Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) adalah salah satu lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Badan ini bertugas menyelenggarakan jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BPJPH dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang sejak Oktober 2024 dijabat oleh Haikal Hassan.[1]
Sejarah
Sejak 17 Oktober 2022[2], BPJPH di bawah Kemenag bertanggung jawab dalam mengeluarkan sertifikasi kehalalan yang sebelumnya menjadi wewenang LPPOM MUI. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.[3] Dalam undang-undang tersebut, tugas dan tanggung jawab BPJPH adalah registrasi halal, sertifikasi halal,[4] verifikasi halal, pembinaan dan pengawasan produk halal, dan menerapkan standar kehalalan suatu produk.
Pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, BPJPH ditetapkan sebagai lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) melalui Peraturan Presiden Nomor 153 Tahun 2024.[5]
Label
Pada tanggal 1 Maret 2022, BPJPH meluncurkan logo label "Halal Indonesia" menggantikan label halal yang dibuat berdasarkan segel Majelis Ulama Indonesia. Aqil Irham, selaku kepala BPJPH, mengatakan bahwa label halal ini mengadaptasi nilai-nilai ke-Indonesiaan. Bentuk dasar yang dipilih adalah bentuk gunungan dan motif lurik yang biasa digunakan dalam pakaian surjan. Warna dasar yang dipilih untuk label tersebut adalah ungu.[6] Peluncuran logo ini memicu kontroversi
Logo label halal tersebut adalah tulisan Arab حلال dengan gaya Khat Kufi yang memiliki karakter kaku dan lurus. Begitu logo label tersebut diluncurkan, logo tersebut menuai kontroversi. Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas, menganggap logo tersebut terlalu mengedepankan seni dibandingkan bentukan huruf Arab yang lugas, dan tidak mencantumkan lembaga yang menerbitkan keputusan halal seperti MUI atau BPJPH.[7] Di samping itu, logo ini dituding menjurus kepada Jawa-sentrisme, meski Kemenag membantahnya karena kedua warisan budaya tersebut sudah menjadi kekayaan bangsa dan telah didaftarkan ke UNESCO.[8] Tambahannya lagi, pakar seperti Mohammad Kanif Anwari, staf pengajar di UIN Sunan Kalijaga, juga ikut mengkritik kaidah penulisan huruf Arab pada logo tersebut yang tidak sesuai dengan khat mana pun. Menurutnya, terdapat dua huruf yang bertentangan dengan aturan penulisan huruf Arab, seperti huruf lam yang mirip huruf kaf, serta huruf ḥa yang mirip huruf ṣad, atau alif dalam khat Diwani.[9]
Referensi