Jalan Pemuda adalah sebuah nama jalan raya sekaligus pusat bersejarah di Kota Depok yang letaknya berdekatan dengan Kantor Walikota Depok. Selain itu, wilayah Jalan Pemuda juga merupakan wilayah perbatasan antara Depok dengan Kabupaten Bogor.[1]
Sejarah
Abad ke-17
Pada akhir abad ke-17, seorang saudagar asal Belanda yang bernama Cornelis Chastelein keluar dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Bersamaan dengan keluarnya ia dari VOC, maka Cornelis Chastelein langsung membeli 6 bidang tanah di wilayah Jatinegara, Kampung Melayu, Karanganyar, Penjambon, Mampang, dan Depok. Namun, Depok menjadi wilayah yang lebih dimaksimalkan oleh Cornelis Chastelein, karena Cornelis Chastelein melihat Depok sebagai daerah yang asri.[2]
Pembentukan marga
Wilayah Depok yang menjadi rekaman penting terdapat banyaknya peninggalan sejarah bangsa Belanda dan jalannya pemerintahan pada masa kependudukan Belanda ialah Depok Lama. Salah satu yang familiar adalah pemilihan, pembentukan, dan penempatan ke-12 marga asli Depok oleh Cornelis Chastelein yang dalam perkembangan berikutnya menjadi penerima hak waris atas tanah di Depok Lama.[3]
Cornelis Chastelein kemudian menempatkan ke-12 marga yang merupakan orang-orang pilihan Cornelis Chastelein di wilayah Depok, Kecamatan Pancoran Mas untuk mengelola lahan yang diwariskan kepada mereka. Ke-12 marga ini adalah para mantan budak kepercayaan Cornelis Chastelein yang dikumpulkannya sewaktu ia masih bekerja untuk VOC dan didapatinya dari beberapa pulau di Indonesia. Dalam perjalanan pengelolaan dan pengembangan tanah yang diwariskan, salah satu marga menghilang.[4]
Menurut ketua Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) Valentino Jonathans, garis keturunan orang Depok asli ialah patrilineal, dalam artian marga turun dari laki-laki. Oleh karena itu, satu marga yang hilang dikarenakan tak mendapati kembali keturunan laki-laki. Depok Lama kini dianggap sebagian masyarakat sebagai pusat apabila ingin mengetahui sejarah dari Kota Depok.[5]
Belanda Depok ini memiliki 12 marga keluarga, yang menyandang nama keluarga Loen, Leanders, Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Laurens, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh. Menurut Dr. Van Fraassen, seorang ahli antropologi dan guru besar di Universitas Leiden, terdapat kemungkinan yang besar bahwa nama-nama tersebut adalah nama tambahan baptisan mereka yang baru berdasarkan rekomendasi Cornelis Chastelein, setelah mereka menganut agama Kristen dan dituju sebagai para calon penerima hak waris dari Cornelis Chastelein. Sayangnya, kini hanya tersisa 11 marga saja karena marga Zadokh telah habis. Hal ini karena keturunan penerusnya kebanyakan adalah perempuan.
Era Modern
75 persen dari bangunan kolonial Depok telah dihancurkan untuk membangun hunian dan bangunan komersial. Oleh karena itu, Alqiz Lukman, Ghilman Assilmi, dan Ide Nada Imandiharja membuat situs web Depok Lama Project untuk melestarikan sejarah Depok Lama secara digital, yang terdiri dari rekaman audio dari wawancara dengan YLCC, tetua lokal, keturunan budak Chastelein, ahli heritage, dan sejarawan disertai foto-foto.[6]
Gereja Immanuel Depok
Gereja yang tertua di Depok Lama yang berdiri tahun 1713 adalah Gereja GPIB Immanuel Depok yang bertempat di Jalan Pemuda.[7] Gereja ini dibangun beberapa tahun setelah kedatangan Cornelis Chastelein dan para pekerjanya di Depok Lama. Pada mulanya, gereja di Depok Lama ini dibangun secara sederhana, terbuat dari kayu dan bambu.
Namun akibat pelapukan yang terjadi pada tahun 1715 dan 1792, akhirnya gereja ini direnovasi dua kali. Pada tahun 1834, sebuah gempa bumi besar terjadi meruntuhkan seluruh bangunan sehingga akhirnya gereja ini didirikan kembali dengan komponen batu-batuan pada tahun 1854. Seiring berjalannya waktu, gereja ini mengalami pemugaran kembali pada tahun 1980 dan 1998 untuk menjadikan bangunan ini lebih luas dan bergaya modern.[8]
Lonceng Depok
Di kalangan marga asli Depok, Lonceng Depok lebih dikenal sebagai bel gereja. Lonceng itu digunakan sebagai tanda dimulainya ibadah di Gereja GPIB Immanuel Depok, lonceng ini juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mengabarkan berita duka, alias berfungsi sebagai lonceng kematian.
Menurut penuturan Reinhalt Leander, lonceng ini telah berfungsi melampaui 4 generasi lebih dan hingga sekarang masih dibunyikan, jika salah satu anggota jemaat dari Gereja GPIB Immanuel meninggal dunia. Lonceng ini diindikasi oleh Gerrit Schimel telah ada sejak masa kehidupan Cornelis Chastelein dan para pejabat Belanda lainnya yang menetap di Depok Lama.
Namun lonceng bersejarah yang asli ini hilang pada peristiwa Gedoran Depok.[9]
"Banyak yang hilang. Peristiwa Gedoran Depok, hampir serupa dengan Peristiwa Mei '98. Barang berharga banyak yang hilang, salah satunya lonceng bersejarah," kata Ferdy Jonathans di kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein.
Selain lonceng, tambah Ferdy, masih banyak lagi yang hilang usai peristiwa tersebut.
"Ada pula uang, emas, perak, peralatan pecah-belah, perangkat gamelan, dan lainnya," tambahnya.
Terhadap peristiwa tersebut, Ferdy katakan sangat memakluminya. Selain itu, dirinya dan beberapa marga lainnya juga sudah memaafkan segala perbuatan atas peristiwa memilukan itu.
"Kami sangat memakluminya. Pada saat itu, keadaan masyarakat luas sedang susah. Sedangkan kami, hidup serba berkecukupan. Kami telah memaafkan apa yang sudah terjadi. Namun, kami tidak akan pernah melupakan peristiwa memilukan itu", katanya lirih
Lihat pula
Referensi
Pranala luar