Autentisitas adalah konsep dalam psikologi (khususnya psikiatri eksistensial), serta juga filsafat eksistensialis dan estetika (sehubungan dengan berbagai seni dan genre musik). Dalam eksistensialisme, otentisitas adalah seberapa jauh aksi seorang individual bersifat kongruen dengan kepercayaan dan keinginan individual itu, meskipun didera tekanan dari luar. Diri yang sadar dianggap bernegosiasi dengan kehadirannya dalam sebuah dunia material, dan dengan tekanan, kekuasaan, dan pengaruh luar, yang amat berbeda dengan, dan bukan, dirinya itu sendiri. Ketiadaan otentisitas, dalam eksistensialisme, dianggap sebagai mauvaise foi.[2] Himbauan untuk menjadi otentik mirip dengan himbauan Pithia, yaitu "Ketahuilah dirimu sendiri." Akan tetapi, otentisitas bergerak lebih jauh lagi: "Jangan hanya ketahui dirimu sendiri, jadilah dirimu sendiri."[3]
Pandangan mengenai autentisitas dalam kegiatan kebudayaan sangat berbeda-beda. Misalnya, filsuf Jean-Paul Sartre dan Theodor Adorno memiliki pandangan yang berbeda terkait jazz; Sartre menganggap jazz otentik, dan Adorno menganggap jazz tidak otentik (inotentik). Konsep autentisitas sering dibawa dalam subkultur musik, misalnya rock punk dan heavy metal. Dalam genre-genre tersebut, ketiadaan autentisitas biasanya dilabeli dengan epitet poseur.[4] Ada pula fokus terhadap autentisitas dalam genre musik seperti "... house music, grunge, garage rock, hip hop, techno, dan showtune."[5]
Teori
Eksistensialisme
Salah satu masalah terbesar dengan pendekatan abstrak seperti ini adalah, keinginan-keinginan yang sering disebut orang sebagai "kebutuhan terdalam manusia" itu biasanya bersifat tidak jelas, subjektif, dan umumnya terkait dengan budaya seseorang. Hal ini, beserta dengan alasan-alasan lainnya, menyebabkan otentisitas berada dalam "batasan" bahasa; kata ini sering digambarkan sebagai ruang negatif di sekitar inotentisitas (tidak otentik), dengan memberikan contoh-contoh akan hidup yang tidak otentik.[6] Novel-novel karya Sartre mungkin adalah karya yang paling mudah dijangkau untuk penggambaran otentisitas, karena umumnya novel-novel tersebut mengandung karakter dan antipahlawan yang aksi-aksinya berdasar pada tekanan eksternal, yakni tekanan untuk tampak seperti orang tertentu, tekanan untuk mengadopsi sebuah metode hidup, hingga tekanan untuk mengabaikan pandangan moral dan estetik diri sendiri agar mendapatkan eksistensi yang lebih nyaman. Di dalam karyanya juga ada karakter yang tidak memahami alasan mereka bertindak serta karakter-karakter yang menolak fakta krusial mengenai kehidupan mereka sendiri agar dapat menghindari kebenaran yang tidak nyaman. Dengan demikian, karya-karyanya masuk dalam tradisi filsafat ini.
