Grand Inna Samudra Beach adalah hotel berbintang 4 yang terletak di Cikakak, Sukabumi.[1] Berada di tepi Pantai Citepus, hotel ini berdekatan dengan Palabuhanratu, ibukota dari Kabupaten Sukabumi.[2] Didirikan pada tahun 1966, hotel ini adalah hotel berbintang tertua di kawasan Palabuhanratu. Hotel ini merupakan salah satu buah karya Presiden Soekarno dalam upayanya untuk meningkatkan citra Indonesia sebagai destinasi pariwisata.[3][4] Saat ini, hotel ini dimiliki oleh Pemerintah Indonesia melalui Wijaya Karya Realty, sementara pengelolaan diserahkan ke Injourney Hospitality.[5]
Sejarah
Pada tahun 1958, Presiden Soekarno berhasil melobi Pemerintah Jepang untuk membayarkan dana pampasan perang sejumlah US$223 juta yang selanjutnya digunakan untuk membangun hotel berkelas internasional di empat tempat berbeda di Indonesia: Jakarta (Hotel Indonesia), Yogyakarta (Ambarrukmo Palace Hotel), Bali (Bali Beach Hotel), dan Palabuhanratu (Samudra Beach Hotel). Tidak seperti ketiga tempat lain yang dipilih karena faktor ekonomi atau kebudayaan, Soekarno memilih Palabuhanratu atas dasar nostalgia pribadi; beliau adalah lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng angkatan 1922 dan sempat sesekali mengunjungi wilayah pantai tersebut untuk melepaskan penatnya. Rancangan pembangunan hotel digarap pada tahun 1961 oleh Roosseno Soerjohadikoesoemo dan Kanko Kikaku Sekkeisha Yozo Shibata & Associates, sebuah biro arsitek asal Jepang, dengan Gaya Internasional sebagai pedoman. Pembangunannya sendiri dimulai pada bulan November 1962, dengan biaya investasi mencapai Rp11,6 miliar. Samudra Beach Hotel selesai dibangun pada bulan Februari 1966, dan operasionalnya dimulai per tanggal 15 Februari 1966, setelah acara peresmian yang dihadiri oleh Hamengkubuwana IX. PT Hotel Indonesia International mengontrak Okura Hotels asal Jepang untuk membantu mereka mengelola hotel selama 4 tahun.[6][7]
Sejarah Samudra Beach Hotel dilanda oleh masalah finansial pada tahun-tahun pertama semenjak dibuka. Penyebab utamanya adalah lokasi hotel yang terpencil. Pada tahun 1960-an, sebagian besar wilayah Palabuhanratu belum dialiri listrik oleh Perusahaan Listrik Negara, sehingga pihak hotel harus menggunakan genset mahal untuk menyalakan lampu dan pengondisi udara. Hotel tidak menyediakan fasilitas televisi, dan telepon masih menggunakan model telepon engkol tahun 1920-an. Lebih-lebih lagi adalah tujuan pembangunan hotel yang tidak jelas. Awalnya, Pemerintah Indonesia, di bawah Soekarno, hendak mengembangkan Samudra Beach Hotel sebagai sarana untuk kegiatan perjudian, dengan kasino Ruang Sukaria dan Domino yang menempati gedung, alhasil menyulap Palabuhanratu layaknya Las Vegas milik Indonesia. Namun, rencana tersebut ditolak mentah-mentah oleh organisasi umat Islam seperti Gabungan Serikat Buruh Islam yang menganggap perjudian adalah haram. Untuk meredakan potensi konflik, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggagalkan rencana tersebut. Ketidakjelasan maksud pembangunan hotel, ditambah dengan kondisi pariwisata Sukabumi yang masih terbelakang, membuat Pemerintah Kabupaten Sukabumi menjadi enggan untuk mendukung proyek hotel, sehingga mereka tidak membangun infrastruktur seperti jalan dan petunjuk masuk ke hotel yang memadai. Selama 20 tahun pertama, Samudra Beach Hotel tidak pernah mencatat tahun di mana mereka untung, bahkan secara bruto. Sebagian besar tamu hotel berasal dari Jakarta atau Bandung, dan mereka biasanya hanya datang pada akhir pekan saja. Tingkat rata-rata hunian berkisar antara 20% dan 30%, dengan rekor paling tinggi adalah 39% pada tahun 1981.[7]
Kondisi memprihatinkan ini mulai berubah sejak tahun 1987, ketika HII mengadakan renovasi dan revitalisasi besar-besaran untuk meningkatkan citra hotel. Listrik, televisi, dan telepon canggih dipasang, grup musik diundang untuk menggelar acara konser, dan paket wisata ditawarkan untuk menarik minat wisatawan. Menurut majalah SWA, hotel mencatat keuntungan bruto sebesar Rp970 juta pada tahun 1987, dari rugi sebesar Rp150 juta setahun sebelumnya. Meski begitu, hotel masih dianggap merugi dan hanya ditopang berkat kesuksesan saudara-saudaranya, terutama Bali Beach Hotel dan Hotel Putri Bali. Barulah pada tahun 1993, setelah Pemerintah Sukabumi selesai melakukan perbaikan jalan beraspal dari Cibadak, Samudra Beach Hotel akhirnya mencatat keuntungan bersih. Menurut harian Neraca edisi Februari 1993 yang mengulas hotel menjelang ulang tahunnya yang ke-27, Samudra Beach Hotel telah bertransformasi menjadi sanggraloka yang ramai pelancong dan dan pejabat penting negara.[7]
Setelah HII bergabung dengan PT Hotel dan Tourist Nasional pada tahun 1999, hotel ini bersalin nama menjadi Inna Samudra Beach.[8] Hotel mengalami perubahan nama sekali lagi pada tahun 2017 menjadi Grand Inna Samudra Beach.
Fasilitas
Grand Inna Samudra Beach memiliki jumlah kamar sebanyak 100. Kamar-kamar dibagi menjadi 3 tipe, Deluxe Room (tipe terendah), Deluxe Suite (dengan ruang tamu), dan Executive Suite (dengan ruang tamu dan dapur). Hotel menyediakan 2 rumah makan (Cafe In, Homara Restaurant), kolam renang, 4 ruang rapat untuk keperluan MICE, dan akses langsung ke Pantai Citepus.[9][10]
Kamar sakral
Sama seperti Bali Beach Hotel, Grand Inna Samudra Beach memiliki kamar sakral yang didekasikan untuk Nyi Roro Kidul. Kamar 308 dihiasi oleh lukisan Nyi Roro Kidul, mahkota, dan beberapa perhiasan, termasuk pakaian yang dikeramatkan sebagai milik figur tersebut. Warna hijau mendominasi kamar, meskipun Abah Zaenal, seorang tokoh masyarakat yang telah memandu wisatawan ke kamar tersebut selama 20 tahun, mengatakan bahwa warna hijau sebenarnya adalah mitos masyarakat dan tidak ada kaitan erat dengan Nyi Roro Kidul. Konon, Presiden Soekarno mengadakan perjanjian dengan Nyi Roro Kidul untuk membangun kamar tempat di mana dia dipuja sebelum hotel dibangun. Pengunjung yang tidak menginap di Kamar 308 dipersilahkan untuk sembahyang dan meninggalkan surat-surat doa untuk meminta rezeki atau jodoh.[11][12]