ApotekerApoteker (apt.) atau farmasis merupakan gelar profesi bagi seseorang yang telah menempuh pendidikan profesi apoteker dan mengucapkan sumpah profesi apoteker.[1] Sebelum menempuh pendidikan profesi apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan sarjana farmasi terlebih dahulu untuk memperoleh gelar akademik sarjana sains (S.Si.) atau sarjana farmasi (S.Farm.) yang umumnya ditempuh dalam waktu empat tahun. Setelahnya, barulah seorang sarjana tersebut dapat melanjutkan pendidikan profesi apoteker (apt.) yang umumnya dicapai dalam waktu satu tahun. Jadi, total waktu yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi seorang apoteker adalah lima tahun. Konsep pendidikan ini serupa dengan yang dijalani seseorang untuk menjadi seorang dokter, di mana setelah memperoleh gelar sarjana kedokteran (S.Ked.), mereka harus melanjutkan pendidikan bagi dokter muda atau koasistensi untuk memperoleh gelar dokter (dr.). Dalam praktik klinis, apoteker berperan sebagai pengawas atas peresepan yang dikeluarkan oleh dokter. Sebagai profesi yang memelajari obat-obatan secara mendalam, mulai dari cara pembuatannya sampai dengan bagaimana obat tersebut memberikan reaksi tertentu pada tubuh, apoteker secara aktif menelaah, mengoreksi, dan memberi masukan kepada dokter dan tim medis lainnya dalam memberikan terapi pada pasien. Dalam menjalankan praktik kefarmasian, apoteker mengenakan jas berwarna putih gading.[2] Hal ini berbeda dengan dokter yang mengenakan jas berwarna putih tulang saat menjalankan praktik kedokteran. Di Indonesia, tenaga kesehatan yang mengenakan baju resmi berupa jas hanya apoteker dan dokter saja. SejarahIstilah apoteker dan apotek bermula dari dokter Claudius Galenus dari Pergamum (129–199) yang biasa dikenal sebagai Galen. Ia menamakan tempatnya memeriksa pasien sebagai latron dan tempat Galen menyimpan obat sebagai apotheca, yang secara harfiah berarti gudang. Pada tahun 1240, negara Kerajaan Sisilia untuk pertama kalinya mengeluarkan undang-undang yang memisahkan pekerjaan dokter dan apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa pasien dan menulis resep, tetapi obat dibuat dan diserahkan ke pasien oleh apoteker.[3] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pertemuan di Vancouver 1997 menggunakan istilah 7 Star Pharmacist untuk menyatakan peran dan tanggung jawab seorang apoteker yang bermutu.[4] Pada tahun 1999 yang dicantumkan pada Annex 7, badan dunia ini mengeluarkan Good Pharmacy Practice In Community And Hospital Pharmacy Settings.[5] Perkembangan di IndonesiaApoteker di Indonesia bergabung dalam organisasi profesi apoteker yang disebut Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Apoteker di Indonesia sering kali dipersepsikan publik sebagai seseorang yang bekerja di apotek. Namun, sebenarnya lingkup kerja apoteker tidak hanya di apotek semata, melainkan juga dapat bekerja di sektor publik–seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)–atau sektor swasta–seperti perusahaan farmasi. Sebelum menempuh pendidikan apoteker di Indonesia, calon mahasiswa akan diminta untuk memilih konsentrasi yang menjadi fokus keilmuan apoteker. Umumnya konsentrasi yang dapat dipilih meliputi Farmasi Industri, dan Farmasi Klinik dan Komunitas. Apoteker dengan konsentrasi Farmasi Industri akan tepat untuk bekerja di industri farmasi pada beragam bidang seperti regulatory affairs, pemastian mutu, penjaminan mutu, produksi, distribusi, dan lain-lain. Sementara itu, apoteker dengan konsentrasi Farmasi Klinik dan Komunitas akan tepat untuk bekerja di apotek, rumah sakit, dan lain-lain. Walaupun terdapat klasterisasi semacam ini, sejauh ini tidak dilarang seorang apoteker dengan konsentrasi Farmasi Industri untuk bekerja di lingkungan klinis atau sebaliknya. Dalam perkuliahan apoteker, terdapat praktik kerja profesi apoteker (PKPA) yang merupakan kesempatan bagi mahasiswa apoteker untuk menjalani magang di berbagai bidang kefarmasian, sehingga mereka akan memperoleh gambaran dan kesiapan dalam dunia kerja di bidang kefarmasian nantinya. Setelah mahasiswa apoteker dinyatakan lulus secara akademik, mereka akan diambil sumpahnya seperti halnya dokter. Sumpah itu dimaksudkan agar seorang apoteker bersungguh-sungguh dalam mengaplikasikan ilmu kefarmasiannya demi kebaikan manusia. Seorang apoteker pun dilarang menggunakan pengetahuannya untuk merugikan orang lain. Pada awalnya, apoteker teridentifikasi dengan adanya gelar Apt. di belakang nama mereka. Namun, sejak 20 Februari 2020, Komite Farmasi Nasional (KFN) menetapkan perubahan penulisan gelar apoteker menjadi apt. yang diletakkan di depan nama.[6] Penetapan tersebut merupakan kesepakatan bersama antara Komite Farmasi Nasional (KFN), Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).[7] Menurut apt. Drs. Purwadi, M.M., M.E. selaku Ketua Komite Farmasi Nasional (KFN) dalam sambutannya pada tanggal 10 Maret 2020, pemindahan letak gelar ini dimaksudkan agar apoteker dapat lebih fokus tampil di depan untuk melayani masyarakat secara langsung.[7] Hal tersebut dikarenakan apoteker di Indonesia masih belum terlalu dikenal perannya di masyarakat secara luas. Apoteker pun sering kali lebih banyak bekerja di balik layar dalam melayani masyarakat. Dengan terlihatnya gelar apoteker di depan nama, masyarakat bisa lebih mengenal sosok apoteker tersebut. Apoteker spesialisSaat ini telah ada apoteker spesialis farmasi nuklir dengan pengukuhannya pada 2020.[8] Penulisan gelarGelar apoteker diletakkan di depan nama dengan seluruhnya huruf kecil, dengan contoh:[6][9]
di mana gelar sarjana farmasi yang telah diperoleh sebelumnya tetap dituliskan. Hal ini berbeda dengan profesi dokter yang umumnya hanya menuliskan gelar profesi dokter (dr.) tanpa perlu menuliskan gelar sarjana kedokteran (S.Ked.). Jika gelar apoteker dituliskan bersama dengan gelar lain, maka contoh penulisannya adalah sebagai berikut:[9]
Ketika dikombinasikan dengan pangkat dan gelar keagamaan nonakademik, maka contoh penulisannya adalah sebagai berikut:
Pedoman penulisan gelar apoteker yang baru ini berlaku pula untuk apoteker yang lulus sebelum ditetapkannya pedoman ini. Referensi
|