Gregorius Budi Subanar
Pastor Gregorius Budi Subanar, SJ (lahir 2 Maret 1963) adalah rohaniawan sekaligus budayawan Indonesia.
Latar Belakang
Gregorius Budi Subanar, lahir di Yogyakarta, 2 Maret 1963. Pada tahun 1982 ia bergabung denga ordo Serikat Jesus (SJ) di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Setelah menamatkan pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Filsafat Diryarkara, Jakarta dan berkarya di Maluku, ia melanjutkan studi di Roma, Italia. Pada tahun 1996, Romo Banar (begitu panggilan sehari-harinya) memperoleh gelar Master dari Universitas. Pontifica Gregorianan dalam bidang Misiologi, dan kemudian pada tahun 2002 mendapat gelar doktor di bidang yang sama dari Universitas Gregoriana. Pendidikan terakhir ditempuhnya di Universitas Gregoriana Roma.
Romo Banar adalah dosen sekaligus Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Diarsipkan 2020-11-22 di Wayback Machine.. Ia pernah mengajar di Universitas Gadjah Mada, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Karya-karyanya dalam bentuk buku, antara lain: Kilasan Kisah Soegijapranata (2012); SOEGIJA Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan (2012); “Merapi di Mata (Pena) Rama Mangun” dalam Buku Tapak Romo Kir Semangat Budaya Punya Harga Diri (2012); “Rokok: Dunia Ajaib yang Tidak Musnah” dalam Buku Kretek Jawa Gaya Hidup Lintas Budaya (2011). Ia juga menulis novel Hilangnya Halaman Rumahku (2012). Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan seni dan budaya, ia terlibat pula dalam Jogjakarta Asian Film Festival serta Yayasan Masyarakat Karawitan Jawa[1]
Pemikiran
Pemikiran dan gagasan-gagasan G.Budi Subanar, SJ tercermin dalam karya-karyanya antara lain:
- Soegija, si anak Betlehem van Java: biografi Mgr. Albertus Soegijapranata, Kilasan kisah Soegijapranata, Sugiyopranoto: Biography of Albertus Sugijopranoto, Indonesian Catholic priest and a nationalist. Hal yang hendak diangkat oleh Romo Banar dalam karya-karyanya yang mengusung kisah hidup seorang Katolik nasionalis Mgr.Albertus Soegijapranata, SJ ini adalah tentang perjalanan hidup dari masa kanak-kanak dan remaja, masa formasi menuju jenjang imamat, juga masa sebagai imam, yaitu masa di mana dia berperan sebagai Vikaris Apostolik Semarang. Romo Soegijopranata menemukan inti terdalam dari identitas dirinya sebagai orang Jawa yang mengalami perjumpaan dengan kekristenan yang kemudian mewujudkan cita-citanya sebagai imam untuk dapat mengabdi kepada bangsanya dan kepada Tuhan. Identitas itulah yang menjadi pondasi dasar bagi proses perjalanan hidup seterusnya[2]
- Pembentukan diri di zaman peralihan, kesan-kesan membaca buku harian Drijarkara, Keterlibatan Drijarkara dalam pengembangan PTPG Sanata Dharma, "Meringkus" Drijarkara, peran politik Drijarkara menjelang 1965 dan sesudahnya (Romo Banar sebagai editor), Pendidikan Ala Warung Pojok, Catatan-catatan Prof. DR. N. Driyarkara, S.J. tentang masalah sosial, politik dan Budaya.
- Van Lith Role of Pater Franciscus Georgius Josephus van Lith, a Jesuit priest, in the historical development of Catholic missions and Catholic school in Muntilan, Indonesia; volume commemorating the 150th birthday of Pater van Lith.
- Bayang-bayang sejarah kota pendidikan: Yogyakarta, komunitas learning society. Dalam tulisannya ini G. Budi Subanar, S.J memaparkan suatu pemikiran tentang bagaimana memaknai Yogyakarta sebagai kota Pendidikan.