Sartre juga mengeksplorasi betapa memusingkannya pengalaman kebebasan absolut. Dalam pandangan Sartre, pengalaman ini, yang penting sekali demi keberadaan otentisitas, bisa jadi amat memusingkan hingga mengantarkan orang pada hidup yang inotentik. Biasanya, otentisitas dipandang sebagai sebuah konsep yang amat umum dan tidak terhubung dengan ideologi politik atau estetik tertentu. Ini adalah aspek penting otentisitas; karena otentisitas berhubungan dengan "relasi" seseorang dengan dunia, otentisitas tidak dapat dijangkau hanya dengan mengulangi aksi-aksi tertentu atau mengambil posisi-posisi tertentu. Otentisitas berhubungan dengan kreativitas: impetus bagi tindakan harus muncul dari orang itu sendiri dan tidak dari luar. Heidegger mengambil posisi ekstrem dan hanya berbicara dalam istilah-istilah abstrak mengenai mode kehidupan (terminologinya kemudian diadopsi dan disimplifikasi oleh Sartre dalam karya filsafatnya). Karya-karya Kierkegaard (misalnya Panegyric Upon Abraham dari Fear and Trembling) juga banyak yang berfokus pada cerita Alkitab yang tidak bisa ditiru secara langsung. Sartre, sebagaimana telah dicatat di atas, berfokus pada eksistensi yang inotentik sebagai cara untuk menghindari masalah paradoksal yang ia hadapi, yaitu bagaimana caranya memberikan saran untuk sebuah metode kehidupan yang menolak himbauan dari luar.[7]
Otentisitas, menurut Kierkegaard, bergantung pada seorang individu yang menemukan keimanan yang otentik dan menjadi diri sendiri yang nyata. Kierkegaard berpendapat bahwa media berita dan gereja borjuis menyulitkan seorang individu untuk hidup secara otentik dalam sebuah masyarakat. Kierkegaard memandang "media dan gereja sebagai agen tengah yang mengganggu, menutupi jalan orang-orang menuju pengalaman yang nyata, menuju otentisitas, dan menuju Tuhan."[8] Ia berpendapat demikian karena ia menganggap kultur massal menghilangkan signifikansi individual, yang ia istilahkan sebagai "penyamarataan". Kierkegaard berpandangan bahwa media menciptakan sebuah masyarakat yang tidak menciptakan opininya itu sendiri, melainkan menggunakan opini yang dibangun oleh berita. Dalam cara yang sama, ia menginterpretasi agama sebagai sebuah tradisi yang diterima secara pasif oleh individual, tanpa memasukkan pemikiran otentik. Kierkegaard percaya bahwa keimanan yang otentik dapat diraih dengan "menghadapi kenyataan, membuat pilihan, dan kemudian mengikuti pilihan itu dengan bergairah".[8] Filsafat eksistensialis Kierkegaard bertujuan untuk menunjukkan bahwa untuk mencapai otentisitas, seseorang harus menghadapi realitas dan membangun opininya sendiri terkait eksistensi. Agar tidak terganggu oleh penyamarataan, Kierkegaard menyatakan bahwa "Seseorang harus membuat pilihan aktif untuk menyerah kepada sesuatu yang tidak dapat dipahami, membuat lompatan iman menjadi ke dalam sisi religius."[8] Pun jika seseorang tidak ingin berusaha untuk mengembangkan pandangannya sendiri, ia tetap harus melakukannya, dalam perjuangannya menuju keimanan otentik.
Pandangan otentisitas Nietzsche adalah interpretasi ateistik dari opini Kierkegaard. Ia menolak peran agama dalam mencari otentisitas, karena ia lebih setuju dengan mencari kebenaran tanpa harus dibantu agama. Nietzsche percaya bahwa manusia otentik adalah yang sebagai berikut: Seseorang yang meningkatkan dirinya sendiri di atas orang lain demi melintasi batas moralitas konvensional agar berusaha untuk menentukan bagi dirinya sendiri apa yang baik dan apa yang buruk, tanpa memedulikan kebaikan-kebaikan "yang kita kagumi dari nenek moyang kita."[9] Nietzsche menolak pandangan mengenai kebaikan keagamaan karena ia menganggap tidak ada pertanyaan mengenai hal-hal itu dari sang individual. Dalam mengejar otentisitas, seseorang harus menghindari apa yang disebutnya sebagai "moralitas gerombolan".[9] Seseorang perlu menjadi "cukup kuat dan cukup original untuk memulai perkiraan nilai-nilai yang berlawanan, untuk mentransvaluasi, dan untuk membolak-balik 'penilaian abadi'", apabila ia ingin "berdiri di atas kaki sendiri" dan menolak prinsip yang terbangun secara religius.[9] Orang tersebut harus menjadi pemikir bebas dan mampu menteorikan pandangan-pandangan di luar kondisi awal mereka. Nietzsche dan Kierkegaard bersetuju bahwa tetap ada "tanggung jawab yang ditempatkan pada seorang individual untuk membangun sendiri kepercayaannya secara aktif dan harus ada tindakan untuk merealisasikan kepercayaan itu."[8] Bagi NIetzsche, mentalitas sekuler adalah sebentuk kelemahan, dan untuk mencapai otentisitas, seseorang harus benar-benar mentransenden moralitas konvensional.
