Atheis (novel)
Atheis adalah sebuah novel karya Achdiat Karta Mihardja yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1949. Roman yang menggunakan tiga gaya naratif ini menceritakan kehidupan Hasan, seorang Muslim muda yang dibesarkan untuk berpegang pada agama, tetapi akhirnya meragukan agamanya sendiri setelah berurusan dengan seorang sahabat penganut Marxisme–Leninisme dan seorang penulis penganut nihilisme. Achdiat, seorang jurnalis serta redaktur yang pernah bergabung dengan penyair eksentrik Chairil Anwar dan Partai Sosialis Indonesia, menulis Atheis antara bulan Mei 1948 dan Februari 1949. Bahasa Indonesia yang digunakannya dipengaruhi oleh bahasa Sunda, dan gaya penulisannya lebih mirip gaya penulis Minang dari periode sebelumnya daripada para penulis kontemporer. Terutama membahas mengenai keimanan, novel ini juga menyinggung hubungan modernitas dan tradisionalisme. Biarpun Achdiat menegaskan bahwa karya ini dimaksud untuk realis, perlambangan dan hubungan simbolis pernah diusulkan tentang Atheis. Terjadi pembahasan yang cukup panas saat Atheis terbit. Tokoh-tokoh agama, Marxis-Leninis, dan anarkis menolak novel ini karena kurang menjelaskan ideologi mereka masing-masing, sementara tokoh-tokoh sastra dan masyarakat banyak memuji roman ini. Penerimaan baik ini mungkin disebabkan diperlukannya penyatuan nasional oleh Pemerintah Indonesia. Sebelum tahun 1970, Atheis sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, dan pada 1972 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; pada 1974 novel ini diadaptasikan menjadi film. Selain menerima penghargaan dari pemerintah pada 1969, Atheis sudah termasuk dalam UNESCO Collection of Representative Works. AlurAlur Atheis bersifat tidak linier. Menurut ahli sastra Indonesia asal Belanda A. Teeuw, plot novel ini menggunakan urutan sebagaimana dirumuskan di bawah. Huruf A mewakili masa yang dibahas dalam tulisan tokoh Hasan (dari masa kecil sampai bercerai dengan Kartini), huruf B mewakili masa yang diceritakan narator, dan huruf C mewakili waktu Hasan terbunuh.[1] Ringkasan cerita di bawah ditulis secara kronologis. Hasan, yang lahir di Panyeredan di keluarga penganut Tarekat Naqsyabandiyah, adalah siswa yang lumayan pandai dan tinggal bersama keluarga dan adik angkat, Fatimah. Seusai masa sekolah, Hasan berusaha untuk melamar temannya Rukmini untuk menjadi istri. Namun, Rukmini, yang mempunyai kedudukan sosial lebih tinggi, sudah dijanjikan untuk seseorang kaya di Batavia (sekarang Jakarta). Sebagai ganti, orang tua Hasan minta agar dia menikah dengan Fatimah. Hasan menolak, lalu mulai sangat mendalami Islam bersama ayahnya. Dia lalu berpindah ke Bandung untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah. Di Bandung, Hasan bekerja untuk pemerintah pendudukan Jepang dan hidup secara asketik; dia sering berpuasa berhari-hari dan berendam di sungai berulang kali pada dini hari. Saat di Bandung, dia bertemu dengan sahabatnya semasa kecil, Rusli, yang memperkenalkan seorang gadis bernama Kartini. Karena melihat bahwa Rusli dan Kartini adalah Marxis-Leninis yang atheis, Hasan merasa seakan dipanggil untuk mengembalikan mereka ke agama Islam. Namun, dia tidak dapat mengatasi argumentasi Rusli yang menolak agama, sampai Hasan pun mulai meragukan keimanannya. Lama-kelamaan Hasan menjadi semakin sekuler, sampai pada suatu hari dia lebih memilih menonton film di bioskop bersama Kartini daripada sholat Maghrib. Melalui Rusli, Hasan diperkenalkan dengan berbagai orang yang menganut berbagai macam ideologi, termasuk Anwar, seorang nihilis yang suka main wanita; Hasan juga mulai mendekati Kartini. Pada suatu hari, Hasan kembali ke Panyeredan bersama Anwar untuk mengunjungi keluarganya. Saat di sana, Anwar melihat dua penjaga malam yang ketakutan dekat suatu permakaman. Ketika diberi tahu bahwa penjaga malam itu melihat hantu, Anwar masuk ke permakaman itu bersama Hasan untuk membuktikan bahwa tidak ada hantu di sana. Namun, Hasan merasa bahwa ada sesuatu yang mengincarnya; hal ini membuat dia melarikan diri dari permakaman tersebut. Ketika Anwar tertawa atas reaksi Hasan, Hasan merasa imannya sudah patah. Dia akhirnya bertengkar heboh dengan keluarganya soal agama, sehingga dia diusir dari rumah. Sekembali ke Bandung, dia menikah dengan Kartini. Tiga tahun kemudian, hubungan Hasan dengan Kartini sudah