Dirgantara Air Service Penerbangan 3130 (DIR3130/AW3130) adalah penerbangan penumpang domestik terjadwal yang dioperasikan oleh Dirgantara Air Service dari Bandar Udara Datah Dawai, Kabupaten Malinau, ke Bandar Udara Temindung, Samarinda, Kalimantan Timur. Pada tanggal 18 November 2000, pesawat Britten Norman Islander BN-2 menabrak pucuk pohon dan jatuh ke hutan di dekat bandara tidak lama setelah lepas landas. Tidak ada yang selamat.[1][2]
Laporan penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi menyimpulkan bahwa kecelakaan ini disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu kesalahan pilot, kelebihan muatan, dan tidak adanya keamanan bandara (penyuapan). Persepsi pilot yang keliru ditambah kelebihan muatan yang disebabkan oleh penyuapan membuat pesawat ini jatuh. Maskapai ini berhenti beroperasi pada tahun 2009 dan menyatakan bangkrut tahun 2013.[3]
Kecelakaan
Pesawat Britten Norman Islander ini lepas landas pukul 10:51 waktu setempat dengan 17 penumpang, termasuk 2 bayi, dan 1 awak kabin. Tidak lama setelah lepas landas, operator radio pesawat melihat pesawat menghilang setelah melewati hutan. Pesawat menabrak pohon pertama dan mulai miring ke kiri. Pesawat kemudian menabrak pohon kedua dan mulai terombang-ambing. Pesawat menabrak pohon ketiga dan mulai kehilangan kendali. Roda pendaratan menabrak pohon keempat dan pesawat jatuh terbalik di hutan. Kedua sayapnya patah dan bahan bakar tumpah dari ujung sayap kanan. Ini menambah risiko kebakaran pascajatuh karena tanah gambut Kalimantan mudah terbakar.[4]
Tim pencari dan penyelamat segera dibentuk oleh otoritas bandara. Bangkai pesawat ditemukan 2 kilometer dari bandara. Semua orang di dalam pesawat tewas, .. Pesawat ini dinyatakan rusak total dan seluruh bagian depannya hancur. Kemudi (rudder) dan penstabil vertikal ditemukan 7 meter dari bangkai pesawat. Badan pesawat gepeng dan bengkok..[4]
Latar belakang
Pesawat yang terlibat dalam kecelakaan ini adalah Britten Norman Islander BN-2 dengan nomor registrasi PK-VIY. Pesawat ini dibuat tahun 1981 di Britania Raya dengan siklus total 22.336 jam. Pesawat ini memiliki satu kursi awak dan 9 kursi penumpang. Pesawat ini memiliki sertifikat kelayakan udara tertanggal 27 September 2000. Semua penumpang dan awak adalah warga negara Indonesia. Satu-satunya awak, Kapten Abdul Hayi, memiliki pengalaman terbang selama 7.560 jam.[5]
Bandara ini dimiliki oleh pemerintah daerah dan dipakai untuk penerbangan perintis. Ketinggiannya tidak disebutkan secara resmi dan hanya diukur oleh altimeter pesawat, yaitu sekitar 650 kaki di atas permukaan laut. Kedua ujung landasan ini bernomor 02 dan 20. Panjang landasannya 750 meter dengan lebar 23 meter. Tempat berhenti sejauh 30 meter tersedia di landasan 02. Landasannya berlapis aspal dan mampu menampung pesawat CASA 212. Menara pengawas tidak ada karena bandara ini tidak tergolong bandara berpengawas. Landasan tidak dilengkapi penanda arah mendarat. Karena arah angin permukaan dominan, lepas landas dan pendaratan dilakukan di landasan 02. Penghalang besar di sekitar bandara adalah bukit hutan di sebelah utara ekstensi landasan 02. Penghalang pertama terletak 200 kaki di atas ketinggian landasan, 533,3 meter dari ujung landasan 02. Penghalang kedua terletak sekitar 500 kaki di atas ketinggian landasan, 1.262,9 meter dari ujung landasan 02. Kecuraman landasan sebesar 3% dari arah landasan 02.[4][6]
