Global South merupakan sebuah istilah yang muncul sebagai akibat dari terjadinya ketimpangan antara negera-negara Utara (negara maju) dengan negara-negara Selatan (negara berkembang). Global South sendiri pada umumnya merupakan negara-negara berkembang serta terbelakang yang baru saja merdeka dari kekangan negara-negara Global North yang rata-rata merupakan negara-negara maju industrialis dan mantan kolonialis (utamanya bangsa Eropa) bagi Global South.[1] Istilah Global South ini tidak hanya merujuk kepada selatan dalam hal geografi — karena sebagian negara Global South terletak di Hemisfer Utara[2] — tetapi juga gerakan politik, ideologi, visi pembangunan, dan solidaritas antar negara.
Sejarah dan Definisi
Penyebutan istilah Global South sendiri merupakan pengembangan dari istilah Third World yang menunjukkan wilayah di luar kawasan Eropa dan Amerika Utara, yang sebagian besar berpenghasilan rendah dan seringkali terpinggirkan baik secara politik, budaya, dan ekonomi. [3] Secara historis pasca terjadinya Perang Dunia II (1950-1960), Alfred Sauvy memperkenalkan istilah Third World untuk menggolongkan negara neokolonialisasi yang tidak termasuk pada blok Barat (negara Dunia Pertama) dan blok Timur (negara Dunia Kedua) saat Perang Dingin, sehingga istilah Third World ini merepresentasikan negara-negara yang tidak berpihak pada blok manapun dan merasa tidak puas dengan adanya tatanan politik dunia saat itu.[4] Hingga kemudian pada tahun 1970-an akhir, istilah ini mulai berubah menjadi negara berkembang yang merujuk pada fase "berkembang" atau "pembangunan". Penggunaan istilah ini kemudian memunculkan beberapa klasifikasi seperti Least Developed Countries (LDC), Land Locked Developing Countries (LLDC), dan Small Island Developing States (SIDS). Namun, dengan adanya pengklasifikasian ini telah menyebabkan suatu kesenjangan semakin tercipta akibat dari pengelompokan-pengelompokan ini sehingga gap yang terjadi antara negara maju, negara berkembang, dan negara yang tidka berkembang semakin jauh.
Berakhirnya Perang Dingin serta terjadinya globalisasi kemudian menuntut pemaknaan baru atas istilah dari Third World dan negara berkembang karena istilah ini justru semakin menciptakan pembeda antara Utara dengan Selatan dan bahkan memicu permasalahan-permasalahan lainnya. Pada tahun 2003, UNDP melaksanakan sebuah proyek yang berjudul "Forging a Global South" sebagai bentuk paradigma baru pembangunan.[4] Proyek ini bertujuan agar negara-negara Selatan dapat mengatur alur dan berupaya secara mandiri dalam mewujudkan masa depan negara mereka sehingga tidak hanya berpangku dan menunggu bantuan dari negara-negara Utara. Usaha yang dimaksud dalam hal ini adalah bekerja sama satu sama lain dalam mendorong pembangunan Selatan secara keseluruhan atau "Kerja Sama Selatan-Selatan". Oleh karena itu, penggunaan istilah Global South menandai adanya pergeseran dari fokus utama pada oembangunan atau perbedaan budaya pada arah penekanan hubungan kekuasaan geopolitik.[3]
Penggunaan istilah Global South ini dianggap lebih bersifat netral dan menunjukkan pada kesamaan posisi serta ideologi. Mengutip pendapat dari Alden et al., istilah Selatan dalam Global South merujuk pada kawasan yang memiliki kesamaan sejarah, politik, sosial, serta ekonomi yang berakar dari ketimpangan akibat kolonialisme serta imperalisme yang terjadi terhadap negara negara mereka.[5] Dengan adanya kesamaan sejarah serta perasaan senasib ini yang didukung dengan semangat kemerdekaan menjadi sebuah motivasi serta strategi bagi mereka untuk mengkritik sisteminternasional saat itu.[5] Dimana ketidakadilan serta ketimpangan, eksploitasi sumber daya alam, serta kekuasaan yang terpusat menjadi bentuk kritik dari negara-negara Selatan terhadap tata kelola dunia internasional.
Teori tentang Global South
Realism/Neorealism
Liberalism/Neoliberalism
Marxisme
Poskolonialisme
Critical Theory
Teori ini memandang bahwa adanya sistem internasional saat ini telah menempatkan Global South dalam ketimpangan global. Hal ini disebabkan negra-negara Global South telah menjadi korban atas kejamnya kapitalisme global. Robert Cox yang merupakan salah satu pemikir dalam Critical Theory berpencapat bahwa sistem internasional serta institusi internasional yang hadir sampai saat ini telah menciptakan sebuah hegemoni dan merugikan negara Selatan untuk menjadi bergantung pada negara Utara.[5] Dalam pengaruh dari hegemoni serta institusi internasional ini kemudian telah menempatkan negara-negara Selatan secara tidak langsung dalam sebuah tingkatan yakni centre, semi-periphery, dan periphery triptych.[5] Lebih lanjut lagi, Cox memandang bahwa institusi internasional yang telah hadir saat ini hanya berfungsi untuk menstabilkan dan mempertahankan tatanan dunia yang telah ada. Hal ini berarti institusi hanya hadir untuk melanggengkan dominasi serta hegemoni dari negara-negara Utara. Oleh karena itu, Global South hadir sebagai bentuk upaya yang dilakukan dalam menuntut persamaan hal serta bentuk upaya agar terbebas dari ketergantungan terhadap negara Utara. Selain itu, terdapat pula Jacqueline Braveboy-Wagner yang menganalisis Global South menggunakan pendekatan Critical Institutionalism, yakni gabungan dari Critical Theory dengan Neoliberal Institutionalism.[5] Dimana negara-negara berkembang menggunakan institusi internasional sebagai instrumen kebijakan luar negeri karena adanya beberapa alasan seperti upaya yang lebih mudah atau practical, berbiaya rendah, serta manfaat yang dirasakan akan langsung terlihat nyata atau tangible, dan juga keinginan atas global gain.[5]
^ abcdefAlden, Chris; Morphet, Sally; Vieira, Marco Antonio (2010). The South in World Politics. Palgrave Macmillan. ISBN978-1-349-51648-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Referensi
Alden, Chris; Morphet, Sally; Vieira, Marco Antonio (2010). The South in World Politics. London: Palgrave Macmillan UK. ISBN978-1-349-51648-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Bacaan tambahan
Coexisting Contemporary Civilizations. Arabo-Muslim, Bharati Chinese, and Western by Guy Ankerl. INUPress, Geneva, 2000.