60% atau sekitar 12.000–18.000 total jumlah terbunuh Tidak diketahui jumlah orang yang ditawan Sejumlah kapal hancur atau ditangkap
Tidak diketahui
Lebih dari 5.000 tewas dan tenggelam
>100 perahu direbut
Serbuan Yuan-Mongol ke Jawa adalah invasi Kekaisaran Tiongkok-Mongol di bawah Dinasti Yuan ke pulau Jawa. Pada tahun 1293, Kubilai Khan, Khan AgungKekaisaran Mongol dan pendiri Dinasti Yuan, mengirim invasi besar ke pulau Jawa dengan 20.000[3] sampai 30.000 tentara.[4] Serbuan ini merupakan ekspedisi untuk menghukum Raja Kertanagara dari Kerajaan Singhasari, yang menolak membayar upeti dan bahkan melukai utusan Mongol. Namun, di sela tahun-tahun antara penolakan utusan dan kedatangan ekspedisi Mongol ke Jawa, Kertanegara telah terbunuh oleh Jayakatwang dan Singhasari direbut oleh Kadiri. Dengan demikian, pasukan ekspedisi Yuan diarahkan untuk mendapatkan penyerahan negara penerusnya, Kediri, sebagai gantinya. Setelah kampanye sengit, Kadiri menyerah, tetapi pasukan Yuan diserang oleh bekas sekutu mereka, Majapahit, di bawah Raden Wijaya. Pada akhirnya invasi berakhir dengan kegagalan Dinasti Yuan dan kemenangan mutlak bagi Majapahit.
Latar belakang
Kubilai Khan, penguasa Kekaisaran Mongol dan kaisarDinasti Yuan, mengirim utusan ke banyak negara untuk meminta mereka tunduk di bawah kekuasaannya dan membayar upeti. Men Shi atau Meng-qi (孟琪), salah satu utusannya yang dikirim ke Jawa, tidak diterima dengan baik di sana.[5]
Penguasa Kerajaan Singhasari, Kertanagara, tidak bersedia tunduk kepada Mongol. Kertanegara lalu mengecap wajah sang utusan dengan besi panas seperti yang biasa dilakukan terhadap seorang pencuri, memotong telinganya, dan mengusirnya secara kasar. Kubilai Khan sangat terkejut dengan kejadian tersebut. Pada tahun 1292, dia pun memerintahkan dikirimkannya ekspedisi militer untuk menghukum Kertanegara, yang dia sebut sebagai orang barbar. Serangan ini juga memiliki tujuan lain. Menurut Kubilai khan sendiri, jika pasukan Mongol mampu mengalahkan Jawa, negara-negara lain yang ada di sekitarnya akan tunduk dengan sendirinya.[6] Dengan begitu, Dinasti Yuan Mongol dapat menguasai jalur perdagangan laut Asia, karena posisi geografis Nusantara yang strategis dalam perdagangan.[7]
Berdasarkan naskah Yuan Shi (Sejarah Dinasti Yuan), 20.000–30.000 prajurit dikumpulkan dari Fujian, Jiangxi dan Huguang di Tiongkok selatan, serta menunjuk Komandan Sayap Kanan dan Sayap Kiri serta empat Komandan Sepuluh Ribu; juga dengan 500[8]–1.000 kapal dan melengkapinya dengan perbekalan untuk satu tahun bersama biaya 40.000 batang perak, 10 lencana Harimau, 40 batang emas, 100 lencana perak, 100 gulungan sutra, yang akan diberikan sebagai penghargaan bagi siapapun prajurit yang berjasa dalam perang
.[9][10] Pemimpinnya adalah Shi-bi, orang Mongol, Ike Mese, orang Uyghur yang berpengalaman dalam pelayaran ke luar negeri, dan Gaoxing, orang Tiongkok.[11]
Sebelum keberangkatan ke Jawa, seluruh pasukan mendengarkan pidato dari Kubilai Khan sebagai pemimpin komandan tertinggi dan mendapat penjelasan bahwa mereka diperintah menyerbu Jawa karena penghinaan utusan khususnya terdahulu, Meng-Shi, yang dilukai wajahnya oleh Raja Jawa yakni (Ka-ta-ma-ka-la) merupakan ejaan Tiongkok untuk Kertanagara.
