Gereja Santo Joseph, Tebing TinggiParoki Santo Joseph, Tebing Tinggi adalah sebuah paroki dibawah Keuskupan Agung Medan terletak di Kota Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara.
Sejarah[1]Gereja Katolik Masuk ke Tebing Tinggi Menurut penuturan orang-orang tua yang sudah lama tinggal di Tebingtinggi, bahwa di Tebingtinggi telah lama masuk agama Katolik yakni sebelum masuknya Jepang ke Indonesia. Mereka yang beragama Katolik tinggal di perkebunan-perkebunan sekitar Tebingtinggi yakni orang-orang Belanda., sementara orang pribumi waktu itu belum ada yang beragama Katolik di Tebingtinggi. Karena iman mereka yang kuat maka didirikanlah gereja kecil atau Kapel di Jalan Asrama No. 13 sekarang jalan Pahlawan No. 13 tepatnya di depan kantor Polisi yang sekarang. Merupakan suatu bukti nyata bahwa gereja lama ada prasasti diresmikan tanggal 2 Maret 1941 oleh Pastor D. Sinnema OFM Cap. Sayangnya data lengkap mulai adanya gereja Katolik atau Kapel di Tebingtinggi sampai menjadi Paroki tidak dapat ditemukan. Melihat Tebingtinggi dikelilingi perkebunan-perkebunan yang dikelola orang-orang Belanda, maka dapat dipercayai bahwa Kapel itu didirikan oleh orang-orang Belanda. Perkembangan Paroki St. Joseph Tebingtinggi (1 Juli 1951-sampai sekarang) Sejak Belanda mengakui Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, suhu politik lambat laun semakin baik. Oleh karena itu, Tebing Tinggi mulai dimasuki orang-orang pribumi yang beragama Katolik untuk mengadu nasib sebagai pedagang. Mereka datang dari Tapanuli Utara atau Pulau Samosir. Melihat banyaknya orang-orang pribumi yang beragama Katolik, maka kebutuhan untuk melakukan peribadatan juga perlu diperhatikan. Sehingga, gereja kecil atau kapel Tebing Tinggi diresmikan menjadi Paroki Santo Joseph Tebing Tinggi sejak tanggal 1 Juli 1951 yang digembalakan oleh Pastor Justus Weetman dan Pastor Elpidius Duynhovan. Umat di Tebing Tinggi Kota semakin bertambah, di mana para pedagang tadi telah merasa aman tinggal di Tebing Tinggi, sehingga mereka menjemput keluarganya serta anak-anaknya datang ke Tebing Tinggi. Perkembangan umat di Tebing Tinggi juga ditandai dengan adanya penempatan menjadi Pegawai Negeri. Sementara di luar kota Tebing Tinggi, umumnya perpindahan dari daerah asal Tapanuli Utara, mengadu nasib dengan bertani dan beberapa yang menjadi pedagang. Setelah mereka berhasil menjemput keluarganya ke kampung asalnya, mereka membuka lahan baru dengan istilah “Manombang” di Kecamatan Bandar Khalipah, Pagurawan, Bamban, dan lain-lain. Pada umumnya, mereka membuka gereja baru dengan darurat atau di rumah-rumah penduduk dan mereka melaporkannya ke Paroki. Perkembangan membuka gereja darurat ini terjadi setelah pecahnya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sehingga banyak orang Katolik pindah dari Tapanuli Utara/Samosir ke Sumatera bagian timur. Hal ini mengakibatkan stasi-stasi di Paroki Tebing Tinggi menjadi bertambah. Stasi-stasi ini dikunjungi Pastor dengan kendaraan roda dua atau sebagian harus ditempuh dengan berjalan kaki karena jalan yang belum memadai. Gereja induk sebagai Paroki di Tebing Tinggi mulai penuh dan tidak dapat menampung umat yang terus bertambah jumlahnya. Maka pada tahun 1958, gereja direnovasi dengan ditambah ke belakang dan sayap kiri-kanan, sementara aslinya