· " Yogyakarta ditempatkan sebagai sebuah komunitas kesatuan hidup yang berupaya memaknai diri dalam dinamika learning society, komunitas masyarakat pembelajar. Kalau pada learning community wilayah cakupannya ada di dalam lingkup lembaga pendidikan, dengan menempatkan diri sebagai komunitas learning society lingkungannya diperluas melibatkan
semua warga di seluruh wilayah (kota) dalam berbagai ranah kehidupan dengan berbagai dinamika dan pembaruannya. Dengan demikian pihak yang terlibat pun diperluas, mencakup berbagai komponen masyarakat yang ada di seluruh wilayah (kota). Tempat-tempat yang dipakai tidak terbatas di dalam ruang kelas, atau tempat kuliah, melainkan juga ruang-ruang sosial (kota). Sarana yang digunakan meliputi berbagai ekspresi. Yang mau dicapai dengan pendidikan ini adalah membangun hidup bersama sebagai masyarakat yang saling terhubungkan dalam menanggapi situasi yang terus berubah, dan menggerakkannya untuk turut terlibat bersama pada berbagai ranah kehidupan. Dalam gerak komunitas learning society terkandung sebuah usaha pendidikan seumur hidup. Dengan usaha tersebut, kita membangun masyarakat terdidik, yang bertumpu pada sistem masyarakat warga yang mengaktifkan seluruh warganya, menjaga seluruh lingkup kehidupan yang memungkinkan untuk terus belajar, dan memberi kesempatan pada seluruh lapisan anggota masyarakat". Dengan paham demokrasi, mengandaikan masyarakat
warga yang semuanya terlibat. Tidak bisa hanya tergantung pada tokoh karismatis tertentu. Tidak juga melulu bergantung pada lembaga resmi, apalagi lembaga demikian dalam prosesnya akan cenderung beku, dan tidak cepat tanggap terhadap situasi aktual yang dinamis[3].
Menurut Romo Banar learning society merupakan suatu proses bersama yang partisipatif
"Dengan mengacu pada dinamika dan partisipasi masyarakat warga, maka dapat diajukan pertanyaan di mana partisipasi warga terlibat di dalam komunitas learning society? Dalam situasi dinamika sosial yang terus berubah, dan idealitas yang terus diperbincangkan, tidak membatasi lembaga pendidikan (tinggi) pada tujuan praktis untuk memenuhi tenaga kerja. Kegiatan penelitian (sosial) untuk ilmu pengetahuan yang terarah pada kebutuhanmasyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan. Di medan inilah keterlibatan para pengajar, peneliti, dan para mahasiswa banyak diharapkan"[4]. "Bertolak dari kehidupan bersama, belajar to know, to do, to be. Memberi alternatif atas to be yang berarti membeli dan memiliki. Hal-hal di atas tidak bisa lagi dianggap sebagai riak-riak kecil berhadapan dengan gelombang besar neoliberalisme. Ketika lembaga-lembaga pendidikan besar bersiap menanggapi neoliberalisme dengan logikanya sehingga mengabaikan sebagian besar kelompok masyarakat, gerakan perlawanan justru muncul dari kelompok-kelompok kecil yang hadir dari bawah. Menjadi pertanyaan bagi pemerintah juga yang telah masuk dalam pusaran neoliberalisme, bagaimana keragaman usaha-usaha perseorangan, kelompok, atau lembaga-lembaga di atas dapat diakomodir dalam jejaring yang saling terkait dan bersinergi sehingga dapat benar-benar membentuk dan menempatkan dalam posisi tawar (bagaining position) dari masyarakat di dalam kancah kehidupan sekarang"[4].
Karya-karya
- Melintasi batas: artspirasi buruh migran: May 2-12th 2012, Galeri Cipta II TIM Jakarta / writer, G. Budi Subanar ;curator, Arahmaiani. (Art exhibition, artspirasi buruh migran, melintasi batas)
- Menuju gereja mandiri: sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah dua uskup, 1940-1981 / G. Budi Subanar. History of Archdiocese of Semarang under two bishops, Albertus Soegijapranata and Justinus Darmoyuwono, 1940-1981.
- Oase Drijarkara: tafsir generasi masa kini / penulis, G. Budi Subanar, S.J. [and six others] ; editor, G. Budi Subanar, S.J.
- Soegija, Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan / [penulis,] G. Budi Subanar. History of the Indonesian revolution; transliteration and translation of diaries of Albertus Sugijopranoto,1947-1949, an Indonesian Catholic priest and nationalist.
- 150 tahun Rama Van Lith, SJ: dari Muntilan merajut Indonesia / penyunting, G. Budi Subanar, SJ, Dona Prawita Arissuta.
- Hilangnya halaman rumahku / G. Budi Subanar ; editor, Budi Sarjono, B. Rahmanto. (Sebuah novel)
- Menari di terra incognita (Sebuah novel)
Referensi
Pranala luar
|
|