Sementara itu, setelah mengalahkan Malayu Dharmasraya di Sumatra pada tahun 1290, Singhasari menjadi kerajaan yang paling kuat di wilayah tersebut. Kertanegara mengirimkan pasukan besar-besaran ke Sumatra dalam kampanye Pamalayu ini. Namun, memanfaatkan kesempatan karena kurangnya tentara yang menjaga ibu kota, pada tahun 1292 Jayakatwang, Adipati Kediri (Gelang-gelang), negara bawahan Singhasari, memberontak melawan Kertanegara. Pemberontakan Jayakatwang dibantu oleh mantan sahabat Kertanegara, Banyak Wide (juga dikenal dengan gelarnya Arya Wiraraja), yang diam-diam membenci Kertanegara sejak ia dicopot dari jabatan menteri/demang Singhasari dan dikirim ke Madura sebagai gubernur di Sumenep.[12]:199[13]
Pasukan Kadiri (Gelang-gelang) menyerang Singhasari serentak dari sayap utara dan selatan. Raja hanya memperhatikan invasi dari utara dan mengutus menantunya, Nararya Sanggramawijaya (Raden Wijaya), ke utara untuk menumpas pemberontakan. Serangan utara berhasil dikalahkan, tetapi serangan selatan di bawah komando Kebo Mundarang tetap tidak terdeteksi hingga mencapai dan menjarah ibu kota Kutaraja yang tidak siap.[14] Jayakatwang menghianati dan membunuh Kertanegara saat upacara sakral Tantra saat meminum arak, sehingga mengakhiri kerajaan Singhasari.[15] Kematian Kertanegara dan jatuhnya Singhasari tercatat dalam prasasti Gajah Mada pada bulan Jyesta tahun 1214 Saka, yang diartikan sebagai April–Mei 1292 atau antara tanggal 18 Mei hingga 15 Juni 1292.[16]
Mengetahui jatuhnya ibu kota Singhasari ke tangan pemberontak Kediri, Raden Wijaya berusaha kembali dan mempertahankan Singhasari namun gagal. Ia dan ketiga rekannya, Rangga Lawe, Sora, dan Nambi mengasingkan diri ke Madura di bawah perlindungan adipati Arya Wiraraja, yang memihak Jayakatwang. Menantu Kertanegara, Raden Wijaya, tunduk kepada Kadiri, dan diampuni oleh Jayakatwang dengan bantuan wali dari Madura, Arya Wiraraja. Raden Wijaya kemudian diberi tanah hutan di Tarik. Dia membuka hutan itu dan mendirikan sebuah desa di sana. Desa itu diberi nama Majapahit, yang diambil dari nama buah maja di sana yang memiliki rasa yang pahit, sehingga jadilah namanya Majapahit.[17]
Tentara
Patung-patung kavaleri dinasti Yuan, dari Xi'an, Provinsi Shaanxi, dikoleksi museum Xi'an.
Sebuah mainan "penunggang Tartar" dari Besuki, Jawa Timur.
