Pembelajaran asosiatif adalah ketika subjek menciptakan hubungan antara stimulus (misalnya pendengaran atau visual) atau perilaku dan stimulus asli. Semakin tinggi kekonkretan item stimulus, semakin besar kemungkinan mereka membangkitkan citra sensorik yang dapat berfungsi sebagai mediator pembelajaran dan memori asosiatif.[4] Kemampuan untuk mempelajari informasi baru sangat penting untuk kehidupan sehari-hari dan dengan demikian merupakan komponen penting dari penuaan yang sehat. Ada penelitian substansial yang mendokumentasikan penurunan terkait penuaan dalam pembentukan dan pengambilan ingatan episodik.[5] Akuisisi asosiasi adalah dasar untuk belajar.[6]
Hukum Efek
Edward Thorndike melakukan penelitian di bidang ini dan mengembangkan hukum efek, dimana hubungan antara stimulus dan respons dipengaruhi oleh konsekuensi respons. Misalnya, perilaku akan meningkat dalam kekuatan dan/atau frekuensi ketika diikuti dengan hadiah. Ini terjadi karena adanya hubungan antara perilaku dan representasi mental dari hadiah. Sebaliknya, menerima konsekuensi negatif menurunkan frekuensi perilaku akibat asosiasi negatif.[7]
Contohnya, ketika seorang anak rajin belajar dan mendapatkan respon positif maka ia akan bertambah rajin. Sedangkan jika ia mendapatkan respon negatif, maka ia akan kurang rajin atau bertambah malas belajar.
Pengondisian klasik
Pengondisian klasik adalah contoh asosiasi yang dipelajari. Proses pengondisian klasik terdiri dari empat elemen: stimulus tidak terkondisi (UCS), respon tidak terkondisi (UCR), stimulus terkondisi (CS), dan respon terkondisi (CR).[1]
Tanpa pengondisian, sudah ada hubungan antara stimulus tak terkondisi dan respon tak terkondisi. Ketika stimulus terkondisi dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi, respon menjadi terasosiasi dengan kedua rangsangan yang pada akhirnya menimbulkan respons terkondisi.[8] Kekuatan respons terhadap stimulus yang dikondisikan meningkat selama periode pembelajaran, karena CS menjadi terasosiasi dengan UCS. Kekuatan respon dapat berkurang jika CS disajikan tanpa UCS.[8]
Contohnya, seperti eksperimen Pavlov yang terkenal. Seekor anjing tanpa dikondisikan akan mengeluarkan air liur (UCR) ketika diberi makanan (UCS). Pavlov memberikan makanan kepada anjing bersamaan dengan membunyikan bel (CS) secara berulang-ulang. Lama kelamaan ketika Pavlov hanya membunyikan bel, anjing akan mengeluarkan air liur. Artinya air liur yang dikeluarkan anjing ketika hanya mendengar bel merupakan respon yang dikondisikan (CR), yang menunjukkan bahwa asosiasi telah terjalin antara lonceng dan makanan.[9][10] Respon terkondisikan ini dapat saja menurun apabila dalam waktu yang lama anjing tidak mendapatkan makanan ketika mendengar bel.
Pengondisian operan
Dalam pengondisian operan, perilaku diubah karena hasil yang dialami dari perilaku tersebut. Stimulus tidak menyebabkan perilaku, seperti dalam pengondisian klasik, melainkan asosiasi yang diciptakan antara stimulus dan konsekuensi, sebagai perpanjangan dari Thorndike pada Hukum Efek-nya.[10][8]
B.F. Skinner terkenal karena studinya tentang penguat perilaku. Studinya mencakup aspek kontingensi, yang mengacu pada hubungan antara tindakan tertentu dan konsekuensi atau penguatan berikutnya. Skinner menggambarkan tiga kemungkinan: penguatan positif, penguatan negatif, dan hukuman. Penguatan menciptakan asosiasi positif antara tindakan dan konsekuensi untuk mendorong kelanjutan tindakan. Hal ini dilakukan dengan salah satu dari dua cara, penguat positif memberikan stimulus yang menyenangkan, sedangkan penguat negatif menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan. Hukuman menciptakan hubungan negatif antara tindakan dan konsekuensi sehingga tindakan tidak berlanjut.[8]
Contoh:
Ketika seorang ibu ingin anaknya rajin belajar, maka ia memberikan penguatan positif dengan berjanji akan memberikan hadiah jika nilai anaknya bagus. Hasilnya, anak pun rajin belajar.
Ketika seorang ibu ingin anaknya berhenti menangis ketika disuruh belajar, maka ia memberikan penguatan negatif dengan berjanji akan memberikan makanan kesukaannya ketika selesai belajar. Hasilnya, sang anak pun berhenti menangis dan melanjutkan belajarnya. Dan lama kelamaan anak tidak lagi menangis ketika disuruh belajar.
Ketika seorang ibu ingin anaknya berhenti melawan perkataannya, maka sang ibu memberikan hukuman pemotongan uang jajan. Hasilnya, anak tidak lagi melawan karena takut uang jajannya dipotong.
Referensi
^ abKlein, Stephen (2012). Learning: Principles and Applications (6 ed.). SAGE Publications. ISBN978-1-4129-8734-9.
^Paivio, Allan (1969). "Mental Imagery in Associative Learning and Memory". Psychological Review. 76 (3): 241–263. doi:10.1037/h0027272.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Clark, Rachel; Hazeltine, Eliot; Freedberg, Michael; Voss, Michelle (2018). "Age Differences in Episodic Associative Learning". Psychology and Aging. 1 (33): 144–157. doi:10.1037/pag0000234. PMID29494185.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Eich, Eric; Forgas, Joseph (2003). "Mood, Cognition, and Memory". Dalam Healy, Alice; Proctor, Robert. Handbook of Psychology. 4. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
^Miller, Ralph; Grace, Randolph (2003). "Conditioning and Learning". Dalam Healy, Alice. Handbook of Psychology. 4. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.