Menurut Abulof, keinginan untuk menjadi otentik – jujur bagi diri sendiri – menutupi jurang besar yang ada antara kedua interpretasi "diri" yang berbeda, yaitu esensialis dan eksistensialis. Dalam otentisitas esensialis, kita harus mencari dan mengikuti takdir kita yang sudah ada. Di sisi lain, otentisitas eksistensialis mengatakan bahwa kita harus "menentukan takdir kita sendiri" dan mengajak orang-orang sadar akan kebebasan mereka untuk memilih jalur mereka sendiri, yang bisa saja, namun tidak harus, sama dengan orang lain.[10]
Jurnalisme eksistensialis
Para filsuf eksistensial seperti Kierkegaard, Nietzsche, dan Heidegger, menginvestigasi peran eksistensial-ontologis norma sosial untuk mengetahui apa itu otentisitas. Bagi seorang jurnalis eksistensial, menghindari penerimaan norma sosial secara mentah dapat membantu menciptakan karya yang otentik. Merrill percaya bahwa jurnalisme otentik dapat muncul apabila sang jurnalis jujur pada dirinya sendiri dan menolak konformisme. Ada tradisi dalam media dan sumber berita yang menyulitkan para jurnalis mencapai otentisitas yang otentik. Seperti pandangan Kierkegaard terkait media dan gereja, Merrill percaya bahwa "jurnalis dengan senang hati menolak otentisitas individual untuk masuk ke dalam struktur korporasi yang sangat terstruktur dan ter-depersonalisasi".[11] Para jurnalis dibatasi dengan hukum institusional dan tidak dapat meraih otentisitas; mereka mendapatkan untung dengan cara ini karena karya mereka harus terbit.
Menciptakan kepercayaan seseorang sendiri, lalu melakukan apa yang diperintahkan kepercayaan itu, tentu tidak mudah. Seorang jurnalis yang tidak menulis sebuah berita karena berada di luar norma tidak mampu mendapatkan otentisitas karena ia menganggap bahwa mengikuti norma tersebut lebih bernilai daripada menjadi otentik.[11] Di sisi lain, perlawanan terhadap pandangan ini adalah bahwa "kebebasan individual dan keberanian bertindak lebih bernilai daripada keterlibatan kolektif dalam kode etik jurnalistik." [8]
Kritik
Filsuf Jacob Golomb berargumen bahwa konsep otentisitas eksistensialis tidak cocok dengan moralitas yang menghargai semua orang.[12]
Erich Fromm
Definisi yang amat berbeda mengenai otentisitas dihadirkan oleh Erich Fromm di pertengahan abad ke-20.[13] Ia menganggap perilaku apa pun, bahkan perilaku yang sepenuhnya bersesuaian dengan norma sosial, adalah otentik apabila perilaku tersebut merupakan hasil pemahaman dan persetujuan pribadi akan asal-usul perilaku itu, dan bukan sekadar menjadi konformis dengan kebijaksanaan masyarakat. Seorang yang otentik menurut kaidah Fromm mungkin akan bertindak sesuai dengan norma budaya atau sosial, dengan alasan bahwa norma-norma tersebut memang sesuai dan tidak sekadar mencoba bersesuaian. Fromm menganggap otentisitas adalah keluaran positif dari motivasi yang tercerahkan dan penuh pengetahuan, dan bukan merupakan keluaran negatif dari penolakan ekspektasi orang lain. Menurutnya, keluaran negatif seperti formulasi Sartre tersebut adalah "ilusi individualitas" dan bukan individualitas asli yang menjadi hasil dari hidup otentik.[14]
Pandangan lain
