Dia lahir di Samarinda pada tahun 12 April 1919. Kedua orang tuanya bernama Haji Gusti Abdul Syukur dan Hajjah Mastora, dimana dia merupakan keturunan dari Pangeran Antasari.[1][2]
Dalam keluarganya, dia adalah anak kedua dari 11 bersaudara yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius. Dia menempuh pendidikan dasar di sekolah rakyat (volkschool) kota setempat. Setelah lulus pada 1931, pemuda ini meneruskan belajar di Madrasah Tsanawiyah asy-Syafi’iyah Samarinda selama dua tahun. Selanjutnya, ia menuntut ilmu di Madrasah Aliyah Darussalam Martapura hingga tahun 1936.[2]
Selama beberapa tahun, Abdul Muis muda sempat mengamalkan ilmunya di Samarinda. Pada 1938, ia mulai merantau ke luar Kalimantan. Ia meneruskan studinya ke Kulliyatul Muallimin Gontor, Ponorogo. Setelah itu, ia kemudian pindah ke pesantren tertua di Solo, Jawa Tengah, yakni Pondok Jamsaren Solo. Lembaga tersebut didirikan oleh KH Idris Jamsari pada 1750.[2]
Selain mempelajari ilmu agama di madrasah dan pesantren, Abdul Muis juga sempat menempuh pendidikan tinggi di Akademi Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dari 1947 sampai 1948.[2]
Kiprah
Muhammadiyah
Keterlibatan Haji Gusti Abdul Muis dengan Muhammadiyah untuk pertama kalinya terjadi saat masih berusia 13 tahun. Kala itu, ia bergabung dengan lini kepemudaan di ormas tersebut. Tidak menunggu waktu lama, dia merasa nyaman dengan menjadi aktivis persyarikatan. Dalam pandangannya, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu selaras dengan visinya tentang kemajuan Islam.[2]
Sebelum menetap di Banjarmasin, H Abdul Muis telah melakukan dakwah keliling di berbagai kota. Ia giat mengisi ceramah, khutbah, serta kuliah subuh di sejumlah masjid. Salah satu tempat dakwahnya ialah Masjid Al-Jihad di Cempaka dan Masjid Ar-Rahman, Kampung Melayu. Barulah pada akhirnya, ia bertempat tinggal di Kota Seribu Sungai.[2]
Sebagai kader Muhammadiyah, lapangan dakwahnya tidak hanya di majelis-majelis taklim, tetapi juga sekolah dan kampus. Dirinya bahkan ikut merintis pendirian Sekolah Wustho Zu’ama Muhammadiyah di Karang Intan, Kabupaten Banjar. Hingga datangnya balatentara Jepang, ia mengajar di lembaga tersebut sejak tahun 1940.[2]
Sebagai kader Muhammadiyah, lapangan dakwahnya tidak hanya di majelis-majelis taklim, tetapi juga sekolah dan kampus.
Perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia
Ketika Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Banyak tokoh daerah yang ikut mengisi kemerdekaan dengan berperan dalam politik bernegara, termasuk Haji Abdul Muis yang bergabung dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 1945.[1]
Ketika Netherlands Indies Civil Administration (NICA) mulai menyerang melakukan agresinya, pada tahun 1946, dia diangkat menjadi staf Dewan Kelaskaran Pusat di Jakarta. Beberapa waktu kemudian dia kembali ke daerah asalnya dan menjadi pimpinan Laskar Pusat Pertahanan Kalimantan.[1]
Pada Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Situasi perlahan-lahan kembali kondusif. Di Kalimantan, Abdul Muis terus bergiat dalam berbagai aktivitas. Pada 1950, ia terpilih menjadi pimpinan Ikatan Perjuangan Kalimantan (IPK) yang berpusat di Jakarta.[1]
Politik
Masih di Ibu Kota, Haji Abdul Muis mulai bersentuhan dengan ranah politik. Sejak 1950, ia menjadi legislator Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Posisi itu dipegangnya hingga puncak masa Demokrasi Terpimpin, tepatnya pada 1960.[2]
Pada 1953, alim dari Kalimantan itu mulai bergabung dengan Partai Masyumi. Sebagai salah satu unsur Muhammadiyah, ia juga akrab dengan tokoh-tokoh dari ormas keislaman lainnya, terutama yang aktif di partai politik tersebut. Salah satunya ialah Mohammad Natsir.[2]
Seperti dijelaskan dalam buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, H Abdul Muis sangat akrab dengan Pak Natsir. Setiap kali perdana menteri RI (1950-1951) itu mengadakan perjalanan, baik resmi maupun nonresmi ke Kalimantan, ia selalu menjamunya di rumah. Begitu pula sebaliknya. Tiap bertandang ke Jakarta, ia selalu mengunjungi Pak Natsir di kediaman tokoh Persatuan Islam (Persis) itu.[2]