Ada 5.000 orang yang dikomandani oleh Shi Bi, 2.000 dari pasukan di Provinsi Fujian, dan tentara dari provinsi Jiangxi, Fujian, dan Huguang.[18] Perlengkapan pribadi selama ekspedisi tidak dicatat secara eksplisit. Jika peralatannya mirip dengan invasi Mongol ke Jepang, para prajurit mengenakan helm baja ringan dan baju zirah kulit. Senjata yang dibawa termasuk tombak, kapak tempur, busur refleks, roket, dan tiě pào (鐵炮 — granat yang diluncurkan dengan ketapel). Tentara Mongolia juga membawa kuda.[19]Yuan Shi juga menyebutkan meriam (Bahasa Tiongkok: 炮—"Pào").[20]:10 Dari catatan Ibnu Battuta, kapal China membawa penembak/pelempar naphtha.[21] Jenis kapal yang digunakan tidak disebutkan dalam Yuan Shi, tetapi pada umumnya jung China sebelum tahun 1500 berukuran panjang 20–30 m.[22] Worcester memperkirakan kapal jung terbesar Dinasti Yuan memiliki lebar 36 kaki (10,97 m) dan panjang lebih dari 100 kaki (30,48 m).[23]:22 Dengan perbandingan jumlah kapal dan jumlah prajurit, setiap kapal kemungkinan dapat membawa paling banyak 30 atau 31 orang.[24] David Bade memperkirakan kapasitas 20 sampai 50 orang per kapal.[21]
Yuan Shi mencatat bahwa tentara Jawa memiliki lebih dari 100.000 orang. Ini adalah angka yang dilebih-lebihkan, karena medan lokal menentukan bahwa mereka tidak dapat ditempatkan di medan perang pada saat yang sama. Perkiraan modern menunjukkan bahwa kekuatan tentara Jawa adalah sebanding dengan tentara Mongol, sekitar 20,000 sampai 30,000 orang.[25][26][Catatan 1] Menurut catatan China, Jawa sudah memiliki standing army (tentara permanen) yang merupakan sebuah pencapaian yang hanya bisa dicapai segelintir kerajaan Asia Tenggara. Tentara ini berjumlah sekitar 30.000 orang yang digaji dengan emas, dicatat seawal tahun 1225 pada Zhu Fan Zhi.[26][28][29]:467
Pasukan militer di berbagai bagian Asia Tenggara menggunakan pakaian pelindung ringan. Seperti umumnya di Asia Tenggara, sebagian besar pasukan Jawa terdiri dari rakyat jelata yang dimobilisasi sementara (levy atau wajib militer) dari petani yang dipimpin oleh prajurit dan kasta bangsawan. "Tentara petani" biasanya bertelanjang dada mengenakan sarung, bersenjatakan tombak, pedang pendek, atau busur dan anak panah.[30] Infanteri mereka (prajurit profesional, bukan rakyat wajib militer) mengenakan zirah sisik yang disebut siping-siping, mungkin terbuat dari kuningan. Prajurit berpangkat tinggi mengenakan pelindung dada logam yang disebut kawaca.[31] Namun, angkatan laut Jawa lebih maju daripada Tiongkok. Jung jawa memiliki panjang lebih dari 69 hingga 80 meter (226 hingga 262 kaki), mampu membawa 500–1000 orang. Kapal ini dibangun dengan beberapa papan tebal yang membuat tembakan artileri tidak mampu merusaknya.[32]
Invasi
Perintah untuk menaklukkan Jawa dikeluarkan oleh Khan pada Maret 1292.[33] Pasukan Yuan berangkat dari Quanzhou bagian selatan,[34] lalu menyusuri pesisir Dai Viet dan Champa untuk menuju sasaran utama mereka. Negara-negara kecil di Malaya dan Sumatra tunduk dan mengirim utusan kepada mereka, dan komandan Yuan meninggalkan beberapa darughachi di sana. Diketahui bahwa pasukan Yuan sempat berhenti di Ko-lan (pulau Gelam) pada 25 Februari 1293[Catatan 2] untuk merencanakan penyerangan mereka. Pada 15 Maret 1293, Ike Mese dan salah seorang komandan bawahannya berangkat terlebih dahulu untuk membawa perintah Kaisar ke Jawa.
