Kampung Adat Ratenggaro adalah sebuah kampung adat yang terletak di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berada di ujung selatan dan di pesisir pantai yang indah. Desa ini berjarak dari Tambolaka, ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya sejauh 56 kilometer.[1] Belum tersedia akomodasi umum yang dapat digunakan pengunjung untuk mencapai ke desa ini sehingga pengunjung harus menyewa kendaraan atau jasa travel dari Tambolaka yang berjarak sekitar 56 km ke lokasi Desa Ratenggaro. Akses jalanan dari Tambolaka menuju Ratenggaro dapat ditempuh dalam waktu 1,5 hingga 2 jam dengan kondisi jalan beraspal yang terpelihara baik.[2]
Kepercayaan utama masyarakat Desa adat Rateranggo adalah Marapu, yakni kegiatan pemujaan terhadap para leluhur yang masih menjadi tradisi yang dipegang teguh. Tradisi ini mempengaruhi bentuk rumah yang mereka tempati. Rumah-rumah penduduk merupakan rumah panggung dengan menara atap yang menjulang tinggi. Tinggi menara atapnya bahkan ada yang mencapai 30 meter dan tertinggi di antara menara-menara rumah adat yang ada di Pulau Sumba. Menara atap yang menjulang tinggi, selain melambangkan status sosial, juga sebagai bentuk penghormatan terhadap arwah para leluhur sehingga rumah selain sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai sarana pemujaan.[1]
Sejarah
Ratenggaro sendiri berasal dari kata rate (kuburan) dan nggaro atau gaura yaitu nama suku yang pertama tinggal di kampung tersebut. Saat perang antar suku, kampung ini berhasil direbut dari suku Garo dan korban yang kalah perang dikuburkan dalam kubur batu di desa tersebut. Kubur batu sendiri bentuknya persegi seperti meja. Total ada 304 kubur batu yang berada di sini.[3]
Kebakaran tahun 1964
Kebakaran yang nyaris memusnahkan kampung adat Ratenggaro pernah terjadi tiga kali. Kebakaran pertama kali yang terjadi pada sebelum tahun 1964 akibat lontaran anak panah dari luar kampung yang dipicu oleh persaingan antar kampung. Kampung adat itu semuanya terbakar. Pada tahun 1964, insiden kebakaran terjadi lagi saat kemeriahan pesta adat dimalam hari. Seperti perisitiwa kebakaran sebelumnya, peristiwa kebakaran yang kedua ini membuat semua penduduk kehilangan rumah mereka dan seluruh warga terpaksa mengungsi ke luar kampung.
Kebakaran tahun 2004
Peristiwa kebakaran ketiga terjadi pada tahun 2004. Padahal saat itu baru separuh kampung didirikan kembali. Tiga Belas rumah habis terbakar pada pada peristiwa tersebut.[1]
Kampung adat Rateranggo sudah dilakukan pembangunannya kembali. Mendirikan rumah merupakan pekerjaan besar bagi masyarakat setempat sehingga selain melibatkan penduduk kampung adat Rateranggo tapi juga memerlukan ritual restu kepada para leluhur. Sebelum mendirikan rumah, tetua desa adat melakukan ritual dengan tujuan memohon petunjuk apakah diizinkan membangun rumah oleh para leluhur atau tidak. Jika disetujui maka penduduk kampung adat Rateranggo akan melaksanakan rangkaian upacara selama proses pembangunan rumah.[1]
Pola pemukiman
Ada empat buah rumah khusus yang sangat disakralkan penduduk setempat, yaitu Uma Katode Kataku, Uma Kalama (sebagai simbol dari ibu), Uma Katode Kuri, dan Uma Katode Amahu (sebagai simbol dari saudara ayah dan ibu). Posisi rumah-rumah ini mewakili empat penjuru mata angin dan letaknya saling berhadapan.Uma Katode berada di bagian paling selatan dan menghadap ke utara. Rumah itu berhadapan dengan Uma Kalama, yang menghadap ke selatan. Uma Katode Kuri berada di timur menghadap ke barat, berhadapan dengan Uma Katode Amahu yang menghadap ke timur. Pendiri kampung tinggal di Uma Katode Kataku yang berada paling selatan menghadap ke utara untuk mengingatkan bahwa leluhur mereka berasal dari utara. Pada tiang-tiang utama empat buah rumah khusus tersebut di tiang utamanya terdapat cincin atau gelang. Posisi dan jumlah rumah-rumah yang terdapat di Desa adat Rateranggo tidak pernah berubah dari dahulu dan semuanya terbuat dari bahan-bahan alami yang terdapat di sekitar mereka.[1]
Desa adat Ratenggaro juga banyak terdapat kubur batu tua yang jumlahnya mencapai 304 buah yang usianya bahkan berasal dari zaman megalitikum 4.500 tahun silam. Di antara kubur-kubur tua tersebut terdapat enam titik yang dikeramatkan, yaitu Makam pendiri Ratenggaro yakni gaura dan Isterinya Mamba dan empat buah tugu yakni tugu pertama sebagi segel kampung sebagai penanda teritori kampung, tugu kedua Katode yaitu batu bertuah yang dipercaya mendatangkan kemenagan dalam berperang, tugu ketiga adalah kubur Ambu Lere Loha, yang dipercaya mempunyai kekuatan guntur kilat dan yang terakhir adalah tugu untuk meminta hujan.[1][4][5]
Destinasi wisata
Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan di kampung adat ini. Pertama, kita dapat menaiki kuda dengan menyewa seharga 50 ribu rupiah. Kedua, kita dapat bermain di pantai yang lokasinya tidak jauh dari kampung ini. Ketiga, kita dapat memakai baju adat Sumba. Kita dapat menyewa dari para penjual kain tetapi pastikan tanyakan dari awal berapa harga sewanya. Orang Sumba sering sekali tidak mau jujur bicara di awal, dan meminta harga yang cukup mahal di akhir. Pengalaman kami, mereka langsung memakaikan baju adat tapi di akhir minta harga yang tidak masuk akal, sekitar 150 ribu per orang untuk sesi foto 15 menit saja.[5]