memburuk. Mereka saling mencurigai. Akhirnya, Hasan melihat Kartini meninggalkan hotel bersama Anwar dan menduga kalau dia selingkuh - dugaan ini tidak benar. Hasan segera mencerai istrinya itu dan meninggalkan rumah. Tidak lama kemudian, dia jatuh sakit mengidap tuberkulosis. Setelah beberapa minggu, dia kembali ke Panyeredan karena mendengar bahwa ayahnya sangat sakit. Biarpun dia hendak berbaikan, ayahnya mengusir Hasan sebagai godaan setan. Dalam keadaan putus asa, Hasan kembali ke Bandung. Dalam keadaan sakit-sakitan, Hasan mendekati seorang jurnalis dan menyerahkan suatu tulisan berisi riwayat hidupnya; jurnalis ini bersedia menerbitkan karya Hasan itu bilamana terjadi sesuatu kepada Hasan. Tak lama kemudian, Hasan keluar rumah setelah jam malam dan tertembak oleh patroli Jepang. Dia lalu meninggal setelah disiksa, dengan kata-kata terakhirnya "Allahu Akbar". Hari berikutnya, Rusli dan Kartini menjemput mayatnya. Tokoh dan penokohan
Gaya penulisanAtheis adalah novel Indonesia pertama yang menggunakan tiga gaya naratif.[1][10] Awal roman dimulai dengan penjelasan kunjungan Rusli dan Kartini ke markas polisi Jepang setelah mendengarkan berita Hasan telah mati. Bagian awal ini ditulis dengan sudut pandang orang ketiga mahatahu (serba tahu). Kemudian, narator yang hanya diberi julukan "saya" menjelaskan dari sudut pandang orang pertama bagaimana dia berkenalan dengan Hasan dan bagaimana Hasan sampai menyerahkan tulisan riwayat hidupnya. Ini diikuti oleh sebuah manuskrip yang dikatakan merupakan karya Hasan sendiri. Manuskrip ini menceritakan kehidupan Hasan dari sudut pandangnya dengan menggunakan istilah "aku". Setelah sebuah napak tilas di mana narator menceritakan pertemuan terakhirnya dengan Hasan dengan menggunakan kata "saya", bagian terakhir Atheis menceritakan kematian Hasan dengan menggunakan "dia"-an mahatahu.[1][11] Menurut Teeuw, ini berfungsi untuk menghindari karikaturisasi tokoh utama sebelum menggunakan sudut pandangnya.[4] Namun, Achdiat menyatakan bahwa itu hanya agar cerita berjalan dengan lancar.[12] Teeuw menulis bahwa gaya penceritaan dalam roman ini bersifat didaktis, yang dia menganggap sebagai suatu kekurangan. Namun, dia juga mencatat bahwa Achdiat adalah anggota aliran sastra yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang beranggapan bahwa sastra bertujuan untuk mendidik; Teeuw juga menulis bahwa gaya penceritaan serupa sudah umum di sastra Indonesia pada saat itu.[13] Diksi dalam Atheis menunjukkan pengaruh bahasa Sunda yang besar. Menurut Teeuw, bahasa Indonesia yang digunakan kadang-kadang seakan dipaksakan, dengan bentuk kalimat menyimpang dari kebiasaan penulis-penulis Minang yang mendominasi dunia sastra Indonesia pada saat itu. Menurut Teeuw, ini karena Achdiat dibesarkan dengan bahasa Sunda dan Belanda; dengan demikian, bahasa Indonesianya kurang lancar dibanding penulis Minang atau yang lebih muda.[13] Maier menulis bahwa roman ini menggunakan "simile dan metafor yang aneh tetapi cocok", dengan gaya yang mirip karya-karya yang sudah ada seperti Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan Belenggu (1940) karya Armijn Pane.[7] Balfas mencatat bahwa ada kemiripan lain dengan karya sebelumnya, termasuk kematian protagonis di puncak cerita,[5] sementara Sastrowardoyo berpendapat bahwa Belenggu malah lebih modern biarpun diterbitkan sembilan tahun sebelum Atheis.[14] TemaPada tahun 1986, Achdiat Karta Mihardja menulis bahwa Atheis dimaksud untuk mempertimbangkan ada-tidaknya Tuhan.[15] Menurut Mahayana dkk., tema utama ini terdapat di seluruh novel; mereka juga mencatat bahwa saat Atheis diterbitkan pertanyaan tersebut belum pernah dibahas dalam karya sastra Indonesia modern.[3] Maier berpendapat bahwa rasa bersalah, ketakutan, dan penyesalan menjadi dorongan kuat untuk novel ini.[16] Teeuw menjelaskan bahwa novel ini mengangkat tema klasik hubungan dunia modern dan tradisi dengan cara duniawi, yang beda dari karya-karya sebelumnya.[17] Balfas menulis bahwa pendekatan tema serupa ini di kemudian hari digunakan oleh penulis lain.[5] SimbolismeBiarpun Achdiat menegaskan bahwa Atheis dimaksud untuk bersifat realistis dan bukan simbolis, ada sejumlah pembacaan simbolik yang pernah diusulkan. Menurut Achdiat, yang paling umum ialah bahwa kematian Hasan dimaksud untuk menggambarkan kemenangan atheisme atas agama, dengan kematian Hasan menjadi kematian teisme.