Pasukan utama lalu berlayar ke Karimunjawa, dan dari sana berlayar ke Tuban. Berdasarkan Kidung Panji Wijayakrama, pasukan Yuan kemungkinan sempat menjarah desa Tuban dalam perjalanan mereka.[35] Setelah itu, para komandan memutuskan untuk membagi pasukan menjadi dua. Pasukan pertama akan turun ke darat, yang kedua akan mengikuti mereka menggunakan perahu. Shi Bi berlayar ke muara Sedayu, dan dari sana pergi ke sungai kecil bernama Kali Mas (yang merupakan percabangan sungai Brantas). Pasukan darat di bawah Gao Xing dan Ike Mese, yang terdiri dari kavaleri dan infantri, pergi ke Du-Bing-Zu. Tiga komandan berlayar menggunakan kapal cepat dari Sedayu ke jembatan terapung Majapahit dan kemudian bergabung dengan pasukan utama dalam perjalanan ke Kali Mas.[36][37]
Ketika pasukan Yuan tiba di Jawa, Raden Wijaya mengirim seorang utusan dari Madura dan memberitahu mereka bahwa Kertanagara telah tewas dalam kudeta istana dan perampas takhtanya, Jayakatwang, saat ini memerintah di tempatnya.[38] Wijaya berusaha bersekutu dengan mereka untuk melawan Jayakatwang. Dia memberi pasukan Mongol peta daerah Kalang (Gelang-gelang, nama lain Kediri). Berdasarkan, Yuan-shi, Raden Wijaya pada awalnya sudah berusaha menyerang Jayakatwang sendirian namun tidak berhasil, sampai kemudian dia mendengar tentang kedatangan pasukan Yuan. Raden Wijaya lalu meminta bantuan mereka. Sebagai balasannya, Raden Wijaya berjanji akan tunduk pada kekuasaan Yuan,[39][40] dan juga menjanjikan menghadiahi 2 orang putri jika tentara mereka berhasil menghancurkan Kediri.[41]
Pada tanggal 22 Maret, semua pasukan telah berkumpul di Kali Mas. Di hulu sungai terdapat istana raja Tumapel (Singhasari). Sungai ini adalah jalan masuk ke Jawa, dan di sini mereka memutuskan untuk bertempur. Seorang menteri Jawa memblokir sungai dengan menggunakan perahu. Para komandan Yuan kemudian membuat perkemahan berbentuk bulan sabit di tepi sungai. Mereka menginstruksikan pasukan air, kavaleri dan infantri untuk bergerak maju bersama, yang kemudian berhasil menakuti menteri Jawa. Sang menteri meninggalkan perahunya dan melarikan diri di malam hari. Lebih dari 100 perahu besar dengan kepala setan di haluan direbut oleh pasukan Yuan.[40][42]
Setelah itu, sebagian besar tentara ditugaskan untuk menjaga muara Kali Mas, sementara pasukan utama bergerak maju. Utusan Raden Wijaya mengatakan bahwa raja Kediri telah mengejarnya ke Majapahit dan memohon pasukan Yuan untuk melindunginya. Karena posisi tentara Kediri tidak dapat ditentukan, tentara Yuan kembali ke Kali Mas. Setelah mendengar informasi dari Ike Mese bahwa pasukan musuh akan tiba malam itu, tentara Yuan berangkat ke Majapahit.[42][40] Pada 14 April, pasukan Kediri tiba dari 3 arah untuk menyerang Wijaya. Pada pagi hari tanggal 15, Ike Mese memimpin pasukannya untuk menyerang musuh di barat daya, tetapi tidak dapat menemukan mereka. Gao Xing bertempur melawan musuh di arah tenggara, akhirnya memaksa mereka melarikan diri ke pegunungan. Menjelang tengah hari, pasukan musuh datang dari tenggara. Gao Xing menyerang lagi dan berhasil mengalahkan mereka di sore hari.[42][43]
Pada 22 April, pasukan dibagi menjadi 3 untuk menyerang Kediri, dan disepakati bahwa pada tanggal 26 mereka akan bertemu di Daha untuk memulai serangan setelah mendengarkan tembakan pao (meriam). Pasukan pertama berlayar menyusuri sungai, pasukan kedua yang dipimpin oleh Ike Mese berjalan di tepi sungai bagian timur sementara pasukan ketiga yang dipimpin oleh Gao Xing berjalan di tepi sungai barat. Raden Wijaya dan pasukannya berjalan di belakang.[44][43]
