Keluarga disebut kazoku (家族code: ja is deprecated ) dalam bahasa Jepang. Pada dasarnya terdiri dari pasangan seperti keluarga di dalam masyarakat lain. Keluarga Jepang didasarkan pada garis keturunan dan adopsi. Leluhur dan keturunan dihubungkan oleh gagasan dari silsilah keluarga, atau keizu, yang bukan berarti hubungan berdasarkan pewarisan darah dan suksesi belaka, melainkan ikatan hubungan yang melekat dalam pemeliharaan dan kelanjutan keluarga sebagai institusi.
Dalam suatu periode sejarah tertentu, semua anggota keluarga diharapkan berkontribusi pada kelangsungan keluarga, yang dianggap sebagai tugas tertinggi anggota.[1]
Sejarah
Sejumlah besar bentuk keluarga telah ada secara historis di Jepang, dari kebiasaan matrilokal dalam Heian.
Seperti yang ditunjukkan oleh survei resmi selama tahun-tahun awal Dinasti Meiji, bentuk keluarga yang paling umum selama zaman Edo (Tokugawa) dicirikan dengan kediaman patrilokal, struktur batang, keturunan patrilineal dan primogenitur patrilineal,[2] maka diundangkan seperangkat undang-undang yang melembagakan pola kekeluargaan ini, dimulai dengan "Garis Besar Hukum Pidana Baru" pada tahun 1870.[3] Pada tahun 1871, orang-orang terdaftar dalam kartu keluarga (戸籍code: ja is deprecated , koseki) resmi.[4]
Pada awal abad kedua puluh, setiap keluarga diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan sistem ie (家code: ja is deprecated , rumah), dengan rumah tangga multigenerasi di bawah kekuasaan hukum seorang kepala rumah tangga. Dalam membangun sistem ie, pemerintah menggerakkan ideologi keluarga ke arah yang berlawanan dengan tren akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sistem ie diambil sebagai model untuk pola keluarga yang dipengaruhi oleh Konfusius dari kelas atas dalam periode Tokugawa.
Wewenang dan tanggung jawab untuk semua anggota ie secara hukum berada di tangan kepala rumah tangga. Setiap generasi menyediakan pria dan wanita dewasa, dengan preferensi untuk warisan oleh anak laki-laki pertama dan untuk pernikahan patrilokal. Bila memungkinkan, anak perempuan diharapkan untuk menikah, dan anak laki-laki yang lebih muda diharapkan untuk membangun rumah tangganya sendiri.[butuh rujukan]
Dalam keluarga tradisional Jepang, seorang pria yang akan menjadi kepala keluarga tinggal bersama orang tuanya setelah menikah. Ia mengambil alih kepemimpinan dan harus merawat orang tua ketika tua nanti. Selain itu, ia bertanggung jawab untuk mendukung anggota bokei dan mengarahkan pekerjaan anggota keluarga dalam pengelolaan rumah tangga. Pasangan dari generasi penerus hidup bersama di bawah satu atap.[5]
Suksesi dalam keluarga Jepang bukan berarti mewariskan harta almarhum belaka; melainkan pewarisan harta itu sendiri memiliki makna, yang mencerminkan tuntutan kelembagaan keluarga. Suksesi di Jepang berarti katokusozoku, atau suksesi kepala keluarga.
Katokusozoku memiliki tujuan untuk mencapai kelanjutan keluarga secara langsung sebagai sebuah institusi. Sang patriark, yang bertanggung jawab atas kelanjutan keluarga, harus memutuskan terlebih dahulu pria yang akan menggantikannya jika ia meninggal. Ia biasanya memilih seorang putra tertentu sebagai calon penggantinya. Ketika ia tidak memiliki keturunan sama sekali, sang patriark biasanya mengadopsi anak laki-laki sebagai penggantinya dan anak perempuan sebagai istri dari penerusnya. Dalam adopsi mukoyōshi, tidak masalah apabila anak laki-laki dan perempuan yang bersangkutan memiliki hubungan darah dengan sang patriark atau istrinya.[6]
Ideologi tradisional dari sistem ie menunjuk anak tertua sebagai pewaris keluarga, dan mengharapkan keluarganya untuk tinggal bersama orang tuanya. Ketika putra sulung tidak ada atau tidak dapat mengambil posisi ini, salah satu putra bungsu dapat mewarisinya. Orang tua yang sudah lanjut usia dapat memilih untuk tinggal dengan salah satu anak perempuannya yang sudah menikah, biasanya ketika tidak memiliki anak laki-laki. Hal yang tersirat di sini adalah hierarki jenis kelamin/usia dalam hal tinggal bersama orang tua, turun dari putra tertua ke putra bungsu, dan putri tertua ke putri bungsu. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa anak laki-laki tertua dan anak perempuan tertua tanpa saudara lebih mungkin untuk tinggal bersama orang tua mereka daripada yang lain.[7]
Ariga, K. (1954). "The Family in Japan". Marriage and Family Living. 16 (4): 362–368. doi:10.2307/348444.
Johnson, E. (1964). "The Stem Family and Its Extension in Present Day Japan". American Anthropologist. New Series. 66 (4, Part 1): 839–851. doi:10.1525/aa.1964.66.4.02a00070.
Kamo, Y. (1990). "Husbands and Wives Living in Nuclear and Stem Family Households in Japan". Sociological Perspectives. 33 (3): 397–417. doi:10.2307/1389067.
Kitaoji, H. (1971). "The Structure of the Japanese Family". American Anthropologist. 73 (5): 1036–1057. doi:10.1525/aa.1971.73.5.02a00050.
Koyano, S. (1964). "Changing Family Behavior in Four Japanese Communities". Journal of Marriage and the Family. 26 (2): 149–159. doi:10.2307/349721. JSTOR349721.
Mosk, Carl (1980). "Nuptiality in Meiji Japan". Journal of Social History. 13 (3): 474–489. doi:10.1353/jsh/13.3.474.
Spencer, R. F.; Imamura, K. (1950). "Notes on the Japanese Kinship System". Journal of the American Oriental Society. 70 (3): 165–173. doi:10.2307/596262. JSTOR596262.
Takakusu, J. (1906). "The Social and Ethical Value of the Family System in Japan". International Journal of Ethics. 17 (1): 100–106. doi:10.1086/206267. JSTOR2376103.