Badrul Kamal lahir di Bogor, 20 Desember 1945 dari pasangan KyaiHaji Jahja Sudja'i dan Siti Djuariah.[1] Ia terlahir dari keluarga agamis, manakala ayahnya merupakan seorang ulama di kampungnya. Semasa kecilnya, ayahnya tidak mengizinkan Badrul untuk bersekolah di pondok pesantren. Ia disekolahkan di Sekolah Rakyat kemudian melanjutkan jenjang sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Bogor dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Bogor. Ketika memasuki masa remaja, Badrul aktif mengikuti organisasi-organisasi kepemudaan sehingga Ia mudah dikenali oleh kalangan teman sebayanya.
Setelahnya, Badrul menempuh studi mengenai birokrasi di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri antara 1966 sampai 1970,[1] kemudian melanjutkan strata duanya di Institut Ilmu Pemerintahan. Ketika menjadi mahasiswa, ia terlibat aktif dalam organisasi Kesatuan Aksi Pelajar Pemuda Indonesia (KAPPI) di Bogor. Keaktifannya itu membuat nama Badrul cukup dikenal hingga Jakarta.
Badrul menikahi perempuan asal Sukabumi, Jawa Barat, yakni Yulisda.[1] Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga orang anak, diantaranya Erlien Verliana Yudha, Erlan Erlangga Komara, dan Elva Adhyaksani Gumelar.
Perjalanan karier
Badrul mengawali kiprahnya sebagai birokrat pada 1970 setelah diangkat menjadi Pejabat Menteri Pamongpraja di Cigudeg. Kemudian, ia menjabat sebagai Camat Cigudeg pada tahun 1972 dan dimutasi dari jabatannya sebagai Camat Ciawi pada 1973. Pada tahun 1982, ia ditunjuk untuk menjadi Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor, lalu ia menjabat Kepala Bidang Pembangunan Bappeda Bogor. Setelahnya diangkat menjadi Sekretaris Bappeda pada 1988. Saat itu, jabatan yang diembannya cukup strategis.
Pada tahun 1991, Badrul ditunjuk untuk menjabat Asisten II Pemerintah Kabupaten Bogor. Ketika menjabat, ia melakukan studi banding ke Singapura bersama dengan beberapa utusan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bogor.[2] Dalam kurun waktu tahun 1991 hingga 1993, Badrul Kamal mengemban amanat sebagai Pejabat Yang Melaksanakan Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bogor. Setelah itu, ia menduduki jabatan tertinggi sepanjang kariernya sebagai birokrat, yakni Pelaksana Tugas Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Bogor pada 1994. Pada tanggal 31 Oktober 1997, pemerintah mempercayai Badrul untuk menangani pemerintahan administratif di Depok, sebelum akhirnya status Depok sebagai kota administratif dinaikkan menjadi kotamadya.[3][4]
Dalam upaya penanaman modal dan meningkatkan pendapatan daerah, Badrul berinisiatif membangun jalan tol di Jalan Juanda demi menarik investor.[3] Namun sebelumnya, ia melakukan pembebasan lahan dari Kecamatan Limo hingga wilayah Citayam. Setelahnya, Pemerintah Kota Depok menjalankan tender dengan para investor. Kebijakannya ini menumbuhkan perekonomian melalui investasi atau penanaman modal. Dia mendelegasikan sebagian kewenangannya sebagai Wali Kota kepada dinas-dinas. Hal ini dilakukannya untuk menyederhanakan sistem birokrasi agar kinerja pemerintah kota lebih efisien. Pada saat itu, Pendapatan Asli Daerah Kota Depok meningkat, bahkan melebih pendapatan di Kota Bekasi dan Kota Bogor.
Pemerintah Kota Depok di bawah kepemimpinannya mengentaskan kemiskinan melalui pembebasan biaya pendidikan bagi pelajar prasejahtera dan juga di bidang kesehatan untuk masyarakat menengah ke bawah. Terdahulu, Badrul melaksanakan pemetaan terkait wilayah yang berada dalam garis kemiskinan di Kota Depok.[2] Selain itu, ia mengalokasikan dana untuk pemberian kredit tanpa agunan bagi pelaku usaha mikro kecil menengah.