Tentara tiba di Daha pada 26 April. Di sana, pangeran Kediri mempertahankan kotanya dengan pasukannya. Pertempuran berlangsung dari pukul 6.00 hingga pukul 14.00. Setelah menyerang 3 kali, pasukan Kediri dapat dikalahkan dan melarikan diri. Sementara pasukan Mongol dan Kediri sedang bertempur, pasukan Majapahit menyerang kota dari arah lain[Catatan 3] dan dengan cepat mengalahkan penjaganya. Raden Wijaya pergi ke istana dan membebaskan sang putri yang telah ditawan oleh Jayakatwang dan kedua dayangnya.[47] Beberapa ribu pasukan Kediri mencoba menyeberangi sungai dan tenggelam, sementara 5.000 tewas dalam pertempuran. Raja Jayakatwang mundur ke bentengnya, dan menemukan bahwa istananya telah dibakar. Pasukan Mongol kemudian mengepung kota Daha dan meminta Jayakatwang menyerah. Pada sore hari, Jayakatwang menyatakan takluk kepada bangsa Mongol. Tentara Yuan menangkap Jayakatwang, putranya, istrinya dan semua pejabatnya, dan merampas harta yang bernilai 50 juta yuan.[48][43] Kebo Mundarang yang bertempur di selatan dikalahkan dan melarikan diri, tetapi akhirnya ditangkap oleh Sora. Dia dibawa ke sebuah dataran dan dieksekusi.[49][Catatan 4]
Setelah Jayakatwang dikalahkan oleh pasukan Mongol, Raden Wijaya kembali ke Majapahit, berpura-pura hendak menyiapkan pembayaran upeti untuk Mongol, dan meninggalkan sekutu Mongolnya berpesta merayakan kemenangan mereka. Shi-bi dan Ike Mese mengizinkan Raden Wijaya kembali ke daerahnya untuk menyiapkan upeti serta surat penyerahan diri, namun Gaoxing tidak menyukai hal ini dan dia memperingatkan dua komandan lainnya.[43] Raden Wijaya kemudian meminta sebagian pasukan Yuan untuk datang ke negaranya tanpa membawa senjata, karena kedua putri yang dijanjikan tidak tahan melihat senjata-senjata.[51][52]
Akhirnya, dua ratus prajurit Yuan yang tak bersenjata dan dipimpin oleh dua orang perwira dikirim ke negara Raden Wijaya. Akan tetapi pada tanggal 26 Mei Raden Wijaya dengan cepat memobilisasi pasukannya dan menyergap rombongan pasukan Yuan. Setelah itu Raden Wijaya menggerakkan pasukannya menuju kamp utama pasukan Yuan dan melancarkan serangan tiba-tiba. Dia berhasil membunuh banyak prajurit Yuan sedangkan sisanya berlari kembali ke kapal mereka. Shi-bi tertinggal dan terputus dari sisa pasukannya, dan terpaksa melanjutkan pelarian 123 km[Catatan 5] mereka ke arah timur dengan jalur sebelumnya. Raden Wijaya tidak menyerang Mongol secara langsung, sebaliknya ia menggunakan semua taktik yang memungkinkan untuk mengacaukan dan mengurangi pasukan musuh sedikit demi sedikit.[53] Selama pelarian, tentara Yuan kehilangan sebagian rampasan yang ditangkap sebelumnya.[54][55]
Pasukan Yuan mundur secara kacau karena angin muson yang dapat membawa mereka pulang akan segera berakhir, sehingga mereka terancam terjebak di pulau Jawa untuk enam bulan berikutnya. Jayakatwang menulis Kidung Wukir Polaman selama penahanan di Jung Galuh,[56] tetapi orang Mongol membunuhnya dan putranya sebelum mereka berangkat.[57] Mereka berlayar pada 31 Mei ke Quanzhou selama 68 hari.[58] Prasasti Kudadu mungkin mengisyaratkan adanya pertempuran antara armada Jawa yang dipimpin oleh rakryan mantri Arya Adikara[Catatan 6] dengan armada Mongol-Cina.[60]Kidung Panji Wijayakrama menunjukkan bahwa kapal-kapal Mongol dihancurkan atau direbut.[61] Akibat dari serangan itu, pasukan Shi Bi kehilangan lebih dari 3.000 orang.[2] Penelitian modern oleh Nugroho memperkirakan 60% tentara Yuan terbunuh[62] (total 12.000–18.000 orang terbunuh), dengan jumlah orang yang ditawan tidak diketahui dan sejumlah kapal hancur dan ditangkap.[34][63] Pada awal Agustus 1293, pasukan mereka tiba di Cina. Mereka membawa anak-anak Jayakatwang dan beberapa pejabatnya, yang berjumlah lebih dari 100. Mereka juga memperoleh peta negara, catatan populasi dan sebuah surat dengan huruf emas emas yang dituliskan oleh raja Muli/Buli (mungkin Bali). Harta rampasan yang ditangkap berupa barang berharga, kemenyan, parfum, dan tekstil; dihitung bernilai lebih dari 500.000 tahil perak.[58]
Akibat
Meriam tangan:
Meriam tangan perunggu dinasti Yuan, Xi'an, China.