Investigasi
Pemeriksaan awal
Penyidik memeriksa bangkai Penerbangan 3130 dan menemukan bahwa tidak ada tanda-tanda berputarnya baling-baling ketika pesawat jatuh. Pemeriksaan lebih lanjut mengungkapkan bahwa tuas baling-baling, mikstur, dan mesin ditarik ke belakang. Ini menunjukkan bahwa mesin mungkin tidak menyala ketika pesawat jatuh. Mesin bis saja dimatikan oleh Kapten Abdul. Ada tiga kemungkinan yang menyebabkan mesin mati, yaitu kebakaran mesin, kegagalan mesin, atau prosedur darurat.[4]
Tidak ada tanda-tanda kebakaran mesin. Baling-baling ditemukan tanpa perubahan lengkung dan arah putar; artinya, prosedur pemadaman mesin dilakukan dengan tidak benar. Bangkai menunjukkan bahwa posisi tuas baling-baling tidak disebabkan oleh tubrukan. Semua tuas bengkok ke kiri karena tubrukan dari kanan. Kapten Abdul mungkin tidak sempat melakukan prosedur pemadaman mesin dengan benar. Faktor ini, ditambah kondisi mesin yang tidak berubah, menunjukkan bahwa kegagalan mesin tunggal tidak terjadi. Satu busi dari setiap silinder diteliti. Semua busi kering dan bersih; artinya, tidak ada bukti kegagalan pembakaran.[4]
Penyidik mewawancarai para penyintas. Mereka mengaku pesawat kelebihan penumpang. Jumlah penumpang biasanya 9 orang karena jumlah kursinya 9. Dalam penerbangan itu, jumlah penumpangnya 17 orang. Satu baris kursi yang biasanya diduduki 2 orang harus dimuati 4 orang sehingga sebagian besar penumpang tidak mengenakan sabuk pengaman. Karena itu, jumlah korban cedera dalam insiden ini cukup tinggi. Saat terbang naik, pesawat tidak kunjung naik dan akhirnya jatuh. Para penyintas mengatakan kecelakaan ini disebabkan oleh kelebihan muatan. Analisis berat dan keseimbangan Penerbangan 3130 kemudian dilakukan. Prosedur operasi standar Dirgantara Air Service menyatakan bahwa bobot muatan lepas landas maksimum dari Datah Dawai dibatasi hingga 496 kg, sedangkan bobot muatan lepas landas pesawat ini mencapai 913,5 kg, 417,5 kg atau 84% lebih berat daripada standar perusahaan. Bobot lepas landas maksimum resmi Britten Norman (untuk ketinggian bandara Datah Dawai, yaitu 650 kaki) adalah 6.300 lbs atau 2.860 kg. Bobot lepas landas pesawat ini mencapai 6.572 kg, 272 lbs atau 4,32% lebih berat. Namun, Dirgantara Air Service berpendapat bahwa bobot lepas landas maksimumnya bisa dinaikkan hingga 6.600 lbs. Pusat gravitasi terhitung masih berada di dalam batas-batas penerbangan, tetapi mendekati batas belakang. Keseimbangan lepas landas pesawat ditetapkan mendekati -1; artinya, pusat gravitasi sedikit ke belakang.[4]
Analisis penerbangan menunjukkan bahwa dengan bobot pesawat 6.007 lbs (diizinkan untuk Datah Dawai menurut prosedur maskapai) dan penerbangan dwimesin, pesawat bisa naik hingga 200 kaki dari ketinggian landasan dalam jangkauan 533,3 meter (segmen pertama). Pesawat bisa mencapai 500 kaki dalam jangkauan 1.261 meter (segmen kedua). Perhitungan ini menjamin penerbangan bebas hambatan. Dengan model linier dan bobot 6.572 lbs, gradien naik bersihnya mencapai 12,6%. Koreksi terhadap model linier ini menghasilkan gradien naik sebesar 11%. Dengan gradien naik ini, pesawat hanya bisa mencapai ketinggian 176 kaki, alih-alih 200 kaki, dalam jangkauan 533,3 m. Pada ketinggian 176 kaki di atas permukaan bandara, ketinggian pesawat di atas pucuk pohon adalah 11 kaki (marjinal).[4]
