Pada tanggal 2 April 2024, Kementerian Perhubungan mencabut status bandara internasional dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sejarah Singkat
Pada tanggal 1 Januari1920, karena suatu hal konsesi atas tanah perkebunan itu berpindah tangan kepada Palembang Maatschappij (Palembang MIJ) atau NV Palembang Maskapai. Tahun itu terdapat kabar pionir penerbang bangsa Belanda dikepalai oleh Jan Pieterszoon Coen akan menerbangkan pesawat kecilnya Fokker dari Eropa ke wilayah Hindia Belanda dalam waktu 20 jam terbang. Maka Palembang MIJ yang memegang konsesi atas tanah itu, menyediakan sebidang lahan untuk diserahkan sebagai lapangan terbang pertama di Kota Palembang. Lapangan terbang tersebut kemudian dikenal sebagai Pelabuhan Udara Talang Betutu, karena berada di kelurahan Talang Betutu.[1]
Pada tanggal 1 Januari1950, bandara ini menjadi lapangan udara bersama baik untuk kegunaan sipil status bandara ini menjadi Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II.
Pada saat Provinsi Sumatera Selatan resmi terpilih sebagai tuan rumah PON XVI tahun 2004, pemerintah berupaya untuk memperbesar kapasitas bandara sekaligus mengubah status bandara ini menjadi bandara internasional. Gedung terminal baru Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II akhirnya berhasil rampung dan diresmikan pada 1 Januari1990.
Pada tanggal 28 Maret1981, lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok ekstremis Islam "Komando Jihad", membajak pesawatPenerbangan 206Garuda Indonesia setelah lepas landas dari Pelabuhan Udara Sipil Talangbetutu ke Bandara Polonia, Medan. Pembajakan yang terjadi di Pelud Talang Betutu ini dikenal dengan sebutan PeristiwaWoyla. Penerbangan dengan pesawat DC-9Woyla tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang menyamar sebagai penumpang. Setelah mendarat sementara untuk mengisi bahan bakar di Bandara Penang, Malaysia, akhirnya pesawat tersebut terbang dan mengalami drama puncaknya di Bandara Don Mueang di Bangkok, Muang Thai tanggal 31 Maret.[2]
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla yang berangkat dari Pelabuhan Udara Sipil Talangbetutu ini menjadi peristiwa terorisme bermotif "jihad" pertama yang menimpa Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.[2]
Pengembangan
Bandara ini diresmikan menjadi bandara bertaraf internasional dan bisa didarati oleh pesawat yang berbadan besar pada 1 Januari1970. Pengembangan bandara tersebut mulai dilakukan pada 1 Januari1990 dengan total biaya Rp366,7 miliar yang berasal dari ';'Japan International Bank Corporation';' Rp251,9 miliar dan dana pendamping dari APBN sebesar Rp114,8 miliar.
Antara perkembangan yang dilaksanakan adalah perpanjangan landas pacu sepanjang 300 meter x 60 meter menjadi 3.000 meter x 60 meter, pembangunan tempat parkir kendaraan seluas 20.000 meter yang dapat menampung 1.000 kendaraan serta pembangunan gedung terminal penumpang tiga lantai seluas 13.000 meter persegi yang dapat menampung 1250 penumpang, dilengkapi garbarata (aerobridge) dan terminal kargo dan bangunan penunjang lainnya seluas 1.900 meter persegi.
Hasil pengembangan ini membuat Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II dapat didarati pesawat Airbus A330, Airbus A330neoBoeing 747, Boeing 777, dan sejenisnya. Selain itu, arus penumpang diproyeksikan akan naik dari 7.720 penumpang menjadi 16.560 penumpang. Setelah itu akan ada pembangunan jalan tol Indralaya-Palembang-Bandara Sultan Mahmud Badarudin II untuk mempermudah akses ke Bandara.