Cetbang berjenis meriam tangan, ditemukan di sungai Brantas, Jombang.
Tiga jenderal Yuan, kehilangan semangat karena terusir dari tanah Jawa dan kehilangan banyak prajurit elit, akhirnya kembali ke Tiongkok bersama sisa pasukan yang selamat. Mengetahui bahwa pasukannya gagal, Kubilai Khan menjadi sangat marah. Dia menghukum Shi-bi dengan 70 cambukan dan menyita sepertiga harta kekayaannya karena membiarkan bencana itu terjadi. Ike Mese juga dihukum dan sepertiga harta kekayaannya disita. Sementara Gaoxing mengalami nasib yang berbeda, dia dihadiahi 50 tahil emas karena melindungi pasukan dari kehancuran total. Di kemudian hari, Shi-bi dan Ike Mese dimaafkan, dan kaisar mengembalikan reputasi serta harta kekayaan mereka.[64]
Kegagalan ini sekaligus merupakan ekspedisi militer terakhir Kubilai Khan. Sebaliknya, Majapahit kemudian menjadi negara paling kuat pada masanya di Nusantara.[65] Kublai khan memanggil menterinya, Liu Guojie, untuk mempersiapkan invasi lain ke Jawa dengan kekuatan 100.000 tentara, tetapi rencana ini dibatalkan setelah kematian Kublai Khan.[66] Akan tetapi, tokoh lain yang melewati Nusantara, yaitu Ibn Battuta dan Odoric dari Pordenone, melaporkan bahwa Jawa diserang beberapa kali oleh Mongol, tetapi selalu berhasil digagalkan.[67]:885[68][69] Selain itu, prasati Gunung Butak (tahun 1294 M) sepertinya menyebutkan bahwa Aria Adikara berhasil mencegat invasi laut Dinasti Yuan selanjutnya dan mengalahkannya, sebelum mereka sampai di Jawa.[60]
Serangan ini memperkenalkan senjata mesiu ke kepulauan Nusantara,[70]:245 yang mana Mahapatih Gajah Mada akan manfaatkan dalam armada angkatan laut Jawa selama penaklukan Majapahit.[71]:57 Setelah invasi ini, teknik perkapalan Cina masuk dan diserap pembuat kapal Jawa.[72]:18[73]:61-62 Muncullah jenis jung baru, yang disebut jong hibrida Cina-Asia tenggara, mereka mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.[74]:268, 272-273[75]:270
Peninggalan
Pasukan Mongol meninggalkan 2 prasasti di pulau Serutu pada 25 Februari 1293. Prasasti itu disebut prasasti Pasir Kapal dan prasasti Pasir Cina.[76]
Catatan
^Menurut Kidung Harsawijaya, pada saat penyerangan ke Singhasari, pasukan Daha yang menyerang dari arah selatan berjumlah 10.000 orang; sementara pasukan utara tidak disebutkan. Pasukan Singhasari yang menyerang Malayu dan kemudian memihak Wijaya sebelum berdirinya pemukiman Majapahit juga berjumlah 10.000 orang. Ini menunjuk pada kemungkinan jumlah 20.000 orang; belum termasuk jumlah yang tewas dalam kejatuhan Singhasari dan ekspedisi Pamalayu dan jumlah pasukan baru yang datang dari Madura di bawah Arya Wiraraja.[27]
^Tanggal di artikel ini diambil dari Lo 2012, hlm. 303-308 dan Hung 2022, hlm. 7.
