Kacang parang
Kacang parang (Canavalia ensiformis) adalah suatu jenis polong-polongan yang ditanam sebagai bahan pangan. Biji tumbuhan ini cukup banyak mengandung protein, namun demikian jumlahnya belum sebanyak kedelai.[4] Di Indonesia, kara pedang dikenal dengan sebutan kara kaji (Indonesia),[4] kacang parang (Melayu), kara bědog, k. měkah, k. prasman (Sunda), kar. bĕnda, koro bĕndo, kor. pědang, kara pědang, krandhang (Jawa), kar. ortel, dan juga kar. wedung (Madura).[2][3] Ada yang membuat dage dari bijinya yang sudah tua, tetapi biji tersebut harus dimasak 2 kali selama berjam-jam untuk menghilangkan racunnya.[4] Biji kacang parang juga dapat diolah untuk dijadikan tempe non-kedelai.[5] DeskripsiKacang parang merupakan semak merambat dengan panjang mencapai 10 m.[4] Makin bertambah umur, batangnya yang merambat akan berubah menjadi berkayu. Percabangan tumbuh pada buku terendah dan beberapa cabang sekunder juga tumbuh.[3] Permukaan batang kacang parang berwarna hijau dan berbulu. Daunnya bertangkai, dan mempunyai 3 helai anak daun. Daunnya tergolong majemuk, gasal, berselang-seling, pangkalnya membulat, tepinya rata, berukuran 7,5–15 cm × 5–10 cm, pertulangannya melengkung, berbulu, dan berwarna hijau. Bunga berbentuk kupu-kupu, berwarna merah muda hingga kadang-kadang putih. Kacang parang memiliki bunga yang tergolong majemuk, tumbuh di ketiak daun, panjang 7,5–20 cm, mahkota bunga berbentuk kupu-kupu, berwarna ungu, dan panjangnya 2–4 cm. Buahnya berbentuk polong,. Biji berbentuk lonjong, terpampat ke samping, berwarna gading atau putih, hilum cokelat dengan panjang 6–9 mm. Tiap-tiap polong berisi 20 biji. Panjang biji ± 2,5 cm. Akarnya tunggang dan berwana putih kotor.[2][3][4] Persebaran & habitatTempat asal kacang parang adalah Amerika Selatan dan Tengah. Di Amerika Serikat bagian selatan, dibudidayakan semenjak zaman pra-sejarah. Telah ditemukan bukti bahwasanya di Meksiko bahwa tumbuhan ini dibudidayakan semenjak 3000 SM. Di Pulau Jawa, ia terdapat di hutan-hutan di dataran rendah hingga ketinggain 1000 mdpl. Biasa ditanam masyarakat sebagai sumber makanan.[4][6] Bengkulu juga berpotensi bagi usaha budi daya tanaman koro pedang karena terdapat cuaca dan iklim ketinggiannya hingga 2.500 meter dari permukaan laut dengan suhu 26,3 derajat Celcius.[7] Kacang parang tumbuh di dua hemisfer.[8] Tapi walau demikian, Karel Heyne mengutip Backer yang mengatakan bahwa kacang parang tumbuh di ketinggian 2000 mdpl. Sering ditanam atau tumbuh liar, kata Backer sebagaimana dikutip Heyne.[9] Menurut PROSEA, tumbuhan ini berada di ketinggian 1800 mdpl. Namun tahan dengan kekeringan, dan membutuhkan curah hujan sekitar 700–2400 mm. Tumbuhan ini membutuhkan sinar matahari dan bisa hidup di bawah semak-semak. Toleran dengan tanah yang asam dan yang subur. Tidak terlalu berpengaruh dengan genangan air dan salinitas ketimbang polong-polongan lain.[6] TaksonomiMenurut Karel Heyne, kacang parang memiliki beberapa forma yang dimakan masyarakat Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Menurutnya, forma kacang parang itu ada yang dianggap spesies tersendiri. Selain itu pula, kacang parang berbiji putih lebih baik daripada forma yang berwarna merah. Dan biji kacang parang yang berwarna cokelat kotor, menurutnya, sangat dipertimbangkan.[9] Referensi
|