Pada tahun 1638, ia berangkat dari Genoa ke Spanyol untuk menegosiasikan persekutuan melawan Prancis, tetapi kapalnya karam di pesisir Provence. Ia kemudian ditangkap dan dipenjara di Vincennes atas perintah Kardinal Richelieu. Ia mendekam di situ selama dua tahun, dan baru dilepaskan setelah kakaknya yang merupakan Raja Polandia berjanji tidak akan pernah berperang melawan Prancis. Ia kemudian berkelana di berbagai negara di Eropa Barat, bergabung dengan ordo Yesuit di Roma, dan dijadikan kardinal oleh Paus Innosensius X. Sekembalinya di Polandia, ia kembali menjadi rakyat jelata. Pada tahun 1648, ia menjadi penerus kakaknya dan menikahi istri kakaknya yang telah menjadi janda, Ratu Marie Louise Gonzaga. Awal masa kekuasaannya dihantui oleh kebingungan dan bencana yang dipicu oleh pemberontakan Cossack yang dipimpin Chmielnicki. Para Cossack ini telah memasuki wilayah-wilayah penting Polandia. Sementara itu, kekuasaan raja sudah semakin menyusut akibat membesarnya pengaruh para bangsawan.
Rusia dan Swedia yang merupakan musuh bebuyutan Polandia memanfaatkan kesempatan ini dan memulai kembali serangan mereka. György II Rakoczy dari Transilvania juga menyerbu wilayah Polandia, sementara majelis Persemakmuran terus menerus dibubarkan akibat penyalahgunaan liberum veto. Karl X Gustav dari Swedia berhasil memasuki wilayah Polandia dan menduduki Kraków (1655), sementara Jan II Kazimierz melarikan diri ke Schlesien. Namun, serangan pasukan Swedia secara tidak terduga berhasil dihentikan di Biara Jasna Góra, dan konfederasi para bangsawan telah dibentuk untuk melawan semua musuh Polandia. Stefan Czarniecki berhasil memenangkan beberapa pertempuran melawan Swedia, Transilvania, Cossack dan Rusia. Peperangan akhirnya dihentikan setelah Polandia menandatangani perjanjian-perjanjian yang menyerahkan provinsi-provinsi di wilayah Baltik dan Dnieper. Polandia juga kehilangan kendalinya atas kelompok Cossack, yang kemudian memperoleh perlindungan dari tsar. Selama periode kekacauan yang panjang ini, Jan II Kazimierz tetap dapat menunjukkan patriotisme dan keberaniannya meskipun ia sebenarnya lemah dan lebih suka berdamai.[3]
Istrinya ingin agar Henri Jules, adipati Enghien, menjadi penerus tahta, tetapi hal ini memicu pemberontakan yang dipimpin oleh Hetman Jerzy Sebastian Lubomirski dan perang saudara yang singkat tapi berdarah. Sang raja akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dan menyerahkan mahkotanya kepada majelis di Warsawa pada tanggal 16 September 1668. Pada tahun berikutnya, ia pensiun di Prancis dan diterima dengan ramah oleh Louis XIV. Istrinya sudah meninggal terlebih dahulu tanpa meninggalkan calon penerus.[3]
Masa kekuasaan Jan Kazimierz merupakan masa yang paling kacau dalam sejarah Polandia. Ia sendiri sudah memprediksi dalam pidatonya di hadapan majelis pada tahun 1661 bahwa Polandia akan dibagi-bagi oleh Moskwa, Brandenburg, dan Habsburg, dan peristiwa ini akan terjadi 100 tahun setelah kematiannya.[3]