tetap dan tidak dibongkar. Perkembangan umat di paroki induk pun terus bertambah pesat, dikarenakan banyaknya Pegawai Negeri yang bekerja di Tebing Tinggi dan para pedagang pun semakin bertambah. Selain itu, adanya pendidikan Perguruan Cinta Kasih Tebing Tinggi juga termasuk salah satu faktor bertambahnya umat Katolik di Tebing Tinggi. Dengan banyaknya jumlah umat di paroki induk, maka misa di paroki dilakukan sebanyak dua kali setiap minggunya. Walaupun demikian, Misa yang dilakukan dua kali setiap minggu, belum dapat menampung seluruh umat. Sementara, tenaga imam pun jumlahnya sedikit. Oleh karena itu, pada tahun 1983, dibentuklah panitia Pembangunan Gereja dan Wisma Paroki Tebing Tinggi. Pembangunan Gereja dan Wisma dimulai tahun 1985. Gereja baru didirikan di tempat yang sama dan gereja lama dibongkar, sehingga perayaan misa selama pembangunan gereja, dilakukan di ruangan SMA Katolik Cinta Kasih Tebing Tinggi. Gereja baru dan Wisma diresmikan dan diberkati oleh Yang Mulia Uskup Agung Medan, Mgr. A. G. Pius Datubara OFMCap. pada tanggal 21 Juni 1987. Setelah gereja baru selesai, umat pun sudah dapat duduk dengan tenang pada saat perayaan Misa dan kegiatan-kegiatan gereja pun dapat dilaksanakan di Wisma. Akan tetapi, akhir-akhir ini gereja pun tidak dapat menampung umat yang terus bertambah, terlebih ketika perayaan Misa di hari Minggu dan hari-hari besar umat Katolik. Pada tanggal 7 Oktober 2001 penggembalaan umat Paroki St. Joseph Tebing Tinggi diserahkan Ordo Kapusin (OFMCap) kepada Ordo salib suci (OSC). Begitulah di Paroki St. Joseph Tebing Tinggi firman Tuhan ditanamkan dan disirami oleh Saudara-saudara Dina Kapusin selama lebih dari 60 tahun, awalnya dilayani oleh Paroki Katedral Medan, lalu Paroki Jl Sibolga Pematang Siantar lalu menjadi paroki mandiri pada tahun 1951. Perkembangan jumlah umat semakin meningkat dari tahun ke tahun di mana jumlah umat Katolik Paroki St. Joseph Tebing Tinggi pada tanggal 31 Januari 2018, berjumlah 11.690 jiwa yang terbagi dalam 2.790 keluarga dan 52 stasi. Serah Terima Penggembalaan 3 Stasi Paroki St. Joseph Tebing Tinggi (St. Petrus Bandar Hanopan, St. Benedictus Bangun Raya, St. Antonius Sorba Dolok) kepada Paroki St. Stefanus Martir Pematang Raya pada hari Rabu, 31 Januari 2018 yang diawali dengan Misa Ekaristi di Gereja St. Benedictus Bangun Raya oleh Pastor Donatus Manalu OSC (Pastor Paroki St. Joseph Tebing Tinggi) dan Pastor Giovanno Sinaga, OFMCap (Pastor Paroki St. Stefanus Martir Pematang Raya). Serah Terima Penggembalaan ini disaksikan oleh umat dan ketua stasi ketiga stasi dan anggota DPP kedua paroki. Serah terima penggembalaan Rayon St. Yakobus Pakam Raya dengan 8 stasi (Stasi Pakam raya, Stasi Sei Deras, Stasi Simodong, Stasi Laut Tador, Stasi Batu Tohap, Stasi Pematang Jering, stasi Sei Rakyat dan Stasi Kuala Indah) ke Kuasi Paroki St. Petrus Cinta Damai Batu Bara dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2018 bertempat di Kuasi Paroki St. Petrus Cinta Damai Batu Bara. Diawali dengan Misa Ekaristi oleh Pastor Donatus Manalu OSC (Pastor Paroki St. Joseph Tebing Tinggi) dan Pastor Mathias Simarmata, OFMCarm (Pastor Paroki Kristus Raja Perdagangan). Serah Terima Penggembalaan ini disaksikan oleh umat dan ketua stasi ketiga stasi dan anggota DPP kedua paroki. Kemudian pada tanggal 1 