Busana tradisional Gorontalo yang disebut juga sebagai pakaian tradisional Gorontalo merupakan busana adat sekaligus gaya pakaian tradisional yang digunakan oleh masyarakat Gorontalo di Pulau Sulawesi. Suku Gorontalo merupakan penduduk mayoritas dan terbesar di wilayah Semenanjung Utara Sulawesi.
Pakaian adat suku Gorontalo memiliki unsur otentik dengan ornamen yang indah dan beragam sebagai perpaduan budaya Gorontalo dengan berbagai budaya yang masuk dan bercampur di masyarakat.
Beberapa bentuk kebudayaan atau tradisi adat istiadat yang paling banyak berkembang dan menarik perhatian umum dalam pelaksanaannya khususnya di daerah Gorontalo adalah:
Upacara ritual keagamaan
Upacara adat kebesaran
Upacara adat tradisional
Kesultanan Gorontalo dengan falsafah adatnya memiliki nilai yang luar biasa karena adat tersebut berlandaskan agama atau syariat Islam, sehingga berbagai adat yang dijalankan senantiasa merujuk kepada al-quran dan sunnahRasulullah yang dipegang teguh oleh masyarakat Gorontalo.
Masyarakat Gorontalo memandang bahwa adat sebagai seperangkat norma (tata nilai) beserta aturan sebagai hasil rancangan para pendahulunya yang sumber utamanya berasal dari ajaran agama Islam. Adat ini dibuat adalah untuk mengatur bagaimana hubungan tingkah laku manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam sekitarnya dan lain sebagainya.
Adat Gorontalo lahir dan terbentuk melalui proses islamisasi Gorontalo yang panjang. Proses itu bersifat historis, dialogis-dinamis, karena sebelum Islam menjadi agama resmi, telah hidup adat dan tradisi di tengah masyarakat Gorontalo.[3]
Proses akomodatif pertama pada masa Sultan Amai melahirkan rumusan ”Syaraa topa-topango adati”, yang berarti ”Syarak bertumpu pada adat”.
Proses otoritatif syara' kedua pada era Raja Matolodula Kiki (1550-1585), putra dan penerus Raja Amai melahirkan falsafah "Adati hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hula'a to adati” yang berarti ”Adat bersendikan pada syarak, dan syarak bersendikan pada adat”
Dan proses evaluatif-validatif ketiga pada zaman Raja Eyato (1673-1679) melahirkan rumusan ”Adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Kuru'ani” yang berarti ”Adat bersendi pada syarak, dan syarak bersendi pada al-Quran”.[4]
Historisitas Islam Gorontalo (antara Islam dan adat) melahirkan adat yang terlembagakan (Adati pohu-pohutu), seperti upacara penyambutan tamu, proses dan prosesi pernikahan, kematian dan penobatan (pengukuhan kepala daerah), dan adat tidak terlembagakan, seperti tradisi molontalo, mopolihu lo limu, momeati, mongubingo, dan tumbilo tohe.[5][6][7]
Warna Adat
Adat Gorontalo mengenal empat warna adat yang disebut dengan "Tilabataila", yakni Merah, Kuning, Hijau dan Ungu. Ke-empat warna adat ini biasanya menjadi pakem pemilihan warna dalam pakaian adat Gorontalo
^Kau, S.A., 2020. Islam dan Budaya Lokal Adat Gorontalo: Makna Filosofis, Normatif, Edukatif, dan Gender (Vol. 1). Inteligensia Media.
^Dr. Sofyan a.p. Kau, M.Ag (ketua), dr. H. Kasim yahiji, M.Ag (anggota), Hamid Pongoliu, M.Hi (anggota), Ilyas Daud, m.si. (anggota). (2015). Laporan penelitian kompetitif adat gorontalo: “studi atas basis filosofis-teologis”. Lembaga penelitian dan pengabdian pada masyarakat, institut agama islam negeri (iain), sultan amai gorontalo
^Kau, S.A. and Yahiji, K., 2018. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal: Studi Islam tentang Ritus-Ritus Kehidupan dalam Tradisi Lokal Muslim Gorontalo (Vol. 1). Inteligensia Media.
^BUATO, Z., 2016. Makna Simbol dalam Prosesi Adat Mome'ati Masyarakat Gorontalo. Skripsi, 1(311411181).
^ARIFIN, A., 2018. NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM TRADISI MOME'ATI SUKU GORONTALO DI DESA PUSUNGI KECAMATAN AMPANA TETE KABUPATEN TOJO UNA-UNA (Doctoral dissertation, Institut Agama Islam Negri).
^Karim, H. and Samsudin, T., 2020. Peran Perempuan dalam Adat Istiadat Gorontalo. AS-SYAMS, 1(2), pp.96-120.