^Dari selatan menurut Kidung Panji Wijayakrama, atau timur menurut pemberitaan Pararaton.[45] Namun demikian Kidung Panji Wijayakrama mengindikasikan adanya pertempuran di timur juga.[46]
^Menurut Pararaton, Kebo Mundarang bertempur di timur. Ia dikejar oleh Rangga Lawe ke suatu tempat bernama lembah Trinipanti dan dibunuh.[50]
^Jarak ini dicatat sepanjang 300 li dalam laporan Shi-bi, Sejarah Dinasti Yuan buku 162. Lihat Groeneveldt 1876, hlm. 27.
^Nama lain Banyak Wide, juga dikenal dengan nama Arya Wiraraja.[59]
^Worcester, G. R. G. (1947). The Junks and Sampans of the Yangtze, A Study in Chinese Nautical Research, Volume I: Introduction; and Craft of the Estuary and Shanghai Area. Shanghai: Order of the Inspector General of Customs.
^Miksic, John N.; Goh, Geok Yian (2017). Ancient Southeast Asia. London: Routledge.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Oktorino, Nino (2020). Hikayat Majapahit - Kebangkitan dan Keruntuhan Kerajaan Terbesar di Nusantara. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 111–113.
^Manguin, Pierre-Yves (1976). "L'Artillerie legere nousantarienne: A propos de six canons conserves dans des collections portugaises". Arts Asiatiques. 32: 233–268.
^Pramono, Djoko (2005). Budaya Bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN9789792213768.
^Lombard, Denys (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Alih bahasa Indonesia dari Lombard, Denys (1990). Le carrefour javanais. Essai d'histoire globale (The Javanese Crossroads: Towards a Global History) vol. 2. Paris: Éditions de l'École des Hautes Études en Sciences Sociales.
Bade, David W. (2002), Khubilai Khan and the Beautiful Princess of Tumapel: the Mongols Between History and Literature in Java, Ulaanbaatar: A. Chuluunbat
Bade, David W. (2013), Of Palm Wine, Women and War: The Mongolian Naval Expedition to Java in the 13th Century, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies
Bowring, Philip (2019), Empire of the Winds: The Global Role of Asia's Great Archipelago, London, New York: I.B. Tauris & Co. Ltd, ISBN9781788314466
Burnet, Ian (2015), Archipelago: A Journey Across Indonesia, Rosenberg Publishing
Hung, Hsiao-chun; Hartatik; Ma'rifat, Tisna Arif; Simanjuntak, Truman (2022), "Mongol fleet on the way to Java: First archaeological remains from the Karimata Strait in Indonesia", Archaeological Research in Asia, 29: 1–10
Jákl, Jiří (2014), Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry, The University of Queensland
Levathes, Louise (1994), When China Ruled the Seas, New York: Simon & Schuster, hlm. 54, ISBN0-671-70158-4, The ambitious khan [Kublai Khan] also sent fleets into the South China Seas to attack Annam and Java, whose leaders both briefly acknowledged the suzerainty of the dragon throne
Lo, Jung-pang (2012), Elleman, Bruce A., ed., China as Sea Power 1127-1368: A Preliminary Survey of the Maritime Expansion and Naval Exploits of the Chinese People During the Southern Song and Yuan Periods, Singapore: NUS PressParameter |orig-date= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Man, John (2007), Kublai Khan: The Mongol king who remade China, London: Bantam Books, ISBN978-0-553-81718-8
Miksic, John Norman (2013), Singapore and the Silk Road of the Sea, 1300–1800, Singapore: NUS Press, ISBN978-9971-69-558-3
Muljana, Raden Benedictus Slamet (2005), Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit), Yogyakarta: LKiS Pelangi AksaraParameter |orig-date= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)