Analisis urutan terbang
Pesawat lepas landas dengan dua mesin berkecepatan rotasi 70 knot. Menurut wawancara, ketika pesawat berangkat dari Datah Dawai, pesawat kesulitan terbang naik, tetapi bukan karena angin ke bawah, kegagalan mesin, atau dua-duanya. Kapten Abdul sadar bahwa pesawat tidak kunjung naik, lalu memutuskan terbang kembali ke bandara dan belok ke kiri untuk menghindari pohon. Manuver ini tidak tercantum di prosedur resmi atau peta jalur visual untuk keberangkatan dari landasan 02. Penyelidikan juga tidak menemukan informasi resmi apapun tentang manuver darurat kembali ke bandara. Kapten Abdul melihat ketinggian pesawat mulai menurun dan bersiap-siap mendarat darurat. Kapten tidak sempat melakukan prosedur darurat karena pesawat jatuh menukik ke bawah.[4]
Dalam keberangkatan dari Datah Dawai, segmen penerbangan pertama berjangkauan 1.600 kaki dan pesawat harus terbang setinggi 200 kaki dari landasan. Namun, pesawat hanya mampu terbang setinggi 150 kaki dari ketinggian landasan dalam jangkauan 6.000 kaki. Bukti ini menunjukkan bahwa Penerbangan 3130 kelebihan buatan. Wawancara dengan Kapten Abdul mengungkapkan bahwa ia biasa lepas landas dari Datah Dawai dengan kecepatan 70 knot, lebih kencang daripada rekomendasi 55–60 knot. Ia mengatakan bahwa penambahan kecepatan ini memungkinkan pesawat menghindari hambatan. Persepsi Kapten Abdul keliru karena apabila pesawat lepas landas berkecepatan 70 knot, jarak antara pesawat dan hambatan (bukit dan pohon) semakin pendek. Karena jarak semakin pendek, pesawat harus terbang lebih tinggi. Karena kelebihan muatan, pesawat naik dengan kecepatan rendah. Setelah melewati hambatan, pesawat kehilangan kecepatan sehingga tidak bisa terbang naik. Perpaduan faktor ini menyebbakan Penerbangan 3130 berhenti mendadak di udara dan jatuh.[4]
Tindak pidana
Dirgantara Air Service mengklaim bahwa jumlah penumpang hanya 9 orang. Pemeriksaan terhadap daftar muatan dan tiket penumpang serta wawancara penumpang menunjukkan bahwa hanya 12 dari 18 penumpang yang memiliki tiket asli. Berat penumpang tidak diukur di Datah Dawai. Kapten Abdul maupun awak darat tidak keberatan dengan peluang kelebihan muatan sehingga muncul dugaan bahwa aktivitas menambah untung secara ilegal seperti ini sudah biasa. Praktik ini kemungkinan besar sudah dilakukan sebelumnya berkali-kali.[4]
Penyidik menemukan bahwa awak Dirgantara Air Service tidak pernah mengisi izin terbang untuk seluruh operasi penerbangannya dari Samarinda. Ini adalah pelanggaran Peraturan Keselamatan Penerbangan Udara. Otoritas bandara harus menyetujui izin terbang dan memantau prosesnya. Dalam operasi penerbangan perintis, pemerintah daerah mewajibkan operator mempekerjakan perusahaan/karyawan lokal untuk urusan penjualan tiket, suplai, dan lain-lain. Manajer wilayah Dirgantara Air Service di Samarinda menyebutkan bahwa karyawan lokal tidak layak atau tidak berhak bekerja di industri maskapai penerbangan, tetapi harus