Desa Kalipucang memiliki beberapa dusun yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Dusun (dulu disebut Bayan), yaitu
Pijahan
Podang
Kalipucang
Ngaglik
Kalikudo
Kehidupan masyarakat
Masyarakat Desa Kalipucang, pada umumnya bekerja sebagai petani, pedagang, pegawai, dan wiraswasta. Mata air di desa ini, sepanjang tahun selalu mengalir, sehingga memungkinkan para petani dapat menggarap lahan mereka tanpa terkendala oleh minimnya pasokan air untuk memenuhi kebutuhan penggarapan lahan persawahan. Pada mulanya, masyarakat desa ini seratus persen merupakan penganut agama Islam, tetapi sejak dasawarsa1980-an, ketika datang penginjilan dari Gereja Isa Almasih Ngipik, mulai ada sebagian warga yang memeluk agama Kristen, dan sebagian lainnya Katolik. Kehidupan masyarakat yang menjaga keberagaman inilah yang kemudian memungkinkan berdirinya sebuah gereja di Dusun Pijahan, bernama Gereja Isa Almasih Pijahan.[1][2]
Pijahan dalam Babad Soropadan
Menurut Babad Soropadan terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, nama Pijahan sebagai salah satu dusun di desa Kalipucang disebut sebagai tempat persembunyian Ki Wiropati, seorang komandan pasukan telik sandi prajurit Pangeran Diponegoro yang masih terus bergerilya sepeninggal Pangeran Diponegoro yang ditangkap oleh Belanda di Magelang. Pasukan Ki Wiropati mengadakan perlawanan dengan merampas senjata dan harta benda lainnya milik Belanda, yang kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Menghadapi gerakan itu, Belanda merasa kewalahan, kemudian mengutus Pangeran Pujud beserta beberapa orang prajurit pilihan untuk menumpas tentara Ki Wiropati. Maka berangkatlah rombongan Pangeran Pujud dari Yogyakarta menuju lereng Gunung Andong. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, sampailah pasukan Pangeran Pujud ke Padepokan Ki Wiropati di Dusun Pijahan wilayah Grabag, Magelang. Namun betapa terkejutnya Pangeran Pujud setelah berhadapan dengan Ki Wiropati, karena ternyata musuh yang harus ditangkapnya itu adalah saudaranya sendiri. Keduanya saling berpelukan melepas rindu, dan Pangeran Pujud mengambil keputusan tidak akan kembali ke Yogyakarta demi keselamatan Ki Wiropati. Agar jejaknya tidak diketahui oleh Belanda, ia mencari tempat persembunyian yang sekiranya tidak dapat diketahui oleh Belanda atau pasukan Mataram yang telah mengutusnya. Dalam rangka penyamaran, Pangeran Pujud berganti nama menjadi Ki Honggopotro.[3]