Orang-orang yang menghimbau reformasi sosial menilai baik studi tentang otentisitas karena dapat memberikan manifesto radikal dan penampilan besar atas kekurangan struktur sosial yang sedang ada. Michael Kernis dan Brian Goldman mendefinisikan otentisitas sebagai "operasi tidak terbatas kedirian seseorang yang sebenarnya, atau yang inti, di dalam kehidupan sehari-hari."[15]
Meskipun otentisitas bisa menjadi tujuan intrinsik menuju "hidup yang baik", tetapi otentisitas sebenarnya sangat sulit untuk didapat. Hal ini sebagian disebabkan karena tekanan sosial untuk hidup secara inotentik dan sebagian lain karena karakter seseorang. Otentisitas juga digambarkan sebagai sebuah keadaan yang disadari, ketika seseorang menyadari diri sendiri, orang lain, dan bahkan kadang-kadang benda mati, dengan sebuah cara yang benar-benar baru. Ada penulis yang menganggap bahwa otentisitas juga membutuhkan pengetahuan diri, dan mungkin dapat mengubah hubungan seseorang dengan orang lain. Otentisitas juga memiliki obligasi moralnya sendiri, yang kadang hadir tanpa memedulikan ras, gender, dan kelas. Konsep otentisitas juga masuk ke dalam ideologi utopia, yang memerlukan otentisitas warganya, atau mengklaim bahwa kondisi tersebut dapat menghilangkan rintangan ekonomis dan fisik untuk meraih otentisitas.
Sejarah
Konsep otentisitas yang sekuler dan religius sudah ada berbarengan selama berabad-abad dalam nama yang berbeda-beda. Mungkin tulisan yang paling awal membahas otentisitas, yang sampai sekarang masih terkenal, adalah himbauan Sokrates bahwa "hidup yang tidak direnungkan tidak pantas dijalankan." Psikologi mendefinisikan "otentisitas" secara umum sebagai usaha seseorang untuk hidup sesuai dengan kediriannya, dan bukan sesuai dengan permintaan masyarakat atau kebiasaan seseorang sedari kecil.[16][17][18]
Pencarian otentisitas amat dekat dengan modernitas romantis. Kaum romantis sejak akhir abad ke-18 menggambarkan intuisi, emosi, dan kembali ke alam, sebagai hal-hal yang diperlukan untuk melawan akal budi "dingin" Abad Pencerahan.[19] Di abad ke-20, pembahasan Anglo-Amerika mengenai otentisitas umumnya berkaitan dengan tulisan beberapa tokoh utama yang diasosiasikan dengan eksistensialisme; karena kebanyakan penulis dalam cabang filsafat ini menulis dalam bahasa lain selain Inggris, terdapat pengaruh signifikan dari proses penerjemahan dan antologisasi karya-karya mereka. Walter Kaufmann bisa dianggap sebagai orang yang menciptakan "canon" penulis eksistensialis, seperti Søren Kierkegaard, Martin Heidegger, dan Jean-Paul Sartre.
Aktivitas budaya
Perbedaan pengalaman berbagai kelompok dan individu tentunya berbeda, dan ini menghasilkan pandangan terkait otentisitas yang berbeda di antara kelompok dan individu yang erat kaitannya dengan praktik budaya.[20] Bagi Sartre, musik jazz adalah representasi kebebasan; hal ini mungkin karena jazz diasosiasikan dengan budaya Afrika Amerika, dan dengan demikian berlawanan dengan budaya Barat secara umum, yang menurut Sartre amat inotentik. Di sisi lain, Theodor Adorno, penulis dan filsuf lain yang menulis tentnag otentisitas, tidak menyukai musik jazz karena ia memandang musik itu sebagai representasi palsu yang mungkin tampak otentik tetapi sebenarnya amat terkait dengan penampilan dan audiens, seperti bentuk seni lainnya. Di akhir hidupnya, Heidegger mengasosiasikan otentisitas dengan mode eksistensi yang nonteknologis; ia memandang teknologi sebagai pengganggu hubungan yang lebih "otentik" dengan dunia alam.
