Kebebasan media, termasuk kebebasan pers, adalah platform utama untuk memastikan kebebasan berekspresi serta kebebasan informasi, masing-masing mengacu pada hak untuk memberi penilaian dan hak untuk mempertanyakan fakta. Sementara istilah kebebasan media mengacu pada tidak adanya monopoli negara atau campur tangan negara yang berlebihan. Pluralisme media dipahami dalam hal dikuranginya kontrol pribadi atas media, yang berarti menghindari kepemilikan media pribadi yang terkonsentrasi.[2]
Kebebasan media melekat pada proses pengambilan keputusan dalam demokrasi yang berfungsi dengan baik, memungkinkan warga untuk membuat pilihan politik mereka berdasarkan informasi yang independen dan pluralistik, dan dengan demikian merupakan instrumen penting untuk membentuk opini publik. Ekspresi berbagai pendapat diperlukan dalam debat publik untuk memberikan masyarakat kemungkinan untuk menilai dan memilih di antara berbagai pendapat. Semakin pluralistik dan terartikulasi pendapat tersebut, semakin besar pula efek legitimasi yang dimiliki media pada proses politik demokratis yang lebih luas. Kebebasan pers sering digambarkan sebagai pengawas atas kekuasaan publik, menggarisbawahi peran pentingnya sebagai pengamat dan pemberi informasi dari opini publik atas tindakan pemerintah.[2]
Kebebasan berekspresi mengacu pada hak-hak setiap individu jurnalis, serta pada institusi persnya. Dengan kata lain, signifikansinya mencakup baik hak individu masing-masing jurnalis untuk menyatakan pendapatnya dan hak pers sebagai lembaga untuk menginformasikan masyarakat. Untuk menjamin perlindungan media bebas, otoritas negara tidak hanya mendasari kewajiban negatif untuk menjauhkan diri dari segala campur-tangan, namun juga komitmen positif untuk mempromosikan kebebasan media dan bertindak sebagai penjamin terhadap campur-tangan publik serta aktor pribadi.[2]:2
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat dan untuk menerima dan menyampaikan informasi dan ide tanpa campur tangan oleh otoritas publik dan tanpa batasan. Pasal ini tidak akan menghalangi negara-negara untuk mewajibkan lisensi dari perusahaan penyiaran, televisi atau bioskop.
2. Pelaksanaan kebebasan ini, karena ia menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, mungkin tunduk pada formalitas, kondisi, pembatasan atau hukuman seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis, demi kepentingan keamanan nasional, integritas teritorial atau keamanan publik, untuk pencegahan gangguan atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau moral, untuk melindungi reputasi atau hak orang lain, untuk mencegah pengungkapan informasi yang diterima secara rahasia, atau untuk menjaga otoritas dan ketidakberpihakan lembaga peradilan.
Putusan ECtHR ditinjau kembali pada sejarah panjang yurisprudensi mengenai pelanggaran Pasal 10, yang dimulai pada akhir tahun 1970-an. Secara khusus, ECtHR melindungi jurnalisme investigasi, sumber informasi jurnalistik dan whistle-blower serta menekankan efek negatif sanksi terhadap aktivitas jurnalistik, karena mengarah pada penyensoran otomatis dan menghambat tujuan jurnalisme untuk memberi tahu masyarakat. Di sisi lain, pengadilan telah memperkuat perlindungan hak atas privasi terhadap pelaporan yang hanya bertujuan untuk menyuburkan keingintahuan masyarakat.[2]
Peraturan Uni Eropa dan penegakannya
Di Uni Eropa, negara-negara anggota telah berkomitmen untuk menghormati Piagam Hak Asasi Uni Eropa (Hak-hak di bawah Pasal 11 Piagam Uni Eropa sesuai dengan yang diberikan oleh ECHR berdasarkan Pasal 10), yang mulai berlaku dengan Perjanjian Lisbon pada tahun 2009 sebagai Pasal 6(1) TEU. Namun, jauh sebelum berlakunya perjanjian, Mahkamah Hukum Uni Eropa (CJEU) mengakui hak-hak asasi Uni Eropa sebagai prinsip umum hukum Uni Eropa dan menganggapnya sebagai bagian dari kerangka hukum yang mendasari yurisprudensi.[2]
Dalam praktiknya, dampak dari hukum dan nilai-nilai Uni Eropa yang mendasar pada perilaku negara-negara anggota Uni Eropa terkadang terbatas.[2] Sementara menunjukkan kebebasan berekspresi sebagai "indikator utama kesiapan suatu negara untuk menjadi bagian dari Uni Eropa",[3] begitu suatu negara telah menjadi bagian Uni Eropa, lembaga-lembaga Uni Eropa memiliki kemungkinan terbatas untuk menegakkan penghormatan hak-hak dan nilai-nilai asasi, termasuk kebebasan berekspresi dan informasi. Fenomena ini juga dikenal sebagai Dilema Kopenhagen, sebuah masalah yang ditangani, antara lain, melalui resolusi Parlemen Eropa bertajuk Piagam Uni Eropa: pengaturan standar untuk kebebasan media di Uni Eropa[8], yang diadaptasi pada Mei 2013. Dokumen ini menekankan pentingnya pemantauan dan pengawasan pengembangan undang-undang nasional mengenai kebebasan media di negara-negara anggota Uni Eropa dan mengusulkan untuk menghubungkan tugas ini dengan Badan Hak Asasi Uni Eropa (FRA).[2]
Mengenai layanan televisi secara khusus, Direktif Layanan Media Audiovisual 2010 menetapkan bahwa ujaran kebencian dan ujaran yang merugikan anak di bawah umur harus dilarang di semua negara anggota.[9]
Pemantauan
Terdapat berbagai organisasi pemerintah dan non-pemerintah baik regional maupun internasional yang memberi advokasi kebebasan media di negara-negara anggota Uni Eropa dan kandidat potensial Uni Eropa, serta negara-negara Kemitraan Wilayah Timur.[10] Pekerjaan yang dilakukan organisasi tersebut termasuk aktivitas teoritis seperti membuat laporan mengenai keadaan kebebasan media di berbagai negara, serta memberikan bantuan, baik dukungan finansial atau hukum, untuk mereka yang aktif di bidang jurnalistik.
Organisasi pemerintah
Dewan Eropa. Cabang-cabang yang relevan dengan kebebasan media: Komite ahli mengenai perlindungan jurnalisme dan keselamatan jurnalis (MSI-JO), Komite Kebudayaan, Sains, Pendidikan dan Media, Komisaris Hak Asasi Manusia[11]
^"Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia"(PDF). Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 Februari 2016.
^"DIRECTIVE 2010/13/EU". EUR-lex (dalam bahasa Inggris). Official Journal of the European Union. Diakses tanggal 9 Februari 2016.
^"Stakeholders". Resource Centre (dalam bahasa Inggris). European Centre for Press and Media Freedom. Diakses tanggal 10 Februari 2016.
^"Stakeholders/Council of Europe". Resource Centre (dalam bahasa Inggris). European Centre for Press and Media Freedom. Diakses tanggal 10 Februari 2016.
^"Stakeholders/European Commission". Resource Centre (dalam bahasa Inggris). European Centre for Press and Media Freedom. Diakses tanggal 10 Februari 2016.
^"Stakeholders/European Parliament". Resource Centre (dalam bahasa Inggris). European Centre for Press and Media Freedom. Diakses tanggal 10 Februari 2016.