An-Nashir Muhammad lengkapnya (bahasa Arab: الملك الناصر ناصر الدين محمد بن قلاوون; Al-Malik al-Nashir Nashir al-Din Muhammad bin Qalawun; 1285–1341;) adalah sultan ke-9 dari dinasti Bahri Mamluk di Mesir yang berkuasa selama tiga masa, mulai Desember 1293 hingga Desember 1294, dari 1299 hingga 1309, dan 1309 hingga akhir hayatnya pada 1341.
An-Nashir adalah penguasa yang kuat dan otokratik. Kekuasaan masa ke-tiganya yang bertahan selama 31 tahun dideskripsikan sebagai titik puncak dari kultur dan peradaban Mesir,[2] yaitu suatu masa ketika suatu kerajaan telah mencapai titik tertinggi dari kekuasaannya.[3] Ia dicintai masyarakatnya dan menjalin hubungan dengan suku-suku Badui yang telah mendukungnya selama ia dalam pengasingan. Ia juga merupakan sultan Mesir pertama yang fasih berbahasa Arab.[4]
Sejarawan Mesir ternama, Ibnu Ilyas menyatakan tentang An-Nashir: "Namanya disebut-sebut di mana-mana melebihi raja-raja Mesir yang lain. Setiap raja (di masanya) mengirim surat kepadanya, mengirim hadiah dan takut padanya. Seluruh Mesir berada di dalam genggamannya".
Masa kekuasaan pertama (1293-1294)
Ketika sultan Al-Ashraf khalil yang berkuasa terbunuh pada Desember 1293. An-Nashir saudaranya naik tahta untuk pertama kalinya ketika berumur 9 tahun, meski kekuasaan sesungguhnya berada dibawah kendali wakilnya, Kitbugha. Setelah berjalan setahun, Kitbugha menyatakan diri sebagai sultan, mengasingkan An-Nashir, dan mengangkat Lajin sebagai wakil Sultan. Kitbugha hanya berkuasa dua tahun sebelum akhirnya Lajin menggulingkan dirinya dan naik menjadi sultan.
Masa kekuasaan kedua (1299 - 1309)
Sultan yang terguling Kitbugha kemudian melarikan diri ke Hama di Syam sedangkan An-Nashir dipindahkan ke Al-Karak. Pada 1299, Pasukan Mamluk yang setia kepada Al-Ashraf al-Khalil dibantu pasukan Mamluk Burji memberontak melawan sultan Lajin, berhasil menewaskan Lajin, dan mengembalikan An-Nashir yang telah berusia 14 tahun dari pengasingan kembali ke kekuasaannya. Pemerintahan baru telah terbentuk, Syaifuddin Salar dan pemimpin Mamluk Burji Baibars al-Jasyankir ditunjuk menjadi penasihat negara. Akan tetapi ini hanyalah menjadi awal dari intrik yang lain. Meningkatnya persaingan di antara mereka bertiga, mengakibatkan An-Nashir harus kembali kehilangan takhtanya. An-Nashir yang merasa tidak senang akan dominasi Salar dan Baibars menyatakan akan menunaikan haji ke Mekah. Namun bukannya kembali ke Kairo, An-Nashir justru menuju ke Al-Karak dan menetap disana. Karena An-Nashir menolak kembali ke Kairo, Baibar al-Jasyankir menyatakan diri sebagai sultan dan Salar sebagai wakilnya.[5]
Masa kekuasaan ketiga (1309-1341)
An-Nashir sesungguhnya tidak berniat mengundurkan diri, namun ia menyadari bahwa selama Baibars dan Salar ada di Kairo, cepat atau lambat mungkin ia akan dibunuh oleh mereka dan diambil alih kekuasaanya. An-Nashir memilih untuk tidak kembali ke Kairo dan menyusun rencana di Al-Karak untuk merebut kembali takhtanya dengan mendapat dukungan dari Arab Badui, dan mencari dukungan beberapa Gubernur di Syam. Kepemimpinan Baibars al-Jasyankir selama 10 bulan 24 hari di Mesir diwarnai kerusuhan sosial juga ancaman dari pasukan Mongol. Masyarakat Mesir yang tidak menyukainya meminta kembalinya sultan yang mereka cintai, yaitu An-Nashir Muhammad. Baibars akhirnya turun takhta secara terpaksa dan melarikan diri dari pengeroyokan massal. Dari Damaskus An-Nashir bergerak menuju Kairo dengan disambut oleh masyarakat dengan meriah. Akhirnya An-Nashir kembali meraih takhta untuk ketiga kalinya pada usia 24 tahun hingga akhir hayatnya. Baibars yang tertangkap kemudian dieksekusi sedangkan Salar dijebloskan kedalam penjara.[5]
Hubungan luar negeri
Setelah berakhirnya Dinasti Ayyubiyah, Syam berada dibawah kekuasaan Mamluk Kairo. Gubernur Damaskus Tankiz al-Husaim adalah sekutu An-Nashir yang efektif di sepanjang kekuasaan An-Nashir. Di Syam, Tankiz menerapkan dan mengikuti kebijakan An-Nashir di Mesir dalam mengelola, merestorasi dan membangun berbagai institusi, mereformasi pengelolaan wakaf dan membangun saluran irigasi yang memasok air untuk kebutuhan kota.[6]
Mamluk pada era An-Nashir lebih dikenal sebagai era yang lebih damai daripada terlibat banyak pertempuran dengan luar negeri. Dimasa saudaranya, Sultan Al-Ashraf Khalil merebut kota Akko diikuti mundurnya pasukan Salib dari Syam. Sehingga hanya serangan dari Mongol yang mengancam kesultanan, itupun tidak pernah mencapai Kairo meskipun memporak porandakan kawasan Syam. Setelah sebelumnya An-Nashir telah mampu mematahkan serangan dari Gazan Khan dalam pertempuran tahun 1299 dan Pertempuran tahun 1303, yaitu pada masa kekuasaan keduanya.[7] Invasi Mongol akhirnya benar-benar dapat diusir dengan tuntas pada masa kekuasaan ketiganya. Dalam usaha terakhirnya untuk menginvasi Syam pada 1312 pasukan Mongol yang dipimpin Oljeitu, penerus Gazan, dipaksa pasukan Mamluk untuk mundur hingga ke Irak.[8]
^Robert Irwin, The Middle East in the Middle Ages: The Early Mamluk Sultanate 1250-1382 (London, 1986), hal 107.
^Ibnu al-Dawadari, Kanz al-Durar, 9:85-88; Al-Maqrizi, Al-Suluk, 1:3:930-38; Ibrahim ibn Muhammad Ibn Duqmaq, Al-Jawhar al-Thamin fi Sirat al-Khulafa’ wa al-Muluk wa-al-Salatin (Mekkah, 1982), hal 132-35.