dipekerjakan. Hal ini memengaruhi tingkat keselamatan penerbangan. Penyelidikan menemukan bahwa ada dua daftar muatan. Daftar asli yang diperoleh polisi di Kecamatan Tenggarong dan diduga berasal dari Datah Dawai mencantumkan 7 orang dewasa, 1 anak, dan 1 bayi dengan beberapa bagasi. Daftar kedua, nomor 012905, diduga diterbitkan di Samarinda. Nomor di kanan atas dokumen ditempel untuk menyembunyikan nomor aslinya. Daftar ini mencantumkan 8 orang dewasa, 2 anak-anak, dan 2 bayi tanpa bagasi. Ini melanggar prosedur keselamatan penerbangan yang tergolong kesalahan disengaja dan dapat dipidanakan.[4]
Karena penerbangan perintis disubsidi oleh pemerintah daerah, ada beberapa masalah terkait sumber pendanaannya. Operator harus menjual tiket dengan harga yang sangat rendah sehingga masyarakat biasa bisa terbang. Hasilnya, permintaan penumpang naik pesat. Namun, maskapai tidak bisa menambah jumlah penerbangan. Pemerintah daerah selaku sponsor adalah satu-satunya pihak yang berhak membuat keputusan tersebut. Permintaan tinggi dan ketersediaan rendah meningkatkan peluang suap-menyuap. Tanpa pengawasan yang kuat, karyawan maskapai atau otoritas bandara bisa menerima suap dari penumpang yang tidak mau mengantre.[4]
Penumpang melaporkan bahwa Kapten Abdul sepakat menjual kursi ke dua penumpang terakhir dengan harga Rp60.000 dan Rp1.000.000 (harga tiket sebenarnya adalah Rp68.000). Penumpang bersedia membayar supaya bisa ikut terbang. Kapten Abdul mengakui jual-beli ini lazim terjadi dan sering melakukannya. Namun, ia menyebutkan harganya. Kapten Abdul dan kepala pilotnya menyatakan bahwa praktik ini sering dilakukan bersama rekan-rekan semaskapai untuk menambah penghasilan karena gajiinya sangat rendah bila dibandingkan dengan pengalaman dan tugas mereka.[4]
Meski Dirgantara Air Service memberitahu konsekuensi tindakan indisipliner kepada semua personel dan staf, Dirgantara Air Service tidak pernah melakukan pengawasan. Tidak adanya pengawasan menunjukkan bahwa personel yang terlibat percaya bahwa praktik takresmi ini menguntungkan dan akan dilakukan kembali bila ada kesempatan.[4]
Praktik ini berubah menjadi bahaya keselamatan apabila para awak, tergoda oleh jumlah uang yang akan diperoleh dan sadar bahwa ada konsekuensi negatif, mulai mengabaikan batas operasi pesawat terbang. Semua ini dianggap tindak pidana dan bentuk sikap mengabaikan keselamatan.[4]
Kesimpulan
KNKT menerbitkan laporan akhir dan penyebab kecelakaan. Kecelakaan disebabkan oleh persepsi keliru Kapten Abdul saat lepas landas. Ia mengira bahwa dengan kecepatan yang lebih tinggi, ia bisa memaksimalkan lepas landas, tetapi mendekatkan jalur terbang dengan hambatan di sekitar bandara. Hidung pesawat terpaksa dinaikkan lebih tinggi, padahal pesawatnya kelebihan muatan karena Kapten Abdul dan awak darat membiarkan jumlah penumpang melebihi jumlah kursi yang tersedia. Kelebihan muatan ini disebabkan oleh salah hitung berat seluruh muatan, menerima suap penumpang, dan tidak adanya pengawasan yang dapat mencegah praktik semacam ini. Ketika pesawat terbang naik, kecepatan mulai menurun. Ketika pesawat sudah melewati hambatan terbang, kecepatannya turun drastis. Pesawat tidak bisa terbang lebih jauh dan jatuh ke hutan.[4]