Beberapa penulis tentang otentisitas di abad ke-20 berpendapat bahwa norma budaya yang dominan bersifat inotentik, bukan hanya karena mereka menganggap bahwa norma tersebut dipaksakan kepada orang-orang, tetapi juga karena norma-norma tersebut mengharuskan orang-orang untuk berperilaku secara inotentik terkait dengan keinginan mereka sendiri dan menyulitkan mereka melihat alasan sesungguhnya dari perilaku mereka. Iklan, misalnya, yang mencoba memberikan orang-orang alasan untuk melakukan sesuatu yang belum mereka lakukan, adalah contoh "buku sekolahan" tentang bagaimana budaya Barat mendistorsi individu untuk alasan eksternal. Relasi ras juga dipandang sebagai pembatasan lain untuk mencapai otentisitas, karena relasi tersebut mengharuskan diri sendiri berinteraksi dengan orang lain dengan dasar atribut eksternal.
Konsep otentisitas sering diangkat dalam subkultur musik rock punk dan heavy metal. Banyak orang dan band yang dikritik tidak otentik, dan diberikan label poseur.[4] Istilah ini digunakan untuk menyebut orang-orang (atau band) yang menjiplak cara berpakaian, berbicara, dan bergerak seseorang atau subkultur tertentu, secara umum agar diterima oleh kelompok tersebut, tetapi dianggap tidak memahami atau memiliki nilai-nilai atau filsafat subkultur itu. "Otentisitas dianggap amat penting bagi subkultur heavy metal, dan manifestasinya beragam," seperti misalnya melalui pakaian, suara menyanyi yang emosional, dan tema lagu yang serius.[21] Dalam skena metal, sebuah studi tentang konsep otentisitas oleh fans menunjukkan bahwa ada tiga elemen otentisitas: dedikasi pada skena metal; pengetahuan peristiwa kunci kultur metal; dan membuat pilihan yang terbaik, berdasarkan suara hati otentik seseorang.[22] Dalam black metal, sebuah genre extreme metal, orang-orang sangat menghargai kejujuran, otentisitas, dan ke-ekstrem-an.[23] Dalam subkultur metal dan punk hardcore, sebuah band yang bermula dari tempat kelas pekerja dan kemudian masuk ke dalam label rekaman major untuk sebuah kontrak rekaman yang sangat menguntungkan bisa jadi dibilang sell out dan telah kehilangan otentisitas.
Dalam pemasaran, otentisitas sebuah merek didefinisikan sebagai seberapa jauh identitas merek dihubungkan secara kausal dengan perilaku merek.[24] Otentisitas tercapai ketika sebuah merek mencapai janji mereknya dengan cara yang unik, konsisten dan terus-menerus.[25]
^ abcdeKristoffer Holt, “Authentic Journalism? A Critical Discussion about Existential Authenticity in Journalism Ethics,” Journal of Mass Media Ethics 27 (2012)
^ abcNietzsche, F.W., & Zimmern, H. (1997). Beyond good and evil: Prelude to a philosophy of the future. Mineola, NY: Dover.
^AJ Giannini (2010). "Semiotic and semantic implications of "authenticity"". Psychological Reports106 (2): 611–612.
^Weinstein, Deena. Heavy Metal:The Music and its Subculture." Da Capo Press, 2009. p. 46
^Larsson, Susanna. "I Bang My Head, Therefore I Am: Constructing Individual and Social Authenticity in the Heavy Metal Subculture" in Young. 21 (1). 2013. p. 95-110