Persoalan demi persoalan dibicarakan, tak terasa saking asyik berdiskusi matahari hampir terbenam. Padahal mereka belum melaksanakan shalat Asar, sementara waktunya hampir habis sehingga tidak mungkin melaksanakan shalat asar dengan sempurna dan khusyuk. Akhirnya Syekh Kholil memerintah Kiai Syamsul Arifin untuk mengambil kerocok (sejenis daun aren yang dapat mengapung di atas air) untuk dipakai perjalanan menuju Makkah. Setelah mendapatkan kerocok, lantas Syekh Kholil menatap ke arah Makkah, tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya berjalan dengan cepat menuju Makkah. Sesampainya di Makkah, azan asar baru saja dukumandangkan. Setelah mengambil wudlu, Syekh Kholil dan Kiai Syamsul Arifin segera menuju shaf pertama untuk melaksanakan shalat asar berjamaah di Masjidil Haram.[22]
Mengobati anak pecandu gula
Dikisahkan oleh K.H. Abdullah Syamsul Arifin, ketua PCNU Jember, terdapat seorang warga yang mempunyai anak dengan kelainan hobi mengonsumsi gula berlebih, bahkan setiap hari anak tersebut bisa menghabiskan sekian kilo gula pasir. Akhirnya ayah anak itu nyabis (sowan) ke Syekh Kholil Bangkalan. Di hadapan Syekh Kholil ia mengeluh soal kebiasaan anaknya menyantap gula. Ia berharap agar sang Syekh berkenan menyembuhkan penyakit yang mendera anaknya. Namun Syekh Kholil malah menjawab permohonan si ayah dengan menyuruhnya datang kembali satu minggu kemudian. Tamu tersebut pamit, namun sejak saat itu kebiasaan si anak semakin menjadi-jadi dan semakin banyak gula yang dihabiskan setiap hari, dimakan begitu saja. Sang ayah tetap memenuhi perintah Syekh Kholil untuk datang kembali ke rumahnya seminggu kemudian. Setelah pertemuan yang kedua, anak tersebut berhenti total mengonsumsi gula.
Konon, selama seminggu Syekh Kholil bertirakat. Tidak makan makanan atau minuman yang berbahan gula pasir. Pesannya sederhana, jika ingin menyuruh sesuatu maka harus mengerjakannya dulu. Kalau ingin melarang sesuatu terhadap orang lain maka yang bersangkutan dahulu yang wajib memberi contoh jika ingin larangannya dipatuhi.[23]
Tertawa keras saat salat
Pada suatu hari, saat salat jamaah yang dipimpin oleh seorang kiai di sebuah pesantren tempat Syekh Kholil muda mencari ilmu, ia tertawa cukup keras. Setelah selesai salat sang kiai menegur Syekh Kholil muda atas sikapnya tersebut yang memang dilarang dalam Islam. Ternyata Syekh Kholil muda masih terus tertawa meskipun kiai sangat marah terhadapnya. Akhirnya ia menjawab hal yang menyebabkannya tertawa keras, bahwa ketika salat berjamaah berlangsung dia melihat sebuah "berkat" (makanan yang dibawa pulang sehabis kenduri) di atas kepala sang Kiai. Mendengar jawaban tersebut sang kiai sadar dan malu atas salat yang dipimpinnya. Karena sang kiai ingat bahwa selama salat berlangsung dia merasa tergesa-gesa untuk menghadiri kenduri yang mengakibatkan salatnya tidak khusyuk.[5]
Ditangkap lalu dibebaskan oleh Belanda
Syekh Kholil pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat perlawanan terhadap kolonial di pondok pesantrennya. Ketika Belanda mengetahuinya, Syekh Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Namun, ditangkapnya Syekh Kholil, malah membuat pihak Belanda pusing dan kewalahan; karena terjadi hal-hal yang tidak bisa mereka mengerti. Seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri. Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Syekh Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Syekh Kholil untuk dibebaskan.[5]
^menurut sebuah manuskrip tentang biografi Syekhona Kholil yang ditulis oleh Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani (Syekh Yasin Padang) beliau menerangkan sebagai berikut:
ولد ليلة الخميس 9 صفر سنة 1252 (غرنب) بمدينة بنكلان عاصمة جزيرة مادور
^Silsilah yang masyhur dan sempat di posting keturunan beliau RKH. Ismail Amin Kholil dalam akun Instagramnya @ismaelalkholilie adalah, Kholil bin Abdul Lathif bin Hamim bin Muharram bin Abdul Karim. Dimana KH. Kholil sendiri menulis nasabnya demikian.