Pada 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terjadi di Sumatra. Oleh pemerintah pusat, gerakan itu disamakan sebagai tindakan makar. Turut serta dalam jajaran tinggi PRRI ialah sejumlah tokoh Masyumi. Setiap kali perdana menteri RI (1950-1951) itu mengadakan perjalanan, baik resmi maupun nonresmi ke Kalimantan, ia selalu menjamunya di rumah.[2]
Keadaan itu segera dimanfaatkan musuh politik partai yang berlambang bulan-sabit bintang tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai berlogo palu-arit itu membujuk Soekarno untuk mengambil tindakan tegas dan keras terhadap Masyumi. Akhirnya, pada 1960, Bung Karno mengeluarkan keputusan yang mengharuskan parpol Islam tersebut membubarkan diri. Ketika Masyumi bubar, Gusti Abdul Muis cenderung lebih mencurahkan waktunya pada dunia persyarikatan Muhammadiyah dan pendidikan.[2]
Jabatan lain
Pelbagai jabatan yang pernah didudukinya menggambarkan luasnya cakupan pergaulan sang alim. Di antaranya, ia pernah menjadi wakil ketua Badan Pengurus Besar Gerakan Indonesia di Jakarta pada 1950-1953. Namanya juga termasuk dalam jajaran Pengurus Besar Serikat Buruh Indonesia (SBI) pada 1953-1955.[2]
Dalam pindang pendidikan, Gusti Abdul Muis juga pernah menjabat sebagai Dekan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah di Banjarmasin, sekitar 1964 atau 1965. Pada 1978-1980, ia juga menjadi dosen luar biasa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari.[2]
Tidak hanya itu, H Abdul Muis juga pernah mengasuh Akademi Kulliyatul al-Muballighin dan pernah menjabat sebagai rektor pertama Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad al-Banjari, Banjarmasin. Saat menjadi rektor, ia pun aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik sebagai peserta aktif maupun narasumber.[2]
Gusti Abdul Muis dikenal dapat membawa materi tentang tasawuf, yang mana sering dibahas oleh kaum Nahdliyin di Kalimantan Selatan. Meski begitu, dia menganut konsep tawasuf akhlaki. Hal ini diperkuat dengan rekaman ceramahnya yang sering diputar di berbagai media dan disandingkan dengan pemahaman Buya Hamka terkait tasawuf.[3]
Menurutnya, kebenaran itu ditemukannya pada cara hidup ulama tasawuf yang diterapkan sesuai dengan ajaran Islam yang benar, seperti contihnya Imam al-Ghazali yang telah berhasil menyelaraskan antara ajaran tasawuf dengan syariat. Dia juga berpendapat bahwa pendapat mengenai kewajiban-kewajiban yang telah disampaikan dalam Al-Qur'an dan Hadis tidak lagi berlaku bagi orang yang memiliki kedududkan yang tinggi (contohnya wali) itu adalah hal yang tidak dibenarkan karena itu merupakan hal sesat lagi menyesatkan.[1]
Sejarah masuknya Islam di Kalsel
Suatu hari, ketika menjadi narasumber suatu forum dengan Hamka, dia berpendapat bahwa tentara Kesultanan Demak yang dikirimkan untuk membantu Pangeran Samudera yang berperang dengan Pangeran Tumenggung (paman dari Pangeran Samudera) berasal dari Tuban, Jawa Timur. Hal ini dikarenakan pada saat itu, Tuban merupakan pelabuhan milik Demak yang sangat ramai. Hal ini diperkuat dengan cerita di masa Revolusi Kemerdekaan, dimana Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan yang dipimpin oleh Hasan Basry mendapat simpati dari masyarakat Islam di Tuban.[3]
Selain itu, dia pernah bertemu dengan pemuda Banjar yang bernama Haji Siraj yang menikah dengan orang Tuban, dimana keluarga sang mempelai mengatakan bahwa mereka termasuk keluarga serumpun. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu banyak orang Tuban yang berdakwah ke daerah Banjar, dimana di antara mereka ada yang menetap di Banjar atau mereka pulang ke Banjar dengan membawa istri dari Banjar. Menurutnya, orang-orang Tuban ini merupakan prajurit Kesultanan Demak dan murid dari Sunan Bonang dan Sunan Giri.[3]
Kehidupan pribadi
Dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Gusti Norsehat saat masih menempuh masa kuliah Dari pernikahannya itu, dia dikaruniai sembilan anak (ima putra dan empat putri) dan 13 cucu.[1]
Kematian
Gusti Abdul Muis wafat pada 1 Rabiul Akhir 1413 Hijriah atau 27 September 1992 Masehi di Banjarmasin dalam usia 74 tahun. Ia meninggalkan sembilan anak dan 13 cucu. Jenazahnya dimakamkan di Kuburan Muslimin Banjarmasin.[3][4]
^ abcdBarije, Ahmad (2018). Mengenal Ulama dan Tokoh Banjar. Banjarmasin: CV Rahmat Hafiz Al Mubaraq.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)