[18] Menurut Maier, Atheis menjadi suatu alegori untuk perkembangan negara Indonesia. Hasan, yang mewakili tradisionalisme, dibunuh oleh orang Jepang, yang telah mengubah keadaan di Hindia Belanda saat menduduki Nusantara pada tahun 1942. Sementara, Anwar yang cenderung anarkis tidak mempunyai tempat di dunia modern. Hanya tokoh modern yang bertanggung jawab, yaitu Rusli, mampu menguatkan negara Indonesia, sebagaimana diwakili Kartini, untuk menghadapi dunia baru.[19] Penulisan dan ilhamAchdiat Karta Mihardja, yang lahir dan dibesarkan di Garut, Jawa Barat, dididik sebagai jurnalis[20] sebelum berpindah ke Batavia pada tahun 1941 untuk bekerja pada penerbit resmi Hindia Belanda, Balai Pustaka. Saat di Batavia, pada tahun 1945 dia mulai bergabung dengan kelompok sastranya Chairil Anwar, Republika. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan mulainya Perang Kemerdekaan, Achdiat melarikan diri ke Jawa Barat dan bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sutan Sjahrir. Latar belakang ini digunakan untuk menulis Atheis dari bulan Mei 1948 sampai Februari 1949.[17] Menurut Achdiat, beberapa ideologi yang paling umum di Indonesia pada saat itu ialah Marxisme–Leninisme, nihilisme, dan anarkisme; ini mempengaruhi pilihannya untuk menggambarkan Rusli dan Anwar sebagai penganut ideologi tersebut.[21] Pada saat itu, penulis baru seperti Idrus, Asrul Sani, dan Chairil Anwar menjadi semakin kritikal terhadap generasi penulis Indonesia sebelumnya, yang mereka anggap berpikiran sempit dan kurang nasionalis.[20] Achdiat, yang lebih tua daripada kebanyakan penulis kontemporer dan mempunyai gaya yang mirip seperti mereka, tidak suka akan hal tersebut; menurut Maier, ini mungkin membuat dia menggambarkan Chairil Anwar sebagai tokoh Anwar yang banyak kekurangannya.[20] PenerbitanAtheis diterbikan pada tahun 1949 oleh Balai Pustaka, yang menjadi penerbit nasional Indonesia merdeka;[22] Atheis merupakan novel Achdiat yang pertama.[23] Menurut Teeuw, dengan diterbitkannya Atheis Achdiat langsung menjadi terkenal.[17] Maier mencatat bahwa sambutan baik ini mungkin tidak hanya karena kekuatan roman, melainkan juga karena kepribadian dan kedudukan Achdiat, yang sejalan dengan perlunya negara untuk menggunakan sastra, sebagai kebudayaan nasional yang paling berkembang, untuk membangun negara.[24] Pada tahun 1969 Atheis menerima penghargaan sastra dari pemerintah Indonesia, dan sehingga tahun 1970 sudah dicetak tiga kali dalam bahasa Melayu.[3] Pada tahun 1972 roman ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R. J. Macguire sebagai bagian proyek UNESCO Collection of Representative Works,[25] dan dua tahun kemudian Sjumandjaja mengadaptasinya menjadi film dengan judul yang sama.[3] Achdiat sendiri menghasilkan dua novel lain: Debu Cinta Bertebaran (1973), yang diterbitkan di Singapura; dan Manifesto Khalifatullah (2005), yang diterbitkan di Jakarta.[23][26] Pada peluncuran Manifesto Khalifatullah, sebuah novel bertema agama, Achdiat menyatakan bahwa itu merupakan "balasan atas Atheis", setelah dia menyadari bahwa "Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi wakil-Nya di Bumi, bukan Setan.".[26] Penerimaan terhadap novelMenurut Achdiat, tokoh agama menolak keras novel ini karena menggambarkan Hasan, yang mereka menganggap sebagai wakil agama dan orang beriman, sebagai orang yang tidak dapat mengatasi godaan; mereka juga tidak setuju dengan kurangnya pembahasan doktrin agama.[27] Tokoh-tokoh Marxis dan anarkis juga merasa bahwa ideologi mereka kurang dijelaskan, dan menganggap bahwa tokoh Rusli dan Anwar tidak benar-benar mencerminkan pemikiran para filsuf seperti Karl Marx dan Friedrich Nietzsche.[28] Sebagai tanggapan, Achdiat menulis bahwa tokoh-tokoh tersebut dimaksud untuk realistis, dan jarang ada orang di kehidupan nyata yang mempunyai pengetahuan tentang suatu ideologi yang sangat mendalam seperti yang diinginkan para kritikus.[29] Namun, pembaca lain – terutama dari dunia sastra – memuji Atheis, termasuk Pramoedya Ananta Toer dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah.[22] Sastrowardoyo menyebutnya suatu "well made novel", dengan kisah diakhiri dengan baik ketika Hasan meninggal.[30] Teeuw menulis bahwa Atheis adalah roman pertama yang benar-benar menarik setelah perang kemerdekaan.[17] Referensi
|