September 2019, sebagaimana telah dicanangkan Bapa Uskup Agung Medan Mgr. Anicetus B. Sinaga OFMCap, bahwa di Sei Rampah harus berdiri paroki. Maka, setelah perjuangan yang cukup melelahkan, diresmikan Pastoran Gereja Paroki St. Agustinus Sei Rampah oleh Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap. Terdapat 18 Stasi yang menjadi bagian penggembalaan umat Kuasi Paroki St. Agustinus Sei Rampah, yaitu Stasi Sei Baru Dua, Stasi Sialang Buah, Stasi Belidaan, Stasi Sei Rampah, Stasi Kampung Pon, Stasi Kelapa Tinggi, Stasi Potean, Stasi Sei Buluh, Stasi Pardomuan Avros, Stasi Sei Martebing, Stasi Sei Putih, Stasi Gempolan, Stasi Bedagai, Stasi Pematang Terang, Stasi Pematang Senter, Stasi Penampungan, Stasi Sei Serimah dan Stasi Pematang Buluh Saat tulisan ini diupdate, Paroki St. Joseph Tebing Tinggi terdiri dari 4 Rayon Kota Tebing Tinggi dan 5 Rayon diluar kota Tebing Tinggi. Stasi[2]
Sejarah Stasi St. Petrus Bah TonangGereja Katolik Stasi Santo Petrus Bahtonang berkedudukan di Dusun Bahtonang Desa Bahtonang, Kec. Raya Kahean Kab. Simalungun 21156 Provinsi Sumatera Utara. Stasi St. Petrus, berdiri pada tahun 1955 , kendati pada waktu itu, peribadatan dilakukan di rumah rumah keluarga katolik yang ada di bahtonang. Umat katolik bahtonang merupakan bagian dari stasi sorba dolok, karena jarak tempuh antara bahtonang dengan sorba dolok sangat jauh dan kondisi jalan yang sulit, akhirnya beberapa keluarga dari daerah bahtonang mengajukan untuk mendirikan sebuah Gereja stasi. Pastor yang ada di paroki santo joseph tebing tinggi pada waktu itu, Pater Leo Joosten OFMCap, dan P. Ludjer van Lande, OFMCap (1955-1957). Usulan dari beberapa umat tersebut diterima baik. Pada tahun yang sama, umat katolik bahtonang menerima hiba tanah yang diperuntukan sebagai lokasi gereja dari pemerintah setempat. Luas area 3 rante (1.200 M²). Di area tersebut umat katolik 9 kepala keluarga, mulai membangun gedung gereja semi permanen. Sejarah Stasi St. Petrus Paulus Gunung PamelaGereja Katolik Stasi Santo Petrus Gunung Pamela, berkedudukan di Pondok Seng, Kec. Sipispis Kab. Serdang Bedagei 20992. Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 1971, stasi st. Petrus mendapat kesempatan untuk membentuk kelompok panitia pembangunan gedung gereja. Semula beberapa keluarga berkumpul dan mengadakan peribadatan di rumah- rumah secara bergantian. Pada tahun awal terbentuknya stasi st. Paulus P. Antonius Siregar, OFMCap (1971-1976), bersama 18 kepala keluarga. Pembangunan gedung gereja berjalan lancar karena bantuan dari PTP4 gunung pamela dan bantuan dari paroki. Gedung gereja awal berukuran 30x30 M dan dengan swadaya umat melalui bergotong royong. Beberapa tokoh pengembang gereja stasi st. Petrus, yaitu NN. Sirait, NN. Situmorang, Guntur Manurung, Fiator Togatorop, David Sinaga. Stasi st. Petrus berjumlah 24 kepala keluarga dengan 100 jiwa, tercatat pada tahun 2017. Tradisi yang berkembang di tempat ini adalah berbahasa batak toba dan bahasa indonesia. Bertani kebun. Relasi antar umat sangat baik demikian juga antar gereja tetangga sangat rukun. Gedung gereja yang sedang dalam proses pembangunan kurang lebih berukuran 900 M. Harapan kedepan semoga keaktifan umat dalam hidup menggereja semakin meningkat dan pendalaman mengenai liturgi katolik semakin berkembang. Referensi
|