Di bidang kesehatan, Badrul Kamal merencanakan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Depok dengan melakukan pembebasan lahan lebih dulu. Pembangunan mulai dilakukan sejak 2004 secara bertahap dibangun akses hingga gedung utama.[5] Meski rumah sakit dapat digunakan, akan tetapi belum dapat dioperasionalkan sepenuhnya hingga akhir masa jabatan Badrul.[6]
Pemilukada 2005
Setelah purna tugas dari jabatan Wali Kota, Badrul diusung oleh Koalisi Kebersamaan, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Damai Sejahtera (PDS) sebagai calon Wali Kota Depok didampingi oleh seorang anggota DPRD Kota Depok dari Fraksi PPP, Syihabuddin Ahmad. Pada 13 April 2005, PDI-P, PPP, dan PDS menarik kembali dukungannya terhadap Badrul untuk mendukung wakilnya di pemerintahan, Yus Ruswandi sebagai calon Wali Kota.[7]Partai Demokrat menarik dukungannya terlebih dulu untuk mengusung calon lain setelah sebelumnya menyatakan akan mencalonkan Badrul Kamal.[8]
Setelah perhitungan suara pasca pemilihan kepala daerah, pasangan calon Nur Mahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra yang didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera unggul suara dan dinyatakan sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok terpilih menurut Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok.[9] Akibatnya, pendukung loyalis Badrul Kamal melakukan aksi unjuk rasa di depan Balai Kota Depok hingga kantor Departemen Dalam Negeri.[10][11] Atas hasil dari perhitungan suara tersebut, Badrul mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat bersama dengan tim pengacaranya.[12] Usahanya tersebut membuahkan hasil. Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad dinyatakan menang atas pertimbangan dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat.[13] Hasil tersebut diperkuat oleh Mahkamah Agung, meskipun keputusan dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat diputuskan setelah 14 hari Badrul mengajukan gugatan.[14]
Setelah Pengadilan Tinggi Jawa Barat memutuskan kemenangan sah Badrul Kamal, DPRD Kota Depok menyerukan kepada Menteri Dalam Negeri agar segera dilakukan pelantikan Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih.[15][16] Sebaliknya, tim kuasa hukum dari pasangan calon Nur Mahmudi-Yuyun tidak mengindahkan pernyataan dari DPRD Kota Depok dan menginginkan agar pelantikan ditunda.[17] Akan tetapi, DPRD Kota Depok memberi keterangan bahwa apabila Mahkamah Agung membatalkan kemenangan Badrul, maka DPRD Kota Depok bersedia memberi peluang kepada kandidat yang terpilih.[18] Pihak KPUD Kota Depok sendiri melayangkan Peninjauan Kembali terhadap Mahkamah Agung.[19]
Pada 16 Desember 2005, Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali dengan hasil membatalkan kemenangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad.[20] Pada akhirnya, pendukung loyalis Badrul menurunkan massa untuk berdemonstrasi menolak keputusan Mahkamah Agung tersebut.[21] Aksi ini dilakukan di depan Balai Kota Depok dengan diikuti oleh beberapa organisasi masyarakat dan partai politik, seperti Partai Golkar, PKB, PAN, dan PPP, serta para aktivis Kota Depok.[22]
Terakhir, kubu Badrul mengajukan permohonan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal 2006.[23] Selain itu, pihaknya juga mengusulkan uji sengketa atas kewenangan lembaga tinggi negara. Berdasarkan putusannya, MK menetapkan ketetapan yang sama dengan Mahkamah Agung, yakni membatalkan kemenangan Badrul.[24] Dengan demikian, ditetapkan oleh MK bahwa Nur Mahmudi-Yuyun terpilih sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota terpilih.[25]
Pemilukada 2010
Pemilukada Depok 2005 tidak membuat Badrul harus mengakhiri karier politiknya. Ia maju sebagai calon Wali Kota Depok dengan didampingi oleh Agus Supriyanto.[26] Mereka didukung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, PDS, PKB, dan PDP. Partai Hanura yang mendukung pasangan calon Yuyun Wirasaputra dan Pradi Supriatna memiliki dukungan ganda, sehingga sebagian dari kadernya mendukung Badrul-Agus.[27] Meski dirinya mencalonkan diri sebagai calon wali kota, akan tetapi ia justru tidak termasuk sebagai daftar pemilih tetap.[28]
Rivalnya dalam pemilihan kepala daerah, Nur Mahmudi Ismail kembali menduduki kursi Wali Kota berdasarkan rapat pleno KPUD Kota Depok.[29] Pihak Badrul Kamal tidak menerima keputusan itu dan memilih bersengketa dengan Nur Mahmudi dengan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).[30] Pada November 2010, MK memutuskan untuk tidak menerima gugatan dari para pemohon, termasuk Badrul Kamal.[31]