Kekacauan informasi
Kekacauan informasi (“information disorder”) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena penyebaran informasi yang salah, menyesatkan, atau sengaja dipalsukan yang menyebabkan kerancuan dalam memahami fakta. Dalam era digital, kekacauan informasi menjadi semakin kompleks karena kecepatan dan jangkauan distribusinya yang tak tertandingi melalui media sosial dan platform daring lainnya. Fenomena ini memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat, mulai dari menurunkan kepercayaan publik hingga memengaruhi proses demokrasi. Jenis Kekacauan InformasiMenurut Wardle dan Derakhshan (2017), kekacauan informasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama:
Penyebab Kekacauan Informasi
Dampak Kekacauan Informasi
Mengatasi Kekacauan InformasiPeningkatan Literasi DigitalPendidikan literasi digital adalah tentang cara memverifikasi informasi dan mengenali sumber yang kredibel sangat penting untuk memerangi kekacauan informasi. Menurut Jones dan Sheridan, literasi digital dapat membantu individu mengenali pola-pola disinformasi yang umum.[4] Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi secara kritis. Program seperti Gerakan Nasional Literasi Digital (Siberkreasi) bertujuan meningkatkan kecakapan digital masyarakat Indonesia.[5] Kolaborasi Platform DigitalPerusahaan teknologi harus bertanggung jawab dalam mengurangi penyebaran informasi salah dengan mengembangkan algoritma yang memprioritaskan konten faktual. Studi oleh Newton dan Bright (2020) menunjukkan bahwa pengaturan algoritma dapat mengurangi penyebaran konten menyesatkan. Kerja Sama MultistakeholderMengatasi kekacauan informasi memerlukan kerja sama antara pemerintah, perusahaan teknologi, akademisi, dan masyarakat sipil.[6] Strategi Komunikasi Publik yang Efektif Pemerintah dan organisasi perlu mengembangkan strategi komunikasi yang adaptif terhadap perkembangan teknologi dan media sosial. Kerangka kerja seperti RESIST yang dikembangkan oleh Government Communication Service International (GCSI) Inggris dapat menjadi acuan. Kerangka ini mencakup enam langkah: mengenali misinformasi dan disinformasi, peringatan dini, pemahaman situasi, analisis dampak, komunikasi strategis, dan efektivitas penanganan.[6] Penguatan Peran Praktisi Humas PemerintahPraktisi hubungan masyarakat pemerintah harus mampu membangun strategi komunikasi yang efektif dan berperan sebagai penjernih informasi di tengah kekacauan informasi. Hal ini termasuk adaptasi terhadap disrupsi teknologi dan peran media sosial yang meningkat.[6] Pemahaman Budaya DigitalMasyarakat perlu memahami budaya digital yang berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Pemahaman ini dapat membantu mengatasi kekacauan informasi dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan.[7] Penggunaan Teknologi untuk Memerangi DisinformasiPemanfaatan teknologi seperti sistem kearsipan digital dan teknologi pengenalan teks (OCR) dapat membantu mengelola dan mengamankan informasi secara efisien. Selain itu, teknologi dapat digunakan untuk memantau dan menindak konten berbahaya di internet.[8] Kolaborasi dengan Platform Media SosialKerja sama antara pemerintah dan platform media sosial penting untuk menangkal disinformasi. Platform seperti Facebook dan Twitter telah berkomitmen untuk memblokir disinformasi terkait pandemi COVID-19 dan mengarahkan pengguna ke sumber resmi seperti WHO.[9] Contoh Kekacauan InformasiHoaks tentang Bencana AlamKetika terjadi bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami, sering kali muncul klaim palsu tentang jumlah korban, penyebab bencana, atau prediksi bencana lanjutan. Informasi ini dapat menyebabkan kepanikan massal dan menghambat penanganan bencana yang efektif.[10] Disinformasi tentang VaksinasiGerakan anti-vaksin sering menyebarkan informasi palsu yang menghubungkan vaksin dengan autisme, infertilitas, atau efek samping berbahaya lainnya. Akibatnya, tingkat vaksinasi menurun dan wabah penyakit yang sebenarnya dapat dicegah meningkat di berbagai wilayah.[11] Hoaks tentang Bencana AlamKetika terjadi bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami, sering kali muncul klaim palsu tentang jumlah korban, penyebab bencana, atau prediksi bencana lanjutan. Informasi ini dapat menyebabkan kepanikan massal dan menghambat penanganan bencana yang efektif.[10] Rujukan
|