Anak transgenderAnak transgender adalah anak-anak dan remaja transgender atau transseksual. Anak transgender dapat menghadapi kesulitan yang berbeda daripada orang dewasa transgender karena mereka umumnya bergantung kepada orang tua mereka untuk hal parawatan medis, tempat tinggal, keuangan, dan kebutuhan lainnya serta karena dokter umumnya segan untuk memberikan penanganan kepada mereka. Anak transgender mulai menemui masalah terkait dengan gender mereka pada usia yang berbeda-beda. Kebanyakan kasus disforia gender muncul pada usia belia ketika seorang anak memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan gendernya yang diberikan saat lahir. Banyak anak transgender yang mengalami penolakan dan berusaha untuk menekan identitas gender mereka yang dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup mereka.
Hubungan sosialPenolakan terhadap orang transgender terjadi di berbagai belahan dunia[1] dan bagi anak transgender, ia dapat memperoleh tidak hanya diskriminasi dari orang lain namun juga penolakan dan pengusiran oleh keluarga.[2] Anak transgender merasa bahwa mereka harus menyembunyikan diri mereka hingga mereka rasa aman untuk mengungkapkan identitas gender mereka kepada orang tua, keluarga, dan teman-temannya. Pada awalnya, seorang anak dapat sadar mengenai ketidaksesuaian antara gender mereka dan penampilan biologis mereka. Ketersadaran tersebut dapat mulai muncul pada usia sedini enam tahun.[3] Penerimaan keluargaRespon keluarga yang menerima anak transgender memiliki pengaruh besar terhadap kualitas hidup si anak.[2] Bagi anak transgender, sulit untuk memprediksi respon orang tua mereka jika mereka mengungkapkan identitas mereka dan hal ini dapat memberi beban psikologis terhadap anak. Pada beberapa kasus, orang tua memberi respon negatif hingga dapat mengusir si anak dari rumah atau tidak menganggapnya sebagai anak lagi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak transgender yang melakukan tindak kriminalitas remaja cenderung pernah mengalami penolakan, penyiksaan, dan/atau penelantaran oleh keluarga akibat identitas mereka diketahui. Penolakan dari keluarga juga dapat membuat si anak menyesal telah memberi tahu identitasnya.[4] Anak transgender yang ditolak oleh orang tua mereka memiliki peluang lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri, depresi, menyalahgunakan narkoba, dan terlibat dalam perdagangan seks. Di sisi sebaliknya, orang tua dapat memberikan respon positif dan memberikan dukungan terhadap anak-anak mereka dan membentu mereka dalam bertransisi. Anak transgender yang mendapat penerimaan oleh orang tua cenderung lebih percaya diri dan sehat, lebih berprestasi, serta memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi.[5] Orang tua juga dapat mengkonsultasikan anak bersama tenaga medis yang dapat mengembangkan jaringan pendukung bagi si anak.[6] KerentananAnak transgender sangat rentan terhadap berbagai masalah seperti penyalahgunaan NAPZA, bunuh diri, penyiksaan, pelecehan seksual, serta masalah kesehatan jiwa.[7] Disforia genderDisforia gender merupakan stres dan ketidaknyamanan yang kuat mengenai gender seseorang terkait fisik tubuh, status jenis kelamin, serta sikap masyarakat terhadap variasi gender.[8] Anak transgender yang mengalami disforia gender cenderung sangat sadar mengenai penampilan tubuhnya serta pandangan orang lain terhadap dirinya. Sebuah penelitian menemukan bahwa anak transgender yang kurang nyaman dengan berat badannya dan menganggap orang lain menilai badannya tidak bagus akan lebih cenderung memiliki perilaku yang membahayakan nyawa ketimbang dengan anak yang memiliki pandangan positif terhadap tubuhnya.[9] Penyiksaan fisik, verbal, dan pelecehan seksualSekitar 75% dari anak transgender memperoleh kekerasan verbal dari orang tua atau keluarga mereka. Sekitar 35% mengaku mengalami kekerasan fisik dari anggota keluarga.[9] Anak yang diusir dari rumah juga menjadi bermasalah dalam memenuhi kebutuhan hidup. Minimnya dukungan keluarga dan di sekolah juga dapat mengganggu aktivitas akademik anak transgender. Anak transgender lebih berpeluang untuk dikeluarkan dari sekolah daripada anak-anak sebayanya.[7] Akses menuju perawatan medisAnak transgender dapat mengalami kesulitan dalam memperoleh penanganan medis untuk disforia gendernya karena dokter yang menolak untuk memberi layanan ataupun si anak takut terhadap respon yang diberikan oleh dokter. Telah tersedia beberapa panduan bagi psikiater dan endokrinolog dalam memberikan layanan untuk anak transgender terkait kesehatan jiwa dan terapi hormon, seperti Standards of Care for the Health of Transsexual, Transgender, and Gender Nonconforming People dan Endocrine Treatment of Gender-Dysphoric/Gender-Incongruent Persons.[10][11] Penyakit menular seksual (PMS) juga merupakan masalah besar bagi anak dan remaja transgender terkait dengan asumsi bahwa orang transgender tidak berisiko tinggi menularkan PMS serta anggapan bahwa perempuan transgender tidak bisa hamil. Hal ini telah menyebabkan tingginya kasus PMS pada orang transgender.[7] Anak transgender juga dapat mengalami kekerasan di sekolah seperti kekerasan verbal dan fisik, pelecehan seksual, serta dikucilkan oleh anak-anak lainnya. Anak transgender cenderung lebih merasa tidak aman di sekolah dibandingkan dengan anak-anak lainnya.[12] Kondisi ini berbeda-beda pada setiap anak dan sekolah. Sekolah yang besar dan memiliki banyak siswa dari kelompok minoritas cenderung memiliki lingkungan yang lebih kondusif bagi anak transgender.[13] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|