Penguasa Kerajaan Prancis telah berkuasa sejak pendirian Kerajaan Francia Barat pada tahun 843 hingga keruntuhan Kekaisaran Kedua Prancis pada tahun 1847, dengan beberapa interupsi. Mulai dari periode Raja Karl yang Botak pada tahun 843 hingga Raja Louis XVI pada tahun 1792, Prancis mempunyai 45 raja yang pernah berkuasa. Dengan menambahkan 7 kaisar dan raja yang berkuasa setelah terjadinya Revolusi Prancis, total seluruh penguasa Prancis adalah sebanyak 52 orang.
Pada Agustus 843, Perjanjian Verdun membagi negeri kaum Franka menjadi tiga kerajaan, satu di antaranya (Francia Tengah) tidak bertahan lama; dua lainnya berkembang menjadi Prancis (Francia Barat) dan, nantinya, Jerman (Francia Timur). Pada saat itu, wilayah bagian timur dan barat negeri tersebut sudah memiliki bahasa dan budaya yang berbeda.
Pada awalnya, kerajaan ini dikuasai terutama oleh dua dinasti, Karoling dan Robertian, yang memerintah secara bergantian dari tahun 843 hingga 987, ketika Hugh Capet, leluhur dinasti Kapetia, naik takhta. Para penguasa kerajaan ini menggunakan gelar "Raja Orang Franka" hingga akhir abad kedua belas; penguasa pertama yang memakai gelar "Raja Prancis" adalah Philippe II yang memerintah dari tahun 1180 hingga 1223. Dinasti Kapetia terus berkuasa dari tahun 987 hingga 1792 dan sekali lagi dari tahun 1814 hingga 1848. Namun, cabang-cabang dinasti Kapetia yang berkuasa setelah tahun 1328, umumnya diberi nama khusus Valois (hingga tahun 1589), Bourbon (dari tahun 1589 hingga 1792 dan dari tahun 1814 hingga 1830), dan Orléans (dari 1830 hingga 1848).
Dalam kurun waktu singkat ketika Konstitusi Prancis 1791 berlaku (1791–92) dan setelah Revolusi Juli tahun 1830, gelar "Raja Rakyat Prancis" mulai digunakan sebagai ganti gelar "Raja Prancis". Hal ini merupakan inovasi konstitusional yang dikenal dengan istilah monarki populer, yang menghubungkan gelar raja dengan rakyat Prancis ketimbang kepemilikan wilayah Prancis.[1]
Bersama dengan Wangsa Bonaparte, "kaisar Prancis" berkuasa di Prancis pada abad ke-19 antara tahun 1804 dan 1814, sekali lagi pada tahun 1815, dan antara tahun 1852 dan 1870.
Dari abad ke-14 hingga tahun 1801, raja Inggris (dan kemudian Britania Raya) mengklaim takhta Prancis, meskipun klaim tersebut hanya murni sebatas nama kecuali pada periode singkat selama Perang Seratus Tahun ketika Henry VI dari Inggris memiliki kendali atas sebagian besar wilayah Prancis Utara, termasuk Paris. Pada tahun 1453, sebagian besar orang Inggris sudah diusir dari Prancis dan klaim Henry sejak saat itu dianggap tidak sah; historiografi Prancis umumnya tidak mengakui Henry sebagai raja Prancis.
Gelar
Gelar "Raja Orang Franka" (bahasa Latin: Rex Francorum) berangsur-angsur hilang setelah tahun 1190, selama masa pemerintahan Raja Philippe II (tetapi gelar FRANCORUM REX terus digunakan, contohnya oleh Louis XII pada tahun 1499, oleh François I pada tahun 1515, dan oleh Henri II sekitar tahun 1550). Gelar ini digunakan pula pada koin hingga abad kedelapan belas.[a] Dalam kurun waktu singkat ketika Konstitusi Prancis 1791 berlaku (1791–92) dan setelah Revolusi Juli tahun 1830, gelar "Raja Rakyat Prancis" mulai digunakan sebagai ganti gelar "Raja Prancis (dan Navarra)". Hal ini merupakan inovasi konstitusional yang dikenal dengan istilah monarki populer, yang menghubungkan gelar raja dengan rakyat Prancis ketimbang kepemilikan wilayah Prancis.[1]
Selain Kerajaan Prancis, berdiri pula dua Kekaisaran Prancis, yang pertama dari tahun 1804 hingga 1814 dan sekali lagi pada tahun 1815, didirikan dan dikuasai oleh Napoleon I, dan yang kedua dari tahun 1852 hingga 1870, didirikan dan dikuasai oleh keponakannya Napoleon III (juga dikenal dengan nama Louis-Napoleon). Mereka menggunakan gelar "Kaisar Prancis".[3][4]
Nama Prancis berasal dari suku bangsa Jermanik yang disebut Franka. Raja-raja Merovingia pada awalnya adalah kepala-kepala suku, yang paling awal adalah Chlodio, kemungkinan ayah dari Merovek, yang menurunkan Dinasti Merovingia. Clovis I, cucu Merovek, adalah orang pertama yang menjadi raja. Setelah kematiannya, kerajaannya dibagi di antara anak-anaknya, Soissons (Neustria), Paris, Orléans (Burgundy), dan Metz (Austrasia). Beberapa raja Merovingia berhasil mempersatukan kembali kerajaan tersebut. Tapi setelah kematian mereka, sesuai tradisi bangsa Franka, kerajaannya dipecah-pecah lagi di antara anak-anak mereka. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Daftar Raja Franka.
Raja Neustria dan Burgundia Raja Bangsa Franka (719–721)
Raja wangsa Meroving yang terakhir, yang dikenal sebagai raja malas, tidak memegang kekuasaan apa pun, sementara Wali kota Istana yang sebenarnya memerintah. Ketika Theuderic IV meninggal tahun 737, Wali kota Istana Charles Martel membiarkan takhta tersebut kosong dan terus memerintah hingga ia meninggal tahun 741. Anaknya, Pippin dan Carloman, pada mulanya mengangkat Childeric III sebagai raja pada tahun 743, tetapi pada tahun 751 Pippin menggulingkan Childerich dan naik takhta sendiri.
Dari raja-raja dinasti Karoling, tiga di antaranya bukan dari dinasti Karoling, yaitu Odo dan saudaranya, Robert I, dan menantu Robert, Raoul/Rudolph. Akhirnya dinasti Robert menjadi Dinasti Kapetia ketika Hughues Capet (anak Hughues yang Agung, anak Robert I) naik takhta tahun 987.
Wangsa Kapetia dari keturunan Hugh Kapet, memerintah Prancis mulai tahun 987 hingga 1792 (Revolusi Prancis), dan memerintah sesaat kemudian pada 1814 hingga 1848. Cabang dinasti ini yang memerintah setelah 1328 disebut dengan nama cabangnya, yaitu Wangsa Valois dan Wangsa Bourbon.
Dibentuk setelah kekalahan Louis-Napoléon dalam Perang Prancis-Prusia pada tahun 1870 yang mengakibatkan jatuhnya Kekaisaran Prancis Kedua dan berakhir dengan terbentuknya Vichy Prancis setelah Pertempuran Prancis oleh Nazi Jerman pada tahun 1940.
^Pascal, Adrien (1853). Histoire de Napoléon III, Empereur des Français. Paris, France: Barbier. hlm. 359.
^From 22 Juni to 7 July 1815, Bonapartists considered Napoleon II as the legitimate heir to the throne, his father having abdicated in his favor. However, the young child's reign was entirely fictional, as he was residing in Austria with his mother. Louis XVIII was reinstalled as king on 7 July.
The history of France as recounted in the Grandes Chroniques de France, and particularly in the personal copy produced for King Charles V between 1370 and 1380 that is the saga of the three great dynasties, the Merovingians, Carolingians, and the Capetian Rulers of France, that shaped the institutions and the frontiers of the realm. It should be noted that this work was commissioned at a time that France was embroiled in the Hundred Years' War with England, a war fought over hereditary claims to the throne of France. It must therefore be read with a careful eye toward biases meant to justify the Capetian claims of continuity and inheritance.
--, "Généalogie des Rois de France". Texte d'armée de wismes. Editions Artaud Frères. Photos ARTAUD et la Goélette. 44470 Carquefou (Nantes). Imprimé en C.E.E. 1995.
Yang dicetak miring adalah penguasa yang diperdebatkan atau pemerintahan interim
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan