Hutan suaka alamHutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistem, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.[1] Dalam UU Republik Indonesia no 41 tahun 1999 tentang kehutanan, kawasan hutan suaka alam masuk ke dalam kategori hutan konservasi bersama dengan kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru.[2] Berdasarkan klasifikasi lahan oleh USDA berdasarkan kemampuan lahan, mengklasifikasikan hutan suaka alam berada pada kelas I bersama dengan lahan pertanian dan kehutanan (termasuk lahan penggembalaan dan hutan penghasil kayu). Lahan pada kelas ini tidak memiliki atau memiliki sedikit sekali pembatas yang mendefinisikan wilayah tersebut. Selain itu, permukaan lahan ini umumnya datar dan hanya memiliki sedikit ancaman erosi, solum tanah dalam, drainase yang baik, memiiki kapasitas menahan air yang baik, dan responsif terhadap input pertanian.[3][4] Di China, hutan suaka alam merupakan satu-satunya jenis kawasan konservasi. Meski demikian, luas kawasan suaka alam di China terus berkembang. Kawasan suaka alam di China dibangun pertama kali pada tahun 1960an dengan luas awal hanya 3 persen dari luas total daratan China. Luasnya terus meningkat dan tahun 2005 menjadi 14.99 persen.[5] Termasuk ke dalam kategori hutan suaka alam adalah:[6]
Cagar biosfer di daratan biasanya termasuk hutan suaka alam. PermasalahanPertanian berpindah yang dilakukan oleh petani di Kalimantan dan Nusa Tenggara pada awalnya hanya menyentuh hutan sekunder, yaitu hutan yang tumbuh kembali setelah ditinggalkan petani sebelumnya. Hutan sekunder cenderung lebih mudah dibuka karena vegetasinya tidak lebat. Namun seiring dengan meningkatnya jumlah petani, maka hutan lindung dan suaka alam menjadi tujuan dari petani yang mempraktikan sistem budi daya tersebut. Hingga akhir tahun 1990an, 39.7% luas lahan pertanian berpindah berada dalam kawasan hutan lindung dan suaka alam.[7] Pengelolaan oleh masyarakatDi Kalimantan Timur, masyarakat Dayak dibantu oleh LIPI dan WWF melobi pemerintah Indonesia untuk memberikan penguasaan hutan kepada masyarakat dan membangun sebuah model pengelolaan taman nasional secara kolaboratif. Sebelum tahun 1980, kawasan seluas 1.4 juta hektare tersebut sebelumnya merupakan kawasan suaka alam di mana aktivitas manusia tidak diperkenankan di dalamnya. Kini hutan tersebut dikelola oleh masyarakat Dayak. Mereka juga ikut memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.[5] Referensi
|