Keluarga Lie dari Pasilian dulu adalah sebuah keluarga tuan tanah, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat berlatar belakang Tionghoa-Indonesia yang merupakan bagian dari ‘Tjabang Atas’ di Hindia Belanda (kini Indonesia).[1][2][3] Selama lebih dari satu abad, yakni mulai tahun 1847 hingga 1952, sembilan orang anggota dari keluarga ini berhasil menjadi pejabat Cina, termasuk Lie Tjoe Hong, Mayor Cina ketigaBatavia (kini Jakarta).[4][5] Pejabat Cina, yang terdiri dari jabatan Mayor, Kapitan, dan Letnan Cina, dulu adalah kepanjangan tangan dari pemerintah Hindia Belanda yang memegang wewenang administratif dan hukum terhadap komunitas Cina di suatu wilayah tertentu.[4][6][5]
Pendirian di Hindia Belanda
Sejarah keluarga ini di Indonesia dimulai dari dua orang Totok bersaudara yang bermukim di Batavia, ibu kota Hindia Belanda, yakni Lie Tiang Ko, kemudian menjadi Kapitan-tituler Cina (1786–1855) dan Lie Tioe Ko.[7][8] Setelah sukses berbisnis pada awal abad ke-19, keluarga Lie mulai membeli tanah partikelir pada dekade 1840-an, termasuk tanah partikelir Pasilian, di Banten, karena kepemilikan atas tanah dianggap lebih bergengsi daripada kepemilikan atas bisnis.[7][6]
Pada tahun 1847, Lie Tiang Ko dan putra sulungnya, Lie Pek Thay, diberi gelar kehormatan Letnan-tituler Cina.[2][8][3] Gelar tersebut tidak memberi mereka tanggung jawab apapun, karena gelar tersebut hanya merupakan penghormatan, antara lain berkat kekayaan dan popularitas mereka.[6][2] Pada tahun 1850, Letnan-tituler Lie Tiang Ko diangkat menjadi Kapitan-tituler Cina.[7][2][8] Lie Tiang Ko kemudian meninggal pada tahun 1855 sebagai salah satu orang terkaya di Hindia Belanda.[7][2][8]
Selain putra sulungnya, dua orang putra lain dari Lie Tiang Ko kemudian diangkat menjadi pejabat Cina.[2][8][3] Lie Pek Hoat diangkat pada tahun 1863 menjadi Letnan Cina Lontar Tanara, Banten, di mana sebagian besar tanah milik keluarga Lie berada. Pada tahun 1866, Lie Pek Hoat diangkat menjadi Kapitan Cina Serang, ibu kota Banten.[2][8] Sementara adiknya, Lie Pek Tat, diangkat pada tahun 1859 menjadi Boedelmeester di Wees- en Boedelkamer, awalnya dengan gelar kehormatan Letnan-tituler, tetapi kemudian pada tanggal 1 Februari 1885, diangkat menjadi Kapitan-tituler.[9][2][8]
Pada generasi ketiga, tiga orang anggota dari keluarga ini diangkat menjadi pejabat Cina.[4][5][2] Pada tahun 1866, Lie Tjoe Hong (1846 – 1896), putra dari Letnan-tituler Lie Pek Thay, diangkat menjadi Letnan Cina Lontar Tanara untuk menggantikan pamannya, Lie Pek Hoat, yang diangkat menjadi Kapitan Cina Serang. Lie Tjoe Hong mengundurkan diri pada tahun 1868, tetapi pada tahun 1872, ia diangkat menjadi anggota dari Kong Koan di Batavia.[4][5] Pada tahun 1876, ia diangkat menjadi Kapitan Cina, dan pada tanggal 18 Februari 1879, ia ditunjuk untuk menggantikan Mayor Tan Tjoen Tiat sebagai Mayor Cina ketiga Batavia dan chairman ex officio dari Kong Koan.[4][5]
Lie Tjoe Tjiang (lahir pada tahun 1827), putra dari Lie Pek Tjiat, diangkat menjadi Letnan-tituler pada tahun 1866. Dua tahun kemudian, ia ditunjuk menjadi anggota Kong Koan, di mana ia tetap menjadi anggota hingga tahun 1879.[10][2][8] Antara tahun 1911 dan 1913, Lie Tjoe Tjin (lahir pada tahun 1862), putra dari Kapitan Lie Pek Hoat, diangkat menjadi Letnan Cina Buitenzorg.[11][2][8]
Pada generasi keempat, dua orang anggota dari keluarga ini diangkat menjadi pejabat Cina.[1][2][8][3] Pada tahun 1885, Lie Tjian Som, putra dari Lie Tjoe Ie dan cucu dari Lie Pek Tjiat, diangkat menjadi Letnan-tituler Cina.[2][8] Pada tahun 1913, sepupunya, Lie Tjian Tjoen, putra sulung dari Mayor Lie Tjoe Hong, diangkat menjadi Letnan Cina.[5][1][8][3] Pada tahun 1915, Letnan Lie Tjian Tjoen diangkat menjadi Kapitan Cina sementara, untuk menggantikan Kapitan Tio Tek Soen. Pada tahun 1917, Lie Tjian Tjoen resmi diangkat menjadi Kapitan Cina.[5][1][2][8][3] Kapitan Lie Tjian Tjoen kemudian menjadi Kapitan Cina aktif terakhir di Indonesia dan chairman terakhir dari Kong Koan.[5][1][8][3] Pada tahun 1952, ia tidak lagi menjadi Kapitan Cina, karena sistem pejabat Cina dihapus oleh Gubernur Jakarta.[5]
Aw Tjoei Lan (melalui pernikahan), istri dari Kapitan Lie Tjian Tjoen dan menantu dari Mayor Lie Tjoe Hong: aktivis hak perempuan dan tokoh masyarakat[1]
Tio Tek Hong (putra dari Lie Loemoet Nio, cucu dari Kapitan-tituler Lie Pek Tat): pebisnis, pelopor industri musik Indonesia, dan penulis[2]