Justitia Semper Reformanda Est
"Justitia Semper Reformanda Est" adalah sebuah adagium atau maxim hukum dalam bahasa Latin yang diartikan sebagai "hukum selalu mereformasi dirinya sepanjang waktu" atau secara gramatikal "hukum selamanya terus berubah". Adagium ini dipopulerkan oleh Andreas M. D. Ratuanak dalam Jurnal Dialogia Iuridica.[1] yang menyatakan bahwa Hukum lahir dari gagasan tentang kondisi tatanan masyarakat yang ideal. Ide ini (hukum) untuk terus hidup dan dihidupi membutuhkan suatu habitat yang disebut sosial masyarakat. Sifat sosial masyarakat yang cenderung berubah inilah yang mempengaruhi perubahan hukum.[1] Argumentasi RatuanakRatuanak berargumen bahwa keberlakuan hukum sebagai gagasan ideal ini, selain diperoleh secara ekstrem melalui tekanan penguasa yang otoriter, biasanya suatu hukum harus memperoleh penerimaan sosial dan legitimasi melalui konsensus agar dapat bertahan sebagai hukum. Keterikatan hukum pada konsensus sosial inilah yang menjadikan hukum cenderung berubah dan akan selalu berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada masyarakat. Begitu konsensus mengenai hukum dan cara berhukum diubah, maka hukum juga akan berubah.[1] Menurutnya, hukum yang selalu berubah adalah suatu keadaan yang normal. Ratuanak menjelaskan bahwa bagaimanapun hukum akan selalu berubah, dari bentuk perubahan yang paling ekstrim atau sekedar adaptasi pada beberapa bagian dalam implementasinya. Menurut Ratuanak, hukum akan selalu dipandang dalam konteks yang berisi batasan-batasan tertentu, entah itu ruang, waktu, gagasan ideal, dan lain-lain. Hukum akan memperbaharui dirinya sesuai dengan batasan-batasan itu. Ketika batasan itu berubah, maka hukum pun akan berubah. Ber-refleksi pada Pendapat F. C. von Savigny dan Oliver Wendel Holmes JrPernyataan dari adagium ini secara teoritis dapat dipahami jika ber-refleksi pada pernyataan von Savigny yang menyatakan bahwa hukum selalu berada dalam keadaan “selalu berkembang”[2] menjadikan hukum tidak pernah konsisten sebagaimana yang dicita-citakan, Hal ini sejalan dengan pernyataan Oliver Wendell Holmes bahwa hukum akan sepenuhnya konsisten hanya jika hukum berhenti berkembang,[3] dan hukum tidak pernah berhenti berkembang.Gagasan-gagasan yang dianggap baik oleh masyarakat kemudian diterima, dilegitimasi dan dijalankan terus-menerus secara konsisten dan membudaya. Proses inilah yang disebut dengan konsensus masyarakat. Hasil dari proses konsensus inilah yang apabila dilegitimasi oleh pemegang otoritas maka akan membentuk suatu keteraturan yang dikenal dengan istilah tatanan hukum.[1] Hubungan Hukum dan MasyarakatRatuanak menjelaskan bahwa perubahan bentuk suatu instusi sosial dan negara sangat signifikan merubah tatatanan hukum, misalnya perubahan dari sistem adat menjadi monarkhi, monarkhi menjadi republik, republik dengan diktatorship menjadi republik demokrasi, dan lain-lain. Perubahan penguasa juga memberikan dampak yang signifikan..[1] Pengaruh Perkembangan Teknologi yang Mendorong Globalisasi dan GlokalisasiDalam Artikelnya, Ratuanak menyoroti pesatnya perkembangan dan inovasi yang berkaitan dengan teknologi transportasi dan teknologi informasi digital, sebagai faktor yang paling dominan dalam mendorong perubahan hukum saat ini. Derasnya arus transpotasi dan informasi digital yang menglobal telah berkontribusi pada proses globalisasi dan glokalisasi yang menicu terjadinya perubahan hukum.[1] Kontribusi Pluralisme HukumSalah satu faktor selain perkembangan teknologi yang memicu perubahan hukum adalah kondisi pluralisme hukum di suatu wilayah hukum. Menurut Ratuanak, banyaknya sistem hukum yang beroperasi di dalam suatu geografis yang sama akan membuat hukum-hukum itu akan saling berkontestasi, bernegoisasi, beradaptasi dan saling mengadopsi sehingga memicu lahirnya sistem-sistem baru yang hibrida.[1] Referensi
|