Taman Hewan Pematangsiantar (THPS) atau sebelumnya dikenal juga sebagai Kebun Binatang Siantar dan Kebun Binatang Pematangsiantar, adalah kebun binatang yang terletak di kota Pematangsiantar. Kebun binatang ini resmi dibuka untuk umum pada tanggal 27 November 1936 dengan luas areal sekitar 4.5 hektare. THPS berlokasi di Jalan Gunung Simanuk-Manuk Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara. Sampai saat ini THPS masih mempertahankan statusnya sebagai kebun binatang yang terlengkap dan terbaik di wilayah Sumatera Utara. Koleksi satwa dan popularitasnya bahkan mengalahkan Kebun Binatang Medan dengan luas yang berpuluh kali lebih besar daripada THPS dan merupakan kebun binatang terbesar di wilayah Sumatera Utara yang terletak di ibu kota provinsi Sumatera Utara, Kota Medan. Meskipun dengan berbagai keterbatasan seperti sempitnya ruang yang tersedia, kurangnya pendanaan serta pemahaman untuk proyek peremajaan eksibisi hewan, namun melalui usaha perawatan hewan yang cukup baik, THPS cukup berhasil dalam menjalankan peranannya sebagai lembaga konservasi serta dapat digolongkan sebagai salah satu kebun binatang yang terbaik di antara kebun binatang yang ada di Indonesia. Taman Hewan Pematangsiantar mengantongi izin berupa Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan Nomor. SK.84/Menhut-II/2007 yang dikeluarkan pada tanggal 15 Maret 2007.[1]
Sejarah
Pematangsiantar sebagai sebuah kota transit dan perkebunan yang penting sejak masa Penjajahan Belanda membuat Kota pematangsiantar sebagai salah satu kota yang paling cepat perkembangannya karena letaknya yang strategis menghubungkan antara Pantai Timur Sumatra dengan Hinterland Wilayah Pegunungan Tapanuli. Lokasi yang strategis membuat Pematangsiantar menjadi salah satu Pusat Pemerintahan kolonial di Sumatera Utara. Pematangsiantar dengan letaknya yang strategis cukup ramai dilalui Lalu Lintas perdagangan serta pengembangan usaha manufaktur hasil komoditas Perkebunan dan juga usaha perkebunan sehingga kota Pematangsiantar cukup makmur dan banyak menarik berbagai kaum pendatang seperti suku Batak Toba dan Tapanuli, Suku Jawa, pendatang Etnis Tionghoa dan tentu saja Kaum Kolonial Belanda serta pengusaha sipil asal Eropa. Dengan jumlah penduduk golongan Eropa yang cukup signifikan jumlahnya maka berbagai sarana dan fasilitas selayaknya Kota Modern lainnya pada zaman kolonial seperti jalan raya dan jembatan, aliran listrik, air bersih, Permukiman Khusus Eropa, Sekolah, Rumah Ibadah dan Jalur Kereta Api pun dibangun di Pematangsiantar.[2]
Taman Hewan Pematangsiantar bermula dari kegemaran Dr. Coonrad seorang pecinta hewan dari kaum Kolonial Belanda akan dunia Zoologi. Hingga pada tanggal 27 November 1936, riwayat THPS pun bermula dengan diresmikannya sebuah Taman Zoologi dan Botani di atas sebidang tanah seluas 4.5 Ha yang terletak di wilayah Kota Pematangsiantar oleh Dr. Coonrad. Dr. Coonrad yang memprakarsai berdirinya Taman Zoologi dan Botani pertama di Kota Pematangsiantar kemudian sekaligus menjabat sebagai pimpinan pertama dari Komunitas Pecinta Zoologi dan Botani dan Taman Zoologi dan Botani tersebut di Kota Pematangsiantar. Menjalani masa awal kemerdekaan Indonesia, Pada bulan Juni 1956 di situs Taman Zoologi dan Botani yang didirikan oleh Dr. Coonrad tersebut didirikan pula sebuah Museum Zoological oleh Prof. Dr. F. J. Nainggolan yang diresmikan oleh Ibu Rahmi Hatta Ibu Wakil Presiden RI kala itu Ir. Mohammad Hatta. Selama beberapa waktu nama Taman Zoologi dan Botani Kota Pematangsiantar disebut juga sebagai Kebun Binatang Pematangsiantar. Kebun Binatang Pematangsiantar merupakan kebun binatang ke empat tertua di Indonesia yang masih bertahan setelah Kebun Binatang Surabaya, Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan di Bukittinggi dan Kebun Binatang Bandung.Seiring dengan perjalanannya THPS yang pada saat itu masih bernama Kebun Binatang Pematangsiantar berada di bawah pengelolaan Pemerintah Daerah, namun ironis, selama di bawah pengelolaan Pemda kondisi Kebun Binatang Pematangsiantar tersebut ternyata tidak dapat lagi memenuhi harapan masyarakat karena berbagai keterbatasan dan kesulitan pengelolaan serta kisruh internal. Kebun Binatang Pematangsiantar saat itu mengalami berbagai masalah seperti kondisi hewan yang tinggal sedikit dan tidak terawat, kondisi situs yang sudah tua, kurang terawat dan sangat memprihatinkan keadaannya. Berdasarkan inisiatif Pemda dan masyarakat maka sejak tanggal 1 September 1996, Kebun Binatang Pematangsiantar yang sebelumnya dikelola oleh Pemda diambil alih pengelolaannya oleh PT. Unitwin Indonesia Medan perusahaan pihak Swasta yang dipimpin oleh seorang Pengusaha Nasional dan Pencinta Lingkungan Hidup Bapak DR. H. Rahmat Shah. Di bawah pengelolaan swasta Kebun Binatang Pematangsiantar kemudian diubah namanya menjadi Taman Hewan Pematangsiantar (THPS) dengan alasan penggunaan kata kebun binatang kurang etis untuk diperdengarkan kepada khalayak.[3]
Koleksi
Taman Hewan Pematang Siantar sebagai sebuah Lembaga Konservasi sampai saat ini mengkonservasi beragam jenis satwa yang terdiri dari koleksi Mamalia sebanyak 201 ekor dari 51 spesies, koleksi Aves 455 ekor dari 113 spesies, dan koleksi Reptil 59 ekor dari 19 spesies. Jumlah keseluruhan satwa koleksi yang dikonservasi di dalam THPS totalnya mencapai sebanyak 715 ekor yang terdiri dari 183 spesies.[1] Sampai saat ini jumlah koleksi yang terdapat di THPS terus bertambah karena THPS memiliki kebijakan konservasi dan penangkaran satwa yang dapat terbilang sukses. THPS dalam menjalankan peranannya sebagai lembaga konservasi sudah memiliki kemampuan yang mandiri dalam melestarikan satwa dan berhasil dalam menangkar satwa yang termasuk langka seperti Siamang, Harimau Putih dan Harimau Sumatra.[4] Selain itu THPS juga kerap menerima sumbangan hewan yang ditangkap oleh masyarakat atau hewan hasil buruan dan peliharaan warga. Diantaranya THPS pernah menerima buaya pemangsa manusia yang tertangkap warga di Kabupaten Labuhan Batu.[5]
Taman Hewan Pematangsiantar juga memiliki beberapa koleksi yang terbilang unik dan tiada duanya di Indonesia, seperti keberadaan seekor Buaya yang dipercaya merupakan Buaya Darat tertua yang berhasil bertahan hidup dalam asuhan manusia dalam Kebun Binatang. Buaya Sinyulong (false gharial) yang telah berumur 76 tahun terhitung pada tahun 2012 tersebut sudah ditampung di Taman Hewan Pematangsiantar sejak berdirinya kebun binatang tersebut pada tahun 1936.[6] Selain keberadaan Buaya Tertua dalam penangkaran, THPS juga memiliki koleksi unik berupa Liger yang murni merupakan hasil penangkaran sendiri oleh THPS, sekaligus menjadikan THPS merupakan satu-satunya kebun binatang di Indonesia yang sukses dalam menangkar Liger, Mamalia Karnivora yang berjenis kucing besar hasil Perkawinan Silang antara Singa dengan Harimau.[7]
Fasitilas dan prasarana
Untuk mendukung keberadaan Taman Hewan Pematang Siantar sebagai sarana hiburan, konservasi dan edukasi, THPS dilengkapi pula dengan unit pusat karantina hewan, rumah sakit hewan dan sebuah Museum Zoologicum dengan koleksi berupa hewan mati yang telah diawetkan dengan menggunakan cairan Formalin. Koleksi museum berasal dari berbagai jenis satwa yang berasal dari dalam dan luar negeri dan mencapai jumlah ± 250 spesies.[1] Koleksi dalam museum zoologi ini berasal dari sumbangan warga, hewan yang mati karena berumur tua atau sakit, dan hasil sumbangan sang pemilik THPS, DR. H. Rahmat Shah yang dahulu kerap mengikuti perburuan satwa legal Big Game di zona berburu dari berbagai belahan dunia. DR. H. Rahmat Shah juga memiliki Museum Zoologi sejenis, yaitu Rahmat's Gallery yang terletak di Kota Medan dengan koleksi yang lebih lengkap dan ruang eksibisi yang lebih luas daripada Museum Zoologi THPS.[8]
Kontroversi dan masalah
Taman Hewan Pematangsiantar juga sempat mendapat kontroversi karena disinyalirkan terlibat dalam praktik pertukaran hewan secara ilegal antar kebun binatang di Indonesia. THPS disorot karena secara tiba-tiba memiliki koleksi berupa 2 ekor Komodo dan beberapa hewan langka lainnya seperti Singa Afrika dan Zebra. Namun pada akhirnya tudingan ini dapat dimentahkan dan tidak dapat dibuktikan oleh penuduhnya karena THPS dapat membuktikan bahwa hewan-hewan tersebut murni adalah Hibah dari Taman Safari Indonesia Cisarua, Bogor dan Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta untuk THPS.
Masalah yang dialami oleh Taman Hewan pematangsiantar adalah masalah yang masih lazim menimpa Kebun Binatang di seluruh Indonesia pada umumnya seperti masalah kebersihan karena kurangnya kesadaran pengunjung dalam menjaga kebersihan kebun binatang dengan membuang sampah sembarangan. Masalah kesehatan hewan juga cukup memprihatinkan karena masih ada pengunjung yang masih melempari hewan dengan berbagai macam sampah dan sembarangan memberi makan hewan. THPS juga menderita masalah klise soal kesejahteraan hewan yang kerap menimpa kebun binatang di penjuru Indonesia akibat kondisi kandang hewan yang terdapat di THPS sebagian besar masih berupa kandang model menagerie. Bahkan keadaan beberapa di antaranya sudah kurang layak, seperti terlalu sempit dan kurang menyerupai habitat asli si hewan sehingga hewan yang mendiaminya terlihat mengindikasikan gejala stress. Berdasarkan pemantauan, sebagian hewan besar di THPS seperti Harimau dan Singa juga Beruang menunjukkan gejala gangguan Stereotypical Behavior seperti kerap mondar-mandir dan tatapan mata yang kosong.
Sebagai sebuah kebun binatang yang populer dan hampir selalu ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai penjuru, tampak sekali penataan letak dan tata estetika THPS menjadi kurang estetis. Dengan semakin bertambahnya jumlah hewan akan tetapi lahan yang tersedia sangat kurang, ditunjang pula dengan keberadaan beberapa sarana warung makan yang cukup banyak (terdapat sekitar 4 kantin di areal THPS) dan arena bermain untuk anak dan kolam renang di dalam areal kebun binatang yang sempit. THPS tampaknya masih lebih berorientasi kepada fungsi Kebun binatang sebagai pusat hiburan masyarakat karena di dalamnya juga terdapat cukup banyak areal hiburan yang diperuntukkan untuk anak-anak yang mengunjungi kebun binatang tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan fungsi utama sebuah kebun binatang modern yang lebih memfokuskan kepada fungsi konservasi hewan dan mengutamakan kesejahteraan dan terlindunginya hak-hak hewan dengan meminimalisir pula polusi suara yang mungkin sekali timbul dengan keberadaan area hiburan tersebut.
Lihat pula
Referensi
Pranala luar