Buhun adalah ajaran kuno para leluhur Sunda pra-Hindu dan sudah ada jauh sebelum agama-agama dari daratan Asia masuk ke kepulauan Nusantara, sehingga ajaran Buhun yang murni tidak mengenal reinkarnasi, surga, neraka ataupun moksa, tetapi mereka mengenal tiga jenis kematian, yaitu Paéh Kasarad atau mati dengan sukma (ruh) menjadi tumbal siluman, Paéh Kakungkung atau mati tetapi sukmanya terperangkap didalam waruga (raga) dan Sukmanya tersebut akan punah seiring membusuknya Waruga atau mati dalam kepunahan, dan Paéh Sawilujeungna atau sukmanya keluar dari waruga dengan selamat menuju alam kahyangan yang dipercaya sebagai alam keabadian.
Ajaran Buhun murni atau biasa disebut Kepercayaan Jati Buhun, memiliki ajaran yang terdiri dari Pikukuh-pikukuh atau ketetapan-ketetapan yang disampaikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Aliran dalam Buhun
Kepercayaan Buhun terdiri dari beberapa aliran, berbeda dengan Sunda Wiwitan sebagai aliran kepercayaan terbesar di Indonesia yang tersebar di beberapa wilayah selatan Banten dan Jawa Barat mulai dari Kanekes di Banten yang penduduknya dikenal sebagai suku Baduy, kemudian Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi yang didiami oleh orang Ciptagelar, Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Kampung Sindang Barang di Kabupaten Bogor dan Cigugur di Kabupaten Kuningan. Sedangkan untuk aliran kepercayaan Buhun pada saat ini hanya dianut oleh beberapa orang saja yang tersebar di beberapa wilayah kecil di wilayah utara Jawa Barat. Akan tetapi menurut Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama Sunda Wiwitan adalah bagian dari agama Buhun.[1]
- Kepercayaan Jati Buhun dianut oleh beberapa orang di Babakan Cikao, Kabupaten Purwakarta, Jati Buhun dianggap sebagai aliran Buhun murni dan dimurnikan dan dipercaya pernah tersebar mulai dari Semenanjung Malaya, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, dan Pulau-pulau kecil disekitarnya, merujuk dari ditemukannya konsep Sang Hyang milik kepercayaan Buhun di wilayah-wilayah tersebut.
- Kepercayaan Buhun di Kampung Salapan, Kabupaten Karawang masyarakatnya sangat unik dimana kampung tersebut hanya ditempati oleh sembilan rumah yang dihuni oleh sembilan kepala keluarga (salapan berasal dari bahasa Sunda yang artinya salapan), bila ada yang menikah atau bertambahnya keluarga baru, maka harus ada yang pindah dari kampung tersebut, sehingga kampung tersebut hanya ditempati oleh sembilan rumah dan sembilan kepala keluarga saja. Kepercayaan Buhun di kampung Salapan sudah sangat terpengaruh oleh ajaran Islam yang semakin berkembang disekitarnya.
- Aliran Kepercayaan Buhun Kranggan di Kranggan, Kota Bekasi, Jawa Barat sudah mulai terpengaruh oleh ajaran Hindu, Buddha, dan Islam sejak masa kejayaan kerajaan Pajajaran. Menurut keyakinan masyarakat setempat, tradisi Buhun mengandung arti ilmu kesaktian dan upacara sakral yang diwariskan secara turun-temurun oleh Prabu Siliwangi kepada orang-orang Kranggan. Ritual ini antara lain berupa upacara sedekah bumi yang diadakan setiap bulan Apit, atau dalam kalender Hijriah disebut Dzulkaidah.[2][3]
Referensi
|
---|
Agama dan kepercayaan | |
---|
Ireligiusitas | |
---|
Sejarah | |
---|
Kajian agama | |
---|
Hukum dan hak | |
---|