Cao (Bahasa Makassar dan Bugis : ᨌᨕᨚ ) adalah makanan tradisional khas suku Bugis dan suku Makassar, terutama di wilayah kepulauan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Makanan ini dihasilkan dari proses fermentasiragi dengan beberapa bahan tradisional yang disimpan dalam botol. Biasanya yang dijadikan sebagai bahan baku utama adalah ikan kecil atau udang yang difermentasi dengan ragi saccharomyces dan disimpan dalam botol yang lamanya sekitar 3 sampai 7 hari. Setelah proses fermentasi selesai, biasanya makanan ini berubah menjadi warna merah jambu, karena warna udang yang terfermentasi dengan baik.[1][2]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cao berasal dari lemabahasa Makassar yang didefinisikan sebagai ikan kecil yang diawetkan dalam botol dengan menggunakan garam dan pengawet kemudian diberi pewarna. Cao dalam botol dapat bertahan dan awet sampai tiga bulan jika disimpan di dalam kulkas atau tertutup rapat dalam suhu yang tetap normal. Walaupun memiliki aroma yang khas atau aneh karena fermentasinya, cao bisa diolah menjadi hidangan lezat dan nikmat dengan tambahan bumbu-bumbu khusus untuk memberikan aroma wangi yang enak ketika ditumis. Cao biasanya ditumis dan ditambahkan bumbu serta mentimun dan pisang batu yang masih muda.[3]
Sejarah
Dalam sejarahnya, cao berasal dari Pulau Salemo, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Awalnya, penduduk yang berada di pulau ingin menukarkan ikan dengan penduduk yang berada di darat (daratan Sulawesi). Namun, karena jarak yang jauh dan berbagai halangan pada waktu itu, maka salah seorang yang berada di Pulau Salemo berpikiran ingin membuat makanan yang tahan sampai berbulan-bulan, setelah itu dibuatlah cao yang begitu murah dan bahan-bahannya terjangkau.
Bahan-bahan
Dalam pembuatan cao dibutuhkan bahan berupa nasi, garam, ragi, vetsin, pewarna makanan dan umumnya daging yang digunakan adalah daging udang, ikan tembang, atau ikan teri (ikan kecil).