Aminah binti Wahb
Aminah binti Wahb (bahasa Arab: آمنة بنت وهب; ʾĀminah binti Wahb', wafat tahun 577 Masehi) adalah ibu dari Nabi Muhammad saw.[1] Kelahiran & Kehidupan KeluargaAminah dilahirkan di Mekkah. Ayah Aminah adalah pemimpin Bani Zuhrah, yang bernama Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr.[2] Sedangkan ibu Aminah adalah Labirah binti Abdil 'Uzza bin Utsman bin Abd ad-Dar bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr.[3] Ia dilahirkan pada pertengahan abad ke-6 M. dari keluarga yang dianggap sebagai kabilah yang paling terhormat dan memiliki keturunan yang mulia, sehingga Rasulullah saw. pernah bersabda: "Allah terus-menerus memindahkanku dari rusuk yang baik ke rahim suci, terpilih, dan terdidik. Tiada jalan yang tercabang menjadi dua, kecuali aku berada di jalan yang terbaik." Berbagai sumber mengatakan bahwa Aminah adalah wanita Quraisy yang terbaik, mulai dari nasab maupun kedudukan. Ia adalah ibu yang selalu diberkahi dan selalu dikelilingi oleh kabar gembira karena namanya selalu abadi selama-lamanya. Silsilah KeluargaBerikut ini adalah silsilah keluarga Aminah binti Wahb:[4]
PernikahanAminah binti Wahb menikah dengan sepupunya yang bernama Abdullah bin Abdul Mutthallib. Saat itu, Aminah merupakan wanita paling mulia di kalangan kaum Quraisy baik dari segi nasab maupun kedudukan di masyarakat. Dari kemuliaan itulah, Aminah dianggap mampu untuk mengumpulkan atau menyatukan dua kemuliaan dari keturunan Abdi Manaf yang akan diturunkan ke anaknya kelak, yakni dari keturunan Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab, dan Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab.[5] Hal tersebut membuktikan bahwa Nabi Muhammad adalah orang mulia yang diturunkan dari orang mulia yang telah Allah pilih. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadits shahih:
Aminah telah kenal dengan Abdullah sejak kecil karena keluarga Bani Hasyim adalah keluarga paling dekat dengan Bani Zuhrah. Dari sekian banyak lelaki yang datang meminang Aminah, salah satunya yaitu Abdullah bin Abdul Mutthallib. Dimana ketika itu tidak ada lelaki yang lebih mulia dari ABdullah baik dari segi nasab maupun kemuliaan kepemimpinan